Mubadalah.id – Kasus femisida di Indonesia terus mengalami peningkatan dan terjadi hampir di seluruh penjuru daerah sepanjang 2024.
Pada November, ada dua kasus femisida yang menjadi perhatian. Pertama, adalah kasus yang terjadi di Serdang Bedagai, Sumatera Utara. Seorang suami menikam istrinya sendiri saat sedang melakukan siaran langsung di media sosial Facebook pada 2 November 2024.
Lalu kasus kedua yang juga membuat publik marah adalah kasus yang terjadi di Banyuwangi, Jawa Timur pada 13 November 2024. Seorang anak perempuan berusia 7 tahun ditemukan tewas di sebuah perkebunan dengan dugaan mengalami kekerasan seksual.
Pada September 2024 juga terjadi tiga kasus femisida yang tersebar di beberapa daerah. Maraknya kasus femisida sudah sepatutnya menjadi perhatian seluruh pihak, utamanya pemerintah. Indonesia kini sedang mengalami darurat femisida.
Apa Itu Femisida?
Berbeda dari kasus pembunuhan pada umumnya, femisida merupakan pembunuhan terhadap perempuan karena jenis kelaminnya.
Rasa superioritas, dominasi, dan misogini terhadap perempuan mendorong terjadinya pembunuhan terhadap perempuan. Ada ketimpangan relasi kuasa dan kepuasan sadistik di dalamnya. Ini bentuk kekerasan terhadap perempuan yang paling ekstrem.
Budaya patriarki menciptakan konstruksi gender yang kaku. Masyarakat memposisikan laki-laki sebagai pihak yang diuntungkan dengan memberi mereka hak istimewa atas perempuan, yang kemudian mengukuhkan ketimpangan kekuasaan.
Norma-norma patriarki mencipatakan dan mempertahankan maskulinitas toksik yang mendorong perilaku agresif, dominasi, dan penindasan terhadap perempuan.
Perempuan lebih rentan menjadi objek kekerasan hingga femisida karena peran gender yang kita paksakan dan ketergantungan struktural pada otoritas laki-laki yang membatasi kebebasan dan kesetaraan mereka
“Femisida tidak hanya alasan kebencian terhadap perempuan, tetapi dipengaruhi dominasi, kontrol dan ketidak setaraan relasi antara laki-laki dan perempuan,” kata Komisioner Komnas Perempuan, Siti Aminah Tardi (mengutip dari bbc.com).
Media seringkali menarasikan korban femisida secara tidak adil dan menempatkan korban sebagai pihak yang “memprovokasi” tindakan pelaku.
Narasi tersebut seolah-olah “membenarkan” tindakan sadis yang pelaku lakukan tanpa rasa empati terhadap korban.
Sayangnya, dalam kasus femisida yang digunakan adalah narasi tunggal pelaku. Kita tidak pernah tahu bagaimana motif yang sebenarnya maupun relasi gender antara pelaku dan korban.
Data Kasus Femisida
Sampai saat ini Indonesia belum memiliki data resmi yang menggambarkan situasi sebenarnya kasus-kasus femisida.
Berdasarkan laporan Jakarta Feminist ada 180 kasus pembunuhan terhadap perempuan tersebar di 38 provinsi di Indonesia sepanjang tahun 2023. Kasus-kasus tersebut memakan 187 korban dengan melibatkan 197 pelaku.
Mayoritas pelaku adalah laki-laki, yakni sebesar 94%. Adapun 6 korban femisida merupakan transpuan dan 12 korban lainnya merupakan anak perempuan.
Sebanyak 37% kasus femisida terjadi di dalam relasi intim, baik sebagai pasangan rumah tangga ataupun pacar. Sementara itu, 13% korban lainnya memiliki relasi darah dengan pelaku. Misalnya antara ibu dan anak, kakak dan adik, sepupu sekeluarga, atau menantu dan mertua.
Sementara itu, pembunuhan terjadi baik di luar area rumah korban (51%) dan di area rumah korban sebesar 49%. Angka tersebut menunjukkan tidak ada ruang aman bagi perempuan di manapun berada.
Femisida merupakan puncak dari kekerasan terhadap perempuan. Dalam kasus femisida, sebagian besar pelaku menggunakan tenaga fisik, di urutan kedua menggunakan senjata tajam, dan yang ketiga menggunakan benda sekitar.
Bahkan di beberapa kasus, pelaku menggunakan lebih dari satu cara untuk membunuh korban. Kekerasan juga berlanjut terhadap jenazah korban. Ada beberapa kasus yang menunjukkan perlakuan ekstrem pada jenazah korban, seperti diperkosa, dimutilasi, dicor, dan masih banyak lainnya.
Kasus-kasus tersebut menunjukkan kekejaman dan brutalitas sistematis terhadap perempuan di Indonesia. Pelaku tidak memandang perempuan sebagai manusia atau subjek namun hanya sebagai objek, sehingga diperlakukan secara tidak manusiawi.
APH Harus Berperspektif Adil Gender
Penting bagi Aparat Penegak Hukum (APH) memiliki perspektif yang adil gender dalam menangani kasus femisida. Kasus femisida sering kali berawal dari kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) atau kekerasan dalam pacaran (KDP) yang eskalasinya meningkat.
APH akan gagal mendeteksi bahaya KDRT dan KDP karena tidak memiliki perspektif adil gender. Kasus KDRT dan KDP yang tidak tertangani dengan serius dan berakhir dengan darurat femisida.
Rendahnya sensivitas gender di tengah masyarakat dan APH membuat kasus femisida tidak kunjung berakhir malah terus meningkat. Berkaca dari masalah tersebut, penting bagi Negara untuk mengakui dan mengenali femisida sebagai pembunuhan yang memiliki motif dan nuansa berbeda dari kasus pembunuhan pada umumnya.
Indonesia sendiri sudah memiliki beberapa payung hukum untuk menangani kasus femisida, seperti Pasal 384 KUHP tentang Pembunuhan, UU PKDRT, UU Perlindungan Anak, ataupun Pasal 12 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).
Jakarta Feminist melaporkan bahwa dari 89% pelaku yang tertangkap, hanya 38% yang memiliki kejelasan terkait hukum yang diterima pelaku. Dari temuan tersebut kita ketahui bahwa pada tahun 2023 tidak ada pelaku yang terjerat menggunakan UU TPKS, walaupun ada kasus pembunuhan yang disertai kekerasan seksual.
Hal itu mencerminkan bahwa negara khususnya pihak kepolisian abai dengan kasus-kasus femisida yang juga disertai dengan kekerasan seksual di dalamnya.
Hal tersebut juga menunjukkan bahwa pihak APH belum memiliki perspektif adil gender, sehingga menggugurkan kasus kekerasan seksual yang terjadi sebelum pembunuhan.
Meskipun sebagian besar pelaku tertangkap, sayangnya mereka seringkali tidak mendapat hukuman yang setimpal atau bahkan mendapatkan identifikasi jeratan hukum yang tidak menyeluruh.
Negara Gagal Berikan Perlindungan Terhadap Kelompok Rentan
Pada 2023, Jakarta Feminist mencatat ada 4 kasus femisida terhadap perempuan dengan disabilitas.
Kekerasan terhadap perempuan dengan disabilitas, khususnya dalam konteks darurat femisida, adalah cerminan nyata dari kegagalan negara dalam melindungi mereka yang paling rentan.
Perempuan dengan disabilitas rentan menjadi korban kekerasan seksual karena stigma bahwa mereka bukan manusia seutuhnya.
Kekosongan hukum, kurangnya perlindungan, serta ketidakmampuan Negara dalam memberikan layanan kesehatan mental dan bantuan hukum yang memadai, membuat perempuan dengan disabilitas semakin terekspos pada tindakan main hakim sendiri oleh masyarakat.
Ini menunjukan betapa krusial peran Negara dalam mengubah stigma dan diskriminasi yang melekat melalui kebijakan yang lebih inklusif serta perlindungan hak-hak mereka, bukan hanya menunggu sampai kekerasan gender menjadi fatal, lalu bereaksi.
Meningkatnya angka darurat femisida memperjelas bagaimana Negara gagal memberikan perlindungan terhadap perempuan, anak-anak, dan kelompok rentan.
Pemerintah harus segera menyusun strategi untuk mengatasi kekerasan berbasis gender mulai dari jangka pendek hingga jangka panjang.
Aparat Penegak Hukum harus mengintegrasikan Undang-Undang yang tepat untuk kasus femisida, sehingga pelaku bisa kita jatuhi hukuman yang setimpal. []