• Login
  • Register
Jumat, 18 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Personal

Menolak Menjadi Orang Tua

Dalam bingkai pembuangan bayi oleh sepasang kekasih di Pekanbaru itu memunculkan dikotomi: ingin melakukan tapi tak bertanggung jawab

M. Baha Uddin M. Baha Uddin
15/01/2025
in Personal
0
Menjadi Orang Tua

Menjadi Orang Tua

809
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Awal Januari 2025, sepasang kekasih di Pekanbaru sah bertitel menjadi orang tua. Pengesahan itu berujung ironis. Keduanya malah tega membuang bayi mereka. Alasannya amat sepele; mereka tak sanggup membesarkan sang bayi. Bertambah, hubungan mereka terjadi di luar perkawinan.

Hanya karena alasan itu mereka melupa kenikmatan sesaat berhubungan dengan memilih membuang bayi mereka. Memang, dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 42 kedudukan anak sah itu terlahir dari perkawinan sah. Sementara jika lahir di luar perkawinan hanya memiliki hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibunya (Pasal 43). Dengan dasar ini tak seharusnya sepasang kekasih itu tegel (baca: tega) membuang bayi mereka.

Pada dasarnya, betapa pun kondisi dan situasinya, orang tua wajib memelihara dan mendidik anak mereka sebaik-baiknya. Lantas, membuang anak baru berusia beberapa hari tak lain bentuk immoralitas. Bukan saja mereka menafikan tunaian kewajiban tapi berusaha membunuhnya lewat pembiaran. Ironis!

Dalam bahasan berbeda, barang kali persoalan memiliki anak masih menjadi momok kekhawatiran atau malah harapan sebagian pasangan. Namun, ketika sepasang teramanahi anak—dihasilkan dari hubungan yang sah atau tidak—tetapi malah menyia-nyiakannya itu lantas menjadi lelaku yang tak dibenarkan. Ini ambivalensi dan paradoks menyoal bagaimana pemahaman seseorang tentang konsepsi keluarga.

Usaha Antisipatif

Menjadi orang tua; ayah atau ibu, mungkin bagian dari dambaan setiap orang. Dua orang berikrar membangun rumah tangga dengan maksud melahirkan keturunan adalah bagian dari tujuan. Lagi-lagi konsep itu tersia-siakan lewat sepasang muda-mudi di atas yang membuang bayi mereka.

Baca Juga:

Pengrusakan Retret Pelajar Kristen di Sukabumi, Sisakan Trauma Mendalam bagi Anak-anak

Pentingnya Relasi Saling Kasih Sayang Hubungan Orang Tua dan Anak

Jangan Hanya Menuntut Hak, Tunaikan Juga Kewajiban antara Orang Tua dan Anak

Merencanakan Anak, Merawat Kemanusiaan: KB sebagai Tanggung Jawab Bersama

Membuang bayi sama dengan menelantarkannya. Atau bahkan membiarkannya hingga meninggal jika ia tak sempat ditemukan orang lain. Lelaku itu jelas tak manusiawi, atau jika boleh mengatakannya sebagai perilaku biadab. Perilaku berzina jelas sebuah lelaku terlarang. Namun, kalau-kalau saja telanjur melakukannya dengan istri (pasangan sah), tapi sementara tidak ingin terlalu cepat memiliki anak, maka bisa menggunakan alat kontrasepsi.

Konsen melakukan hubungan dengan pasangan tapi lantas tak mau menanggung risikonya—memiliki anak—merupakan hal tak wajar. Apalagi melakukannya dengan pasangan tidak sah, mendapat dosa pula. “Berani berbuat, berani bertanggung jawab” begitu kiranya pepatah orang-orang.

Penggunaan alat kontrasepsi dalam berhubungan sepintas memang bisa meminimalisir kehamilan tapi tak menjamin sepenuhnya. Betapa pun, pengunaannya bisa terpakai sebagai antisipasi akan kehamilan yang tak dikehendaki karena pelbagai faktor. Belum siap memiliki anak, misalnya.

Rumusan Hak

KH Husein Muhammad menyatakan amat rijit ihwal hak menggugurkan kandungan (aborsi) dalam buku Islam Agama Ramah Perempuan (2021). Pada persoalan pengguguran kandungan terdapat dua pilihan amat berat antara sang janin dan orang tua (ibu, khususnya).

Pertama, menggugurkan janin berarti sama dengan membunuh jiwa yang sudah hidup. Kedua, sedang membiarkannya tetap hidup di dalam perut berpotensi mengakibatkan penderitaan besar, atau bahkan kematian, bagi seorang ibu.

Akibat dari dua pilihan memunculkan perdebatan terjadi di beberapa ulama mazhab fikih. Buya Husein mengutip pendapat Syaikh al-Hashkafi dari Mazhab Hanafi dalam kitab Radd al-Mukhtar ‘ala Dur al-Mukhtar mengatakan pengguguran kandungan boleh terlakukan sebelum janin genap berusia empat bulan (120 hari).

Sementara Imam Ramli dalam kitab Nihayah al-Muhtaj (1993) berpendapat, Syaikh Abu Bakar bin Abi Sa’id al-Furati menurut Syaikh al-Karabisi dari Mazhab Syafi’I menyetujui aborsi sepanjang kandungan masih berupa nuthfah (air mani) atau ‘alaqah(gumpalan darah).

Belum selesai, ternyata perdebatannya pun sampai pada internal mazhab. Imam Ghazali, misalnya, berbeda pandangan dengan Imam Ramli (ulama mazhab Syafi’i sebelumnya). Imam Ghazali justru mengharamkan aborsi sejak terjadinya pembuahan. Menempelnya air mani ke sel telur (ovum), menurut beliau, menjadi tahap awal kehidupan manusia. Dengan membunuhnya itu termasuk pelanggaran pidana (jinayah).

Hukuman Setimpal

Dalam bingkai pembuangan bayi oleh sepasang kekasih di Pekanbaru itu memunculkan dikotomi: ingin melakukan tapi tak bertanggung jawab. Bilamana belum siap mengurus bayi, lantas mengapa seolah mereka tak berpikir kala melakukan hubungan terlarang itu? Atas dasar nafsu belaka seakan mereka memaksa sosok terlahir suci (yuladu ‘alal fitroh) untuk lahir padahal mereka sendiri tak menghendaki kehadirannya. Lantas perilakunya tak pantas untuk tak menyebutnya kejam dan tak manusiawi.

Kita bisa merenungi kehadiran dan harapan seorang anak terhadap orang tua (atau sebaliknya) lewat sebuah penggalan lirik lagu. Kau ingin ku menjadi/ Yang terbaik bagimu/ Patuhi perintahmu jauhkan godaan/ Yang mungkin kulakukan/ Dalam waktuku beranjak dewasa/ Jangan sampai membuatku terbelenggu jatuh dan terinjak.// Lagu itu sebaris doa dan harapan timbal balik anak dan orang tuanya (ayahnya).

Pada akhirnya, membuang bayi tak berdosa itu sejatinya meluruhkan doa dan harapannya sebagai manusia. Ketegaan orang tua untuk melakukan hal itu tercap sebagai ketakwarasan bahkan pelanggaran hukum.

Tak lain membiarkan hingga membuang bayi sesuai Pasal 430 KUHP (UU No. 1 Tahun 2023) yakni: Seorang ibu yang membuang atau meninggalkan anaknya tidak lama setelah dilahirkan karena takut kelahiran anak tersebut diketahui oleh orang lain, dengan maksud agar anak tersebut ditemukan orang lain atau dengan maksud melepas tanggung jawabnya atas anak yang dilahirkan, dipidana 1/2 (satu perdua) dari pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 429 ayat (l) dan ayat (2). []

Tags: AborsianakAngka Kematian Ibu dan BayiHukum Aborsikandunganmenolak menjadi orang tua
M. Baha Uddin

M. Baha Uddin

Bergiat di Komunitas Serambi Kata

Terkait Posts

Kehamilan Perempuan

Kehamilan Perempuan Bukan Kompetisi: Memeluk Setiap Perjalanan Tanpa Penghakiman

18 Juli 2025
eldest daughter syndrome

Fenomena Eldest Daughter Syndrome dalam Drakor When Life Gives You Tangerines, Mungkinkah Kamu Salah Satunya?

17 Juli 2025
Love Bombing

Love Bombing: Bentuk Nyata Ketimpangan dalam Sebuah Hubungan

16 Juli 2025
Disiplin

Ketika Disiplin Menyelamatkan Impian

15 Juli 2025
Inklusivitas

Inklusivitas yang Terbatas: Ketika Pikiran Ingin Membantu Tetapi Tubuh Membeku

15 Juli 2025
Kesalingan

Kala Kesalingan Mulai Memudar

13 Juli 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • eldest daughter syndrome

    Fenomena Eldest Daughter Syndrome dalam Drakor When Life Gives You Tangerines, Mungkinkah Kamu Salah Satunya?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Lampu Sirkus, Luka yang Disembunyikan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mengapa Sejarah Ulama, Guru, dan Cendekiawan Perempuan Sengaja Dihapus Sejarah?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Harmoni Iman dan Ekologi: Relasi Islam dan Lingkungan dari Komunitas Wonosantri Abadi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mu’adzah Al-Adawiyah: Guru Spiritual Para Sufi di Basrah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Belajar Mencintai Tuhan dari Rabi’ah Al-Adawiyah
  • Kehamilan Perempuan Bukan Kompetisi: Memeluk Setiap Perjalanan Tanpa Penghakiman
  • Mu’adzah Al-Adawiyah: Guru Spiritual Para Sufi di Basrah
  • Lampu Sirkus, Luka yang Disembunyikan
  • Mengapa Sejarah Ulama, Guru, dan Cendekiawan Perempuan Sengaja Dihapus Sejarah?

Komentar Terbaru

  • M. Khoirul Imamil M pada Amalan Muharram: Melampaui “Revenue” Individual
  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID