Mubadalah.id – Sarah, salah seorang ibu pekerja freelance, membaca email berisi undangan kolaborasi dari sebuah brand dengan hati dan fikiran yang berkecamuk. Undangan tersebut mengharuskan dia berangkat ke luar kota selama 2 hari. Di satu sisi ada perasaan bangga dalam dirinya karena kemampuannya terakui. Namun di sisi lain perasaan cemas dan takut justru yang paling banyak menguasai.
Istri dan ibu dari tiga orang anak ini dihantui dengan pemikiran “Bagaimana aku meminta izin suamiku? Bagaimana jika dia marah?” ketakutan-ketakutan itu secara otomatis muncul dalam fikirannya.
Baru setahun belakangan ini Sarah memulai pekerjaan sebagai penulis lepas dan Conten Creator. Awalnya dia iseng-iseng membagikan kegemarannya memasak dan mencoba resep-resep baru di media sosial. Tak ia sangka, banyak yang menyukai kontennya dengan meninggalkan komentar yang positif.
Dari sini Sarah melihat adanya peluang untuk bisa mengaktualisasikan diri, sekaligus mengumpulkan pundi-pundi ekonomi. Dia mulai belajar bagaimana caranya menaikkan followers dan engangement, bagaimana membuat konten yang menarik dan sebagainya. Lambat laun, akun media sosialnya berkembang dan beberapa kali dilirik sejumlah brand untuk mempromosikan produknya.
Gelar Supermom
Awalnya Sarah mengira bahwa pekerjaan yang baru ia tekuni sebagai pekerja freelance ini akan meminimalisir konflik peran dalam rumah tangganya. Mengingat, dirinya pernah frustasi saat harus merelakan ijazah sarjananya menjadi tidak berguna karena dia memilih menjadi ibu rumah tangga saat melahirkan anak pertama.
Sarah mengira, akhirnya dia tidak lagi harus memilih karir atau menjadi ibu rumah tangga. Dia bisa menjalani keduanya. Ya punya penghasilan, ya bisa di rumah membersamai anak. Dia pun mengira, gelar Supermom yang multitasking akan ia sandang dengan bangga. Tetapi ternyata yang terjadi tidak demikian adanya.
Sarah dan suaminya dibesarkan dalam lingkungan keluarga tradisional di mana nilai-nilai patriarki masih kental. Suaminya termasuk laki-laki yang menganggap tugas utama perempuan adalah melakukan tugas domestik rumah tangga. Kalau pun istri bekerja, tugas domestik itu harus tetap beres.
Ibu mertua Sarah bahkan mewanti-wanti Sarah untuk tidak membuat anak laki-lakinya melakukan pekerjaan rumah, karena itu adalah “cela” bagi seorang istri. Mungkin itu jugalah yang menjadi alasan utama Sarah bekerja di rumah sebagai conten creator dan penulis lepas. Tujuannya agar waktunya lebih fleksibel dalam melakukan dua fungsi tersebut.
Terjadinya Konflik Peran
Suami Sarah awalnya terlihat biasa saja dengan kesibukan baru Sarah ini. Selama istrinya tidak melupakan tanggung jawabnya terhadap urusan rumah, baginya tidak masalah. Apalagi, dari pekerjaannya ini istrinya bisa membantu perekonomian keluarga.
Mengingat, pekerjaan suami hanyalah sebagai karyawan swasta dengan gaji UMR yang kurang mencukupi untuk membiayai rumah tangga. Apalagi dengan 3 anak dengan jarak berdekatan, dua di antaranya sudah memasuki usia awal sekolah.
Konflik mulai terjadi saat Sarah terlihat keteteran dengan pekerjaannya membuat konten sembari mengurusi anak dan urusan rumah. Seringkali suaminya mendapati rumah dengan tumpukan cucian piring dan sarapan belum tersedia di meja. Padahal sudah waktunya suami berangkat kerja. Pakaian yang terlupa ia ambil dari tempat loundry, sehingga pernah suaminya marah besar karena seragam kantornya masih ada di sana.
Pernah juga suaminya bersungut-sungut karena anaknya sakit ketika Sarah mengikuti pelatihan offline selama 2 hari di luar kota. Dari raut wajahnya, Sarah bisa merasakan betul kemarahan suaminya. Raut wajah itu seolah berkata bahwa sakitnya anak mereka adalah salah Sarah. Kalau sudah begitu, buru-buru Sarah meminta maaf meski dadanya terasa panas karena menahan sesak.
Sarah merasa dia sudah maksimal melakukan yang terbaik. Sebelum pergi, dia siapkan semua kebutuhan anak-anak mulai dari pakaian yang akan mereka kenakan, makanan dan camilan yang sudah tersusun rapi di kulkas dan hanya butuh untuk memanaskan, rumah yang sudah bersih, semua sudah dia handle dengan rapi sebelum keberangkatannya.
Tetapi dengan semua hal yang sudah dia lakukan itu, dia tidak mendapatkan apresiasi apa-apa. Prestasi dan pundi-pundi uang yang berhasil dia kumpulkan untuk membantu finansial keluarga tidak ada harganya. Sarah justru selalu tersudutkan, dibuat merasa bersalah, sekan-akan semua adalah salahnya.
Kerentanan: Stigma Pekerja Freelance, Beban Ganda Berlapis, Hingga Resiko Depresi
Cerita yang Sarah alami adalah satu dari sekian banyak cerita Perempuan pekerja yang hidup dalam relasi rumah tangga tidak setara. Cerita Sarah mungkin akan relate dengan Perempuan yang bekerja dari rumah sebagai freelancer. Bisa sebagai Copy Writer, Virtual Assistant, atau Conten Creator.
Karena fleksibilitasnya, pekerja freelance seringnya masih kita anggap sebagai pengangguran. Padahal, meski pekerjaannya sangat fleksibel, beban pekerjaan itu tetap ada. Walaupun tidak pergi ke tempat kerja seperti kantor atau pun sejenisnya mereka tetap dituntut deadline menulis, deadline promosi barang, terikat jadwal pembuatan konten dan lain sebagainya.
Perempuan seperti Sarah, alih-alih mendapatkan kepuasan karena bisa melakukan dua hal sekaligus -aktualisasi diri dan mengurus anak- justru akan terjebak pada beban ganda terselubung. Bahkan bisa jadi semakin berat karena anggapan “fleksibel” membuat pekerjaan profesional mereka tidak terlalu tampak.
Hal ini bisa terlihat ketika Sarah mengeluh burnout dan lelah. Komentar yang ia dapatkan dari suami dan keluarganya adalah “Capek ngapain, kamu kan kerjanya di rumah aja. Gak kerja sama orang” atau “la yang milih bikin konten kan kamu sendiri, lagian kalo gak kamu kerjain juga gak masalah kan? Sok-sok an aja kamu.”
Perasaan Bersalah yang Menghantui
Kalau sudah begitu biasanya Sarah akan memendam rapat-rapat apa yang ia rasakan. Bukan hanya lelah fisik karena beban ganda kerja perawatan dan kerja profesional yang harus ia lakukan. Namun juga lelah batin karena stress akibat stigma dari pekerjaannya.
Penelitian yang melansir dari klikdokter.com mengungkapkan bahwa ada kaitan antara durasi jam kerja dengan peningkatan resiko gejala depresi. Temuannya adalah bahwa peningkatan tanda dan gejala depresi berkaitan dengan waktu kerja yang panjang pada Perempuan. Beban ganda yang dialami Perempuan semakin meningkatkan resiko depresi tersebut.
Selain itu, konflik batin selalu menghantui Sarah. Keinginan menjadi Supermom yang bisa melakukan segalanya secara sempurna ternyata harus berhadapan dengan ketidakmampuannya memaksimalkan potensinya karena dijatuhkan oleh realita dan stigma.
Perasaan bersalah dan gagal campur aduk menjadi satu. Dia membenci dirinya sendiri. Perempuan seperti Sarah biasanya berakhir pada tiga keadaan. Menyerah pada pekerjaannya, terjebak pada depresi tak berujung, atau mati lebih awal.
Lantas, Kita Bisa Apa?
Kita harus berhenti melakukan glorifikasi Supermom, menganggap bahwa Perempuan itu multitasking dan bisa melakukan segala hal secara sempurna. Berhenti menyebarkan tafsir keagamaan tentang surga sebagai ganjaran istri “Salihah”.
Berhenti membebankan pekerjaan domestik hanya pada istri dan melanggengkan Patriarki. Mulailah relasi setara antara suami dan Istri. Mulailah membagi peran atas dasar kesalingan. Bertumbuh Bersama, Bahagia Bersama. []