Mubadalah.id – Perempuan dengan difabel mengalami kerentanan dalam berbagai sektor penghidupan, seringkali kerentanan dalam relasi hubungan asmara. Perempuan difabel berada dalam siklus kerentanan yang berlapis di antaranya ditinggalkan, atau diabaikan.
Bahkan dimanfaatkan secara fisik dan ekonomi oleh pasangan karena posisi tawar yang rendah. Rendahnya posisi perempuan dengan difabel akan menghadapi banyak hambatan sosial, di antaranya berinterasi sosial dan mengambil keputusan secara mandiri.
Hambatan yang mereka alami tidak hanya terkait dengan keterbatasan fisik atau sensorik. Tetapi juga dengan stigma sosial, diskriminasi, serta kurangnya pemahaman masyarakat terhadap kondisi mereka.
Relasi Difabel dalam Hubungan Asmara
Masyarakat sering menganggap perempuan difabel sebagai makhluk yang akseksual dan kurang menarik. Masyarakat sosial merepresentasikan perempuan dengan difabel itu mahkluk sexless, aseksual, dan monster.
Mereka tidak bisa mengontrol dorongan seks dan perasaan serta tidak bisa bertanggung jawab bila memiliki anak. Pemahaman ini berasal dari representasi kultural, mitos, stigma, dan diskriminasi yang mempengaruhi pengalaman seksual pada perempuan dengan difabel. (mengutip risalah kebijakan perempuan dengan difabel -Komnas Perempuan)
Dalam keadaan seperti itu, perempuan dengan difabel akan menghadapi banyak hambatan sosial seperti terkait dengan interaksi sosial. Seringkali mereka sangat malu yang berlebihan serta tidak memiliki kemampuan yang cukup untuk berinteraksi sosial dan mengambil peran dalam lingkungan.
Hal ini dapat berdampak pada kurangnya pengalaman, tingkat kepercayaan diri, perkembangan sosial individu dalam menjalin hubungan. Hal ini membuat Perempuan dengan difabel lebih rentan terhadap eksploitasi dan manipulasi dalam relasi hubungan asmara.
Tingginya Risiko Kekerasan Seksual terhadap Perempuan dengan Difabel
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa perempuan dengan difabel memiliki risiko lebih tinggi mengalami kekerasan seksual daripada dengan perempuan non difabel. Faktor-faktor yang berkontribusi terhadap tingginya angka kekerasan seksual terhadap perempuan difabel antara lain:
Ketergantungan pada orang lain: Perempuan dengan difabel masih bergantung pada orang lain untuk kebutuhan sehari-hari. Misalnya pola pengasuhan orang tua, anggota keluarga yang kurang support, dan relasi berpasangan yang setara.
Sikap ini membuat perempuan dengan difabel mengalami ketergantungan. Hal ini dapat digunakan sebagai alat kontrol oleh pelaku untuk memanipulasi, dan melaukan tindak kekerasan seksual.
Kurangnya Pendidikan Hak Seksual dan Reproduksi. Pendidikan HKSR bagi perempuan difabel masih sangat terbatas, dan masyarakat masih menganggap tabu hal tesebut. Hal ini menyebabkan kurangnya pemahaman mereka tentang hak-hak seksual dan bagaimana melindungi diri dari kekerasan seksual terhadap perempuan dengan difabel
Minimnya Dukungan dan Layanan yang Aksesibel: Layanan dukungan bagi perempuan korban kekerasan seksual, sering kali tidak ramah terhadap perempuan dengan difabel dan pendampingan psikologis untuk korban.
Perempuan dengan difabel menghadapi hambatan dalam melaporkan kasus kekerasan karena keterbatasan fisik, infrastruktur, media yang aksesibel, juru bahasa isyarat, atau kurangnya pemahaman petugas pelayanan terhadap kebutuhan perempuan dengan difabel
Stigma sosial: dalam melaporkan kasus kekerasan seksual, perempuan dengan difabel sering mengalami rasa takut, kurang percaya diri, atau aparat menganggap perempuan dengan difabel tidak mampu memberikan kesaksian yang valid. Selain itu, rasa malu yang berlebihan juga menjadi penghambat bagi mereka untuk berbicara dan mencari bantuan.
Upaya Pencegahan dan Perlindungan bagi Perempuan dengan Difabel
Untuk mengurangi risiko kekerasan seksual terhadap perempuan dengan difabel, kita memerlukan langkah-langkah konkret, yaitu:
Pertama, meningkatkan Kesadaran Masyarakat: Pendidikan dan kampanye publik mengenai hak-hak perempuan dengan difabel perlu mendapat perhatian agar masyarakat lebih memahami terkait kebutuhan perempuan dengan difabel
Kedua, Pendidikan HKSR : Pemerintah dan lembaga terkait harus memastikan bahwa perempuan dengan difabel mendapatkan pendidikan seksual yang sesuai dengan kebutuhan mereka. Informasi tentang hak-hak seksual, cara melindungi diri, serta bagaimana melaporkan kekerasan harus tersampaikan dengan cara yang mudah dan mereka bisa mengakses dengan mudah.
Ketiga, Memperkuat Perlindungan Hukum Penegakan hukum terhadap pelaku kekerasan seksual harus lebih ketat, terutama dalam kasus yang melibatkan korban dengan difabel. Aparat penegak hukum harus mendapatkan pelatihan khusus agar mereka dapat menangani kasus-kasus ini dengan lebih sensitif dan profesional.
Keempat, Penyediaan Layanan Dukungan yang Aksesibel: Pemerintah harus merancang layanan seperti pusat krisis, hotline, dan tempat perlindungan bagi perempuan dengan difabel yang menjadi korban kekerasan seksual, agar perempuan dengan berbagai jenis difabel dapat mengakses dengan mudah. Misalnya, menyediakan layanan juru bahasa isyarat untuk perempuan tuli atau materi dalam format braille untuk perempuan netra.
Kelima, Pemberdayaan Perempuan dengan difabel : Meninngkatkan program-program pemberdayaan agar perempuan dengan difabel memiliki rasa percaya diri yang lebih besar dalam menjalin hubungan dan mengenali tanda-tanda hubungan yang tidak sehat. Pelatihan keterampilan sosial dan ekonomi juga dapat membantu mereka lebih mandiri dan mengurangi ketergantungan pada orang lain.
Relasi Hubungan Perempuan dengan Difabel yang Setara
Perempuan dengan difabel memiliki hak yang sama untuk menjalani relasi hubungan yang setara, kehidupan yang aman dan sejahtera. Tetapi kenyataannya Perempuan dengan difabel masih mengalami hambatan struktural, sosial, dan diskriminasi.
Relasi hubungan yang kurang setara akan membuat terluka dari sisi psikologis dan rentan menghadapi berbagai tantangan, termasuk risiko tinggi mengalami kekerasan seksual terhadap perempuan dengan difabel.
Oleh karena itu, kita semua memerlukan upaya bersama baik dari masyarakat, pemerintah, serta berbagai lembaga untuk memastikan bahwa mereka mendapatkan perlindungan yang layak dan dapat hidup dengan martabat. []