Kita harus belajar untuk menjaga lisan. Pun jika kita sedang marah, tidak senang, atau ingin menolak sesuatu, usahakan untuk tetap mengontrol emosi. Katakan penolakan dengan cara yang baik.
Mubadalah.id – Teman-teman, pernah nggak sih merasa tersinggung atas ucapan orang lain? Atau bahkan, dari ucapan itu, ada yang sampai merasa sakit hati? Aku rasa semua orang pernah mengalami hal seperti ini, baik sadar maupun tidak.
Ketika kita berada di posisi tersebut, sebenarnya kita sedang mengalami bentuk kekerasan lho. Lebih tepatnya kekerasan mental. Kekerasan ini terjadi ketika kita merasa tidak nyaman atas kata-kata atau situasi tertentu.
Menurutku, kekerasan mental jauh lebih menyakitkan dibandingkan kekerasan fisik. Luka di tubuh mungkin bisa sembuh, tetapi luka di hati? Wah, susah banget sembuhnya. Eits, tapi bukan berarti kita boleh melakukan kekerasan fisik ya. Wong kekerasan mental saja nggak boleh, apalagi kekerasan fisik.
Sayangnya, saat kita emosi, seringkali tanpa sadar kita melontarkan kata-kata yang bisa melukai perasaan orang lain. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk mengontrol diri saat emosi. Jangan sampai ucapan kita saat marah malah menyakiti hati orang lain.
Seperti pepatah mengatakan, “Lidah memang tak bertulang, tapi lebih tajam dari pedang.” Artinya jelas, luka yang disebabkan oleh lidah lebih sulit sembuh daripada luka yang disebabkan oleh pedang, bukan?
Novel Tere Liye
Nah, berkaitan dengan hal ini, aku ingin berbagi pelajaran yang aku dapat dari Novel Tere Liye berjudul Hello. Dalam novel ini, ada satu adegan di mana Tigor, salah satu tokohnya, ingin melamar seorang putri bangsawan terhormat bernama Hesty. Namun, lamaran Tigor ditolak dengan kata-kata yang sangat menyakitkan:
“Kamu mau bertanya apakah aku merestui kamu menikahi Hesty? TIDAK AKAN PERNAH! Catat itu, tidak akan pernah.”
“Apa lagi yang perlu dibicarakan?” Raden Wijaya berseru ketus.
“Hanya karena dia kuliah di kampus tempat anak-anak kuliah, lulusan terbaik, tidak membuatnya setara dengan Hesty. Hanya karena dia punya bisnis besar, rumah, mobil, tidak membuatnya setara dengan keluarga kita. Dia anak pembantu. Keluarga ini keturunan ningrat, keluarga Raden Wijaya yang terhormat. Aku tidak akan pernah menyetujui Hesty menikah dengan anak pembantu.”
Setelah kejadian lamaran yang ditolak itu, Tigor, yang dikenal percaya diri, bersemangat, dan pantang menyerah, seketika kehilangan nyali. Ia mulai menghilang dari kehidupan Hesty. Malam-malamnya dihabiskan untuk begadang, pagi tidur sampai sore, dan duduk di kafe 24 jam sampai bosan. Kehidupannya benar-benar berubah drastis. Ia menjadi tak terurus; wajahnya kusut, rambutnya berantakan.
Itulah sekilas kisah Tigor yang mengalami kekerasan mental akibat penolakan lamaran. Bahkan, di dunia nyata, cerita seperti ini tidak jarang berujung pada hilangnya nyawa.
Belajar Menjaga Lisan
Oleh karena itu, kita harus belajar untuk menjaga lisan. Pun jika kita sedang marah, tidak senang, atau ingin menolak sesuatu, usahakan untuk tetap mengontrol emosi. Katakan penolakan dengan cara yang baik dan tidak menyakiti hati orang lain.
Sebagai seorang muslim, menjaga lisan juga merupakan bagian dari ajaran agama. Dalam sebuah riwayat, Nabi Muhammad SAW menegaskan:
“Siapakah muslim yang paling utama?” Beliau menjawab, “Orang yang bisa menjaga lisan dan tangannya dari berbuat buruk kepada orang lain.” (HR. Bukhari).
Dalam hadits lain, Nabi SAW menjelaskan bahwa orang yang tidak bisa menjaga lisannya akan binasa di akhirat kelak:
“Maukah aku beritahukan kepadamu tentang kunci semua perkara itu?” Jawabnya: “Iya, wahai Rasulullah.” Maka Beliau memegang lidahnya dan bersabda, “Jagalah ini.”
Ia bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah kami dituntut (disiksa) karena apa yang kami katakan?” Maka Beliau bersabda, “Celaka engkau. Adakah yang menjadikan orang menyungkurkan mukanya di dalam neraka selain ucapan lisan mereka?” (HR. Tirmidzi).
Hadits-hadits ini semakin mempertegas bahwa menjaga lisan adalah tanggung jawab kita sebagai manusia. Mari kita jadikan lisan sebagai alat kebaikan. Sebab, setiap kata yang keluar dari mulut kita adalah amanah yang akan kita pertanggungjawabkan di hadapan Allah SWT. []