Mubadalah.id – Jumat, 24 Januari 2025 lalu, Dewan Eksekutif Mahasiswa (DEMA) Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) Cirebon kembali menyelenggarakan Tradisi Padang Wulanan. Agenda rutin dwibulanan ini menjadi ruang ekspresi seni dan aspirasi bagi kalangan mahasiswa.
Nama “Padang Wulanan” sendiri berasal dari bahasa Jawa: padang (terang) dan wulan (bulan). Sejak dulu, tradisi ini diadakan saat bulan purnama yang menjadi simbol kebebasan berekspresi dan kebersamaan.
Meski kini pelaksanaannya juga menyesuaikan cuaca, esensinya tetap sama: menjadi wadah bagi mahasiswa dan komunitas seni untuk menyuarakan keresahan melalui puisi, teater, tari, dan drama.
Edisi Padang Wulanan kali ini mengusung tema “Seni sebagai Wadah Aspirasi Mahasiswa Terhadap Kebijakan Rezim Pasca Raja Jawa”.
Menurut Presiden Mahasiswa DEMA ISIF Cirebon Siti Robiah, tema ini dipilih sebagai respons atas beragam isu aktual seperti politik dinasti dan kenaikan PPN.
“Isu politik dinasti, kenaikan PPN, dan fenomena ‘Raja Jawa’ yang ramai diperbincangkan publik mendorong kami merefleksikannya melalui seni. Penyebutan ‘Raja Jawa’ sengaja dipilih sebagai simbol ikonis untuk mengkritik sentralisasi kekuasaan yang sarat feodalisme,” jelasnya.
Teater
Salah satu pertunjukan paling menyentuh datang dari mahasiswa semester satu Jurusan Ekonomi Syariah. Mereka mengadaptasi puisi WS Rendra berjudul Sajak Seonggok Jagung ke dalam bentuk teater.
Melalui gerak tubuh dan dialog penuh emosi, mereka menyoroti pentingnya pendidikan yang tak hanya formal, tetapi juga membangun kepekaan sosial.
Bahkan mereka ingin menyampaikan pesan bahwa pendidikan sejatinya lahir dari kehidupan yang membuat seseorang peka terhadap persoalan kemanusiaan.
Selain soal pendidikan, melalui sajaknya, WS Rendra ingin menegaskan bahwa pemimpin itu bukan orang yang memiliki ijazah tinggi. Namun ia harus punya hati untuk mengayomi rakyat, bersikap adil, beradab, dan berpihak pada kaum marginal.
Drama Kolosal
Sementara itu, mahasiswa semester tiga Jurusan Ahwal al-Syakhsiyyah menghadirkan drama kolosal berjudul Tanah Moyangku. Mereka menggambarkan konflik perampasan tanah adat oleh korporasi yang didukung kebijakan negara selama dua periode kepemimpinan terakhir masa jabatan Jokowi.
Masyarakat adat yang telah hidup turun-temurun di suatu wilayah tiba-tiba diusir hanya karena sertifikat kepemilikan di tangan pengusaha.
Menurutku, drama ini bukan sekadar hiburan, tapi refleksi nyata ketidakadilan yang terjadi. Sehingga melalui Padang Wulanan ini, menjadi cara kami mengingatkan bahwa negara harus hadir untuk rakyat, bukan untuk pemodal.
Lebih dari Sekadar Pertunjukan: Seni sebagai Gerakan Sosial
Bahkan Padang Wulanan bukan sekadar panggung seni. Ia adalah ruang dialektika mahasiswa dengan realitas politik yang kerap pahit. Setiap puisi, tarian, atau lakon yang ditampilkan sarat dengan kritik terhadap kebijakan yang dianggap merugikan masyarakat kecil.
Hal ini menjadi bukti bahwa mahasiswa harus tetap kritis, tapi dengan cara yang elegan. Salah satunya melalui seni.
Dengan begitu, Padang Wulanan tidak hanya menjadi ritual bulanan, tetapi juga menginspirasi generasi muda untuk tak takut bersuara. Bahkan dengan Padang Wulanan mengajak kita semua untuk berpikir: seni bukan hanya tentang keindahan, tapi juga tentang keberanian menyampaikan kebenaran. Lalu bagaimana dengan suaramu? []