Mubadalah.id – Jasser Auda dalam buku Membumikan Hukum Islam Melalui Maqasid Syariah, menjelaskan bahwa metode penemuan hukum dalam bentuk sadd al dzara’i kerap kita gunakan sebagai pembenaran atas pembatasan ruang gerak perempuan. Salah satunya fatwa larangan perempuan mengemudi mobil. Fatwa ini berdasarkan pada upaya untuk mencegah terbukanya wajah serta mencegah perempuan berkumpul dengan kaum laki-laki.
Mengacu pada fatwa tersebut, mengemudi akan menjadi jalan bagi perempuan untuk pergi jauh dari rumah di luar pengawasan walinya yang sah. Jika perempuan kita perbolehkan mengemudi, maka Ia akan bebas dari pengawasan dan otoritas kaum laki-laki dalam rumah tangganya.
Menurut Jasser, sadd al dzara’i kerap digunakan oleh kelompok Neo-Literalis dan dimanfaatkan oleh rezim otoritarian. Sehingga menghasilkan fatwa serta kebijakan-kebijakan yang pada dasarnya berpotensi merugikan kaum wanita.
Mencegah Kerusakan
Secara sederhana sadd al dzara’i dapat kita maknai sebagai upaya menutup jalan terjadinya kerusakan atau pemblokiran atas sarana yang mengantarkan kepada mudarat. Istilah dzara’i menunjukkan bahwa perbuatan yang kita cegah tersebut sejatinya tidak mempengaruhi secara langsung kepada perbuatan pokok.
Sebagai contoh, wudhu tidak kita sebut sebagai dzara’i salat melainkan kita sebut sebagai muqaddimah. Karena keabsahan salat akan terpengaruhi oleh sah atau tidaknya wudhu. Lain halnya dengan khalwat yang kita anggap dapat mengantarkan (dzara’i) pada perbuatan zina. Terjadinya zina itu sendiri tidak selalu kita dahului atau tergantung oleh terjadinya khalwat.
Zina juga dapat terjadi melalui perantara-perantara lainnya. Perantara-perantara inilah yang kita sebut sebagai dzari’ah. Salah satu contoh yang paling masyhur dalam metode sadd al dzari’ah adalah larangan untuk menggali sumur di tengah jalan umum karena pasti akan membahayakan pengguna jalan.
Menentukan Yang Dicegah
Pada dasarnnya bukanlah hal yang mudah untuk menentukan suatu hal sebagai perantara yang mengakibatkan terjadinya mudarat. Secara faktual kita seringkali menemukan proyek perbaikan jalan, perbaikan sumur resapan, atau perbaikan saluran drainase yang dilakukan di tengah jalan. Namun tidak semua proyek tersebut mengakibatkan mudarat bagi pengguna jalan.
Meskipun mengganggu dan memiliki kemungkinan membahayakan pengguna jalan, akan tetapi resiko dari perbaikan dapat kita minimalisir dengan pemasangan pemberitahuan di sekitar lubang. Justru jika tidak kita lakukan penggalian lubang di tengah jalan-dengan tujuan perbaikan sarana prasarana-akan beresiko mengakibatkan kerusakan yang lebih berbahaya.
Menurut Jasser Auda, para ulama membagi sifat dari suatu dzari’ah menjadi pasti (certain), berkemungkinan besar (most probable), mungkin (probable) dan jarang (rare). Hanya dzari’ah bernilai pasti (certain) mengakibatkan mudarat sajalah yang ulama sepakati untuk terlarang. Terhadap dzari’ah yang bersifat most probable dan probable, ulama berbeda pendapat atas pelarangannya. Sementara terhadap dzari’ah yang bersifat rare, ulama sepakat untuk tidak melarangnya.
Karena dzari’ah sangat berkaitan dengan penilaian atas realitas, maka mengklaim bahwa suatud zari’ah bersifat pasti (certain) atau hanya bersifat jarang (rare) tidak bisa kita lakukan sembarangan. Untuk menilai realitas inilah Jasser Auda menyarankan agar kita menggunakan metodologi ilmu alam dan sosial yang valid. Serta meninjau kesesuaiannya dengan maqasid syariah.
Menjamin Hak Perempuan
Tidak semua sadd dzara’i berbentuk pembatasan terhadap kebebasan perempuan. Dalam konteks Indonesia, sadd al dzara’i justru kita gunakan dalam upaya menjamin hak-hak perempuan. Majelis Tarjih Muhammadiyah misalnya menggunakan metode ini sebagai dasar kewajiban perceraian di depan pengadilan.
Majelis Tarjih dalam fatwa tersebut menyatakan “Selain dari itu dapat pula ditegaskan bahwa penjatuhan talak di luar sidang pengadilan, mengingat mudarat yang ditimbulkannya, harus dilarang dan dinyatakan tidak sah berdasarkan prinsip sadduz-zari‘ah [menutup pintu yang membawa kepada kemudaratan]”.
Bagian lain dari fatwa tersebut menjelaskan “Memang dalam fikih klasik, suami diberi hak yang luas untuk menjatuhkan talak, sehingga kapan dan di manapun ia mengucapkannya, talak itu jatuh seketika. Keadaan seperti ini dipandang dari sudut pemeliharaan kepentingan keluarga, kepastian hukum dan ketertiban masyarakat tidak mewujudkan maslahat bahkan banyak merugikan terutama bagi kaum wanita (istri)”.
Perceraian yang dilakukan di luar pengadilan diyakini menimbulkan ketidakpastian hukum atas status perceraian. Selain itu, karena melakukannya di luar pengadilan dan tidak melibatkan negara di dalam prosesnya, perempuan kerap kesulitan untuk meminta sang suami memenuhi kewajiban-kewajiban paska perceraian. Seperti nafkah iddah, mut’ah hingga nafkah anak.
Fath al-Dzara’i
Sebenarnya istilah dzara’i tidak selalu kita sematkan kepada sesuatu yang mengantarkan pada keburukan. Ada pula yang kita maknai sebagai perantara tercapainya kemaslahatan. Ada dzara’i yang memang harus kita tutup, ada pula yang harus kita buka. Karenanya selain sadd al dzara’i, perlu kita perhatikan pula penemuan hukum dengan metode fath al-zara’i (pembukaan atas sarana yang membawa pada kemaslahatan).
Sebagaimana dikutip oleh Jasser Aude, Imam Al-Qarafi menyarankan agar sarana yang mengantarkan kepada tujuan yang haram harus kita tutup dan sarana yang mengantarkan kepada tujuan yang halal harus kita buka.
Kegiatan menyetir bagi perempuan seharusnya tidak hanya kita lihat dari resiko terbukanya aurat atau kemungkinan perempuan berkumpul dengan laki-laki lain. Kemampuan seorang perempuan untuk bisa mengemudi seyognyanya juga kita nilai dalam potensinya sebagai jalan datangnya maslahat.
Salah satu contoh praktis misalnya, jika suami mengalami sakit saat tengah malam dan perlu kita antarkan ke rumah sakit. Maka alih-aih menunggu kepada tetangga atau keluarga lainnya, seringkali mau tidak mau hanya istri-karena tanggal dan tidur bersama suami-yang bisa mengantarkan. Jika pasangan ini memiliki mobil pribadi, tentunya akan lebih cepat jika istri dapat mengemudikannya.
Kemandirian Perempuan
Tidak semua perempuan memiliki seorang yang layak dan mampu untuk bertindak sebagai walinya. Perempuan juga tidak bisa terus menerus bergantung kepada laki-laki atau orang lain. Karena manusia-termasuk laki-laki-hanyalah makhluk fana yang suatu ketika bisa mati atau kehilangan kemampuan. Karenanya, perempuan harus kita bekali dengan keterampilan untuk menunjang hidupnya secara mandiri.
Sadd al dzara’i seyogyanya kita gunakan sebagai jalan untuk mencegah kedzaliman. Bukan justru menjadi pembenar dilakukannya pengekangan atas pengembangan diri manusia, khususnya perempuan. Pelarangan atas suatu tindakan harus kita yakini betul memang perlu kita lakukan. Tidak hanya untuk mencegah mudarat, namun juga kita yakini mendatangkan kemaslahatan. []