Mubadalah.id – Beberapa waktu lalu kita dikagetkan dengan sikap pemerintah Afghanistan yang melarang perempuan pada usia anak untuk menempuh tingkat pendidikan lanjutan.
Menurut Unesco, akibat dari kebijakan ini kurang lebih 1,4 juta anak perempuan tidak dapat bersekolah karena larangan tersebut. Selain larangan bersekolah, UN Women juga mencatat perempuan Afghanistan terlarang untuk bersuara di publik dan menggunakan transportasi umum.
Sebagai suatu pemerintahan yang mengesankan hukum negaranya berdasarkan pada hukum Islam, kebijakan-kebijakan pemerintah Afghanistan di atas seakan membenarkan bahwa Agama Islam menempatkan perempuan tidak setara dengan laki-laki.
Ketentuan yang bernada mengerdilkan perempuan tidak hanya terjadi di Afghanistan. Khaled Abou El Fadl, dalam Speaking in God’s Name mencatat terdapat sejumlah fatwa di Saudi Arabia yang terkesan memojokkan serta mendiskreditkan perempuan.
Seperti larangan perempuan untuk menggunakan Bra. Larangan perempuan untuk berziarah kubur, larangan perempuan untuk menyetir mobil hingga larangan bagi perempuan untuk mengangkat suara dalam kondisi terdapat laki-laki lain.
Manusia Kedua
Ada sejumlah hal yang kita tengarai menjadi sebab lemahnya kedudukan perempuan di dunia. Salah satunya ialah anggapan bahwa perempuan merupakan ciptaan kedua (second creation) yang berasal dari unsur laki-laki. Menurut Prof. Dr. Nasaruddin Umar hal ini dapat terlihat dari kisah-kisah penciptaan perempuan pada sejumlah agama.
Dalam literatur Yahudi misalnya. Hawa-yang menjadi representasi perempuan-merupakan pasangan kedua dari Adam. Sebelumnya Adam memiliki pasangan bernama Lilith yang sama-sama tercipta dari tanah. Namun karena Lilith tidak mau menjadi pelayannya, maka Ia meninggalkan Adam. Kemudian tergantikan oleh Hawa yang diciptakan dari tulang rusuk Adam untuk menjadi pelayan baru.
Masih menurut Nasaruddin Umar, dalam Alkitab manusia yang pertama kali Tuhan ciptakan adalah laki-laki yaitu Adam. Lalu sebagai teman dan penolong dari Adam, terciptalah perempuan dari tulang rusuknya. Karenanya keberadaan perempuan dimaknai tidak lain demi kepentingan laki-laki.
Perbedaan Tafsir
Dalam Buku Argumentasi Kesetaraan Gender, Nasaruddin Umar menjelaskan bahwa salah satu ayat dalam Al-Qur’an yang menurut para mufassir mengisahkan penciptaan perempuan adalah Q.S. An-Nisa: 1 yang berbunyi:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً و
“Hai sekalian manusia bertaqwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kalian dari “diri” yang satu dan daripadanya Allah menciptakan pasangannya dan daripada keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak…”
Sebagian besar mufassir seperti Al-Qurtubi dan Ibn Katsir memaknai kata nafs al-wahidah sebagai Nabi Adam dan kata zaujaha sebagai Ibunda Siti Hawa. Sehingga frasa “dan daripadanya” bermakna Siti Hawa tercipta dari bagian Nabi Adam. Karenanya, Siti Hawa tidaklah akan ada jika tidak ada Nabi Adam karena Ia tercipta dari bagian Nabi Adam.
Tafsiran di atas kemudian terhubungkan dengan salah satu hadis masyhur riwayat Abu Hurairah. Di mana menyatakan bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok. Sehingga kisah penciptaan ini menjadi serupa dengan kisah dalam literatur Yahudi dan Al-Kitab yang menyatakan bahwa Siti Hawa tercipta dari tulang rusuk Nabi Adam.
Penafsiran berbeda Abu Muslim Al-Ishfahani ajukan yang menyatakan bahwa makna frasa “dan daripadanya” bukan merujuk pada tubuh Nabi Adam. Namun merujuk pada jenis dari Nabi Adam itu sendiri.
Muhammad Abduh mengikuti pendapat Al-Ishfahani menyatakan bahwa makna frasa “dan daripadanya diciptakan pasangannya” mengandung arti pasangan tersebut tercipta dari unsur dan jenis yang sama dengan Nabi Adam. Bukan diciptakan dari bagian tubuh Nabi Adam itu sendiri.
Realitas Penciptaan Manusia
Menurut Nasaruddin, pemahaman yang keliru atas asal-usul penciptaan perempuan dapat melahirkan suatu ambivalen di kalangan perempuan. Pada satu sisi dituntut untuk berprestasi agar tidak menjadi beban laki-laki. Namun ketika berhasil mencapai puncak karir, kesalihannya terhadap suami sering kita pertanyakan. Akhirnya kualitas perempuan tidak lepas dari ukuran-ukuran seorang laki-laki.
Dalam Qira’ah mubadalah, hadist bahwa perempuan tercipta dari tulang rusuk yang bengkok tidak kita maknai sebagai asal-usul penciptaan perempuan. Hadis tersebut dapat kita maknai sebagai himbauan untuk bersabar dalam menghadapi pasangan ketika berumah tangga. Pemaksaan kehendak atas pasangan akan berakibat fatal layaknya memaksa meluruskan tulang yang bengkok.
Kalaupun memang benar Ibunda Siti Hawa tercipta dari tulang rusuk Nabi Adam dan memang diciptakan untuk membantu serta menemani Nabi Adam, maka kondisi tersebut kiranya tidaklah berlaku bagi kita di masa sekarang. Setiap perempuan lahir layaknya setiap laki-laki pada umumnya. Rasanya tidak ada perempuan di masa sekarang yang tercipta dari tulang rusuk seorang laki-laki.
Pendekatan Praktis
Bagi sebagian orang, perubahan tafsir atau pemahaman atas asal-usul penciptaan perempuan mungkin tidak akan memberikan satu makna yang berarti. Terlebih ketika sehari-hari Ia telah diajarkan bahwa keberadaan perempuan tidak lepas dari area dapur, sumur dan kasur. Menurut orang-orang ini, pendidikan dan keterlibatan perempuan dalam area publik adalah hal yang sia-sia.
Jika kita pikirkan secara praktis-tanpa perlu melihat tafsir atas asal-usul perempuan-kehadiran perempuan pada ranah publik serta dalam dunia professional adalah suatu keniscayaan. Khususnya demi memenuhi hak serta memberikan layanan bagi perempuan lainnya, dan terkadang bahkan demi memenuhi keinginan para laki-laki.
Sebagian besar laki-laki pasti berharap anggota keluarganya yang berjenis kelamin perempuan merasa nyaman dalam kehidupan sehari-hari, termasuk ketika dalam keadaan sakit. Meski seorang dokter laki-laki kita perbolehkan melihat aurat seorang perempuan demi kepentingan pengobatan. Namun saya rasa sebagian besar suami akan lebih nyaman jika istrinya berobat dan dokter perempuan yang merawatnya.
Pendidikan Berkualitas bagi Perempuan
Begitu pula jika dalam proses penegakan hukum terpaksa ketika melakukan penggeledahan badan, seorang suami pasti akan merasa lebih nyaman jika yang menggeledah istrinya adalah petugas polisi berjenis kelamin perempuan. Artinya, bahkan jika menggunakan perspektif kepentingan laki-laki, perempuan yang memiliki keterampilan akan selalu kita butuhkan.
Untuk menghadirkan perempuan-perempuan berkualitas di ranah publik sudah barang tentu kita membutuhkan pendidikan yang juga berkualitas bagi para perempuan. Pelarangan perempuan untuk mengakses pendidikan adalah satu kebijakan yang sangat bertentangan dengan realitas kehidupan.
Jika perempuan terus kita kekang di dalam rumah, maka sulit rasanya untuk membayangkan lahirnya dokter perempuan, Insinyur perempuan atau lebih-lebih seorang ulama perempuan.
Perempuan tentu memiliki kebutuhan yang berbeda daripada laki-laki. Namun perbedaan tersebut tidak berarti perempuan lebih rendah dan lebih tidak berhak daripada laki-laki. Perempuan sama-sama berhak untuk mengembangkan diri seperti laki-laki mengembangkan dirinya. []