Mubadalah.id – Industri mode mungkin telah mengenalkan kita dengan istilah fast fashion. Yaitu industri yang memproduksi pakaian secara masif, meniru tren dan desain kelas atas, namun dibuat dengan biaya rendah serta cepat untuk memenuhi permintaan yang tinggi.
Model industri yang seperti ini tidaklah sehat bagi lingkungan dan keberlangsungan eksosistem. Selain itu, juga melanggengkan budaya konsumerisme. Konsumen akan terus menerus membeli produk karena produk fast fashion berputar secara cepat.
Dewasa ini, terdapat istilah baru yang polanya mirip dengan fast fashion, yaitu fast beauty. Jika produk dari fast fashion lebih mengarah ke industri pakaian, fast beauty lebih berfokus pada produk kecantikan.
Industri kosmetik lokal terutama di Indonesia sejak tahun 2020 menunjukkan peningkatan yang signifikan. Hal ini tentu saja membanggakan, namun juga mengkhawatirkan. Karena beberapa industri ini terkadang mengeluarkan produk baru tidak lama setelah produk sebelumnya rilis.
Kondisi kemudian menjadi tidak sustain dan toxic bagi lingkungan.
Apa itu Fast Beauty
Melansir Kumparan.com, fast beauty ialah istilah yang menjelaskan produsen kosmetik yang memproduksi produk secara massal dan mendistribusikannya dengan cepat, karena mengikuti perkembangan tren yang terus berubah.
Produsen seringkali membuat produk-produk kosmetik dengan cara yang tidak etis demi memenuhi permintaan produksi. Seperti menggunakan bahan murah yang lebih mudah diformulasi, namun berbahaya bagi lingkungan. Tidak jarang juga menggunakan produk yang berasal dari hewan. Di mana belum tentu benar penanganannya dan bisa saja menyiksa hewan tersebut.
Industri fast beauty juga rawan eksploitasi pekerja. Karena bisa saja perusahaan memberlakukan jam kerja yang tidak wajar guna memenuhi target produksi. Belum lagi dengan limbah yang perusahaan hasilkan dan dampaknya bagi lingkungan.
Dampak bagi Konsumen
Fast beauty tentu saja mampu merugikan konsumen. Produk yang terproduksi secara cepat ini berpotensi menurunkan kualitas dan nilai dari produk tersebut. Produksi yang terkesan terburu-buru membuat proses sampling dan testing menjadi kurang efisien.
Berbeda dengan produk yang melewati proses sampling dan testing yang benar, produk-produk tersebut dapat lebih terkontrol kualitasnya. Perusahaan dalam melakukan proses produksi juga sesuai etika dan tidak merusak lingkungan.
Selain itu, konsumen juga dapat terjerumus ke dalam lingkaran konsumerisme. Hal ini karena ingin terus menerus mengikuti tren kecantikan yang perubahannya begitu cepat. Konsumen akan lebih konsumtif tanpa mempertimbangkan kebermanfaatan akan produk yang dibeli.
Tidak hanya itu, konsumen juga akan terjebak dalam siklus pembelian berulang tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap lingkungan atau kesehatan jangka panjang.
Konsumerisme dalam fenomena fast beauty memanifestasikan dirinya dalam tekanan untuk memiliki segala sesuatu yang terbaru dan terbaik tanpa mempertanyakan nilai dari produk itu sendiri.
Fast beauty pada akhirnya mempercepat siklus konsumsi yang merugikan baik bagi individu maupun lingkungan.
Apa yang Dapat Dilakukan?
Sebagai konsumen, kita punya power untuk melepas rantai ini. Yakni dengan membuat arah gerak industri kecantikan menjadi lebih baik. Konsumen dapat memulai dengan menahan diri dan tidak gegabah sebelum membeli suatu produk, serta hanya membeli sesuai kebutuhan saja.
Di samping itu, terdapat tren di tahun 2025 ini yang memiliki tujuan untuk menekan pemborosan dan hedonisme, yaitu tren No Buy List. Tren ini tentu saja berdampak positif baik bagi individu maupun lingkungan. Hal ini karena tren tersebut mendorong kita untuk lebih mindful dalam berbelanja dan hanya membeli barang sesuai dengan kebutuhan, bukan keinginan semata.
Dengan demikian, fenomena fast beauty dan dampaknya akan perilaku konsumerisme perlahan-lahan dapat kita tekan. []