Mubadalah.id – Pada akhir bulan Agustus, aku dan temanku mengikuti kegiatan Sekolah Riset Ekologi (SRE) yang diselenggarakan di Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) selama tiga belas hari. Enam hari berlangsung di ISIF dan tujuh hari sisanya dilakukan di lokasi riset. Aku memilih Desa Cisantana, Kuningan, Jawa Barat, sebagai tempat risetku.
Selama kegiatan, banyak pengalaman dan pembelajaran yang kudapatkan. Namun, yang paling membekas adalah ketika pemateri mengatakan, “Setiap pergerakan manusia pasti berdampak pada perubahan alam, dan setiap perubahan alam pasti berdampak pada manusia.”
Hal ini terasa sangat relevan selama riset di Desa Cisantana. Banyak cerita dari masyarakat setempat yang menunjukkan dampak perubahan tersebut, terutama sejak keputusan Menteri Kehutanan Nomor 424/Menhut-II/2004 diterbitkan.
Keputusan ini mengubah pengelolaan kelompok hutan Gunung Ciremai seluas ±15.500 hektar di Kabupaten Kuningan dan Majalengka menjadi Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC). Desa Cisantana termasuk dalam wilayah ini.
Sebelumnya, masyarakat Desa Cisantana mayoritas bekerja sebagai petani yang menggarap lahan di lereng Gunung Ciremai. Mereka juga memanfaatkan sumber daya alam hutan untuk memenuhi kebutuhan hidup, seperti mengambil air, mengelola lahan hutan sebagai pertanian, dan memanfaatkan hasil hutan lainnya.
Namun, pada tahun 2004, perubahan besar terjadi. Setelah keputusan menteri kehutanan diterapkan, masyarakat dilarang mengelola lahan hutan, bahkan sekadar mengambil kayu pun tidak diperbolehkan.
Beralih Profesi
Keputusan ini memaksa banyak petani di Desa Cisantana untuk beralih profesi. Masyarakat Dusun Palutungan, yang berbatasan langsung dengan wilayah TNGC, mengalami perubahan signifikan. Profesi mereka yang semula sebagai petani kini berubah menjadi peternak, pengelola wisata alam, pengemudi ojek, perantau, atau bahkan pengangguran.
Dari situ pula muncul masalah baru, karena Desa Cisantana, yang berada di lereng Gunung Ciremai pada ketinggian 700–1.200 meter di atas permukaan laut, memiliki hawa sejuk dan pemandangan indah. Justru berkembang menjadi wisata dan kafe. Hal ini pasti akan memberikan dampak negatif bagi masyarakat bawah Dusun Cisantana.
Para petani di Dusun Cisantana kini mengalami kesulitan air karena harus bergantian dengan Dusun Palutungan dan tempat-tempat wisata. Sawah-sawah mengalami kekeringan, bahkan tanahnya retak dan tidak bisa ditanami. Biasanya, petani menghabiskan sore hingga malam hari di sawah untuk menampung air dan menyirami tanaman mereka.
Ibu Anas, seorang petani sekaligus peternak di sana, merasa bingung dan prihatin. Sawahnya kini sering kekeringan, padahal sebelumnya jarang terjadi. Bahkan untuk menanam padi pun menjadi sulit. “Kami hidup di dekat sumber air, tetapi mengapa masih mengalami kesulitan seperti ini?” keluhnya.
Kesulitan Akses Sumber Air
Bahkan kondisi ini akan berdampak lebih besar pada perempuan dan kebutuhan hidup keluarga. Termasuk ketersediaan air untuk memasak, mencuci, dan kebutuhan lainnya. Ketika akses air sulit, maka keluarga tersebut harus meluangkan waktu dan tenaga ekstra untuk mencari sumber air alternatif, mengurangi waktu mereka untuk beristirahat atau melakukan aktivitas lain.
Selama tujuh hari riset, aku mencoba memposisikan diri sebagai warga di sana. Sebagai perempuan yang sedang mengalami menstruasi, aku merasakan betapa pentingnya air bagi kesehatan reproduksi.
Sehingga saat kekurangan air dapat memicu gangguan kesehatan kita. Karena perempuan membutuhkan air bersih untuk menjaga kebersihan dan kesehatan tubuh, terutama pada masa-masa reproduksi.
Maka dari itu kita sebagai makhluk hidup sebisa mungkin harus menjaga sumber daya alam, mencegah bencana, dan menciptakan generasi masa depan dengan lingkungan yang sehat. Salah satu caranya adalah memastikan ketersediaan sumber air.
Selain itu, penting untuk melibatkan perempuan dalam pengambilan keputusan terkait pengelolaan sumber daya air, karena perempuan dan air adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. []