Mubadalah.id – Ketika pertama kali membaca kata telembuk, asumsi orang akan mengarah pada dua hal. Pertama, makanan khas Indramayu yang berupa olahan tempe berbahan dasar ampas tahu. Biasanya dimasak dengan tepung terigu menjadi gorengan yang renyah, atau diiris kecil-kecil dimasak oreg dan ditambahkan leunca, sayuran bulat kecil hijau sebagai penambah cita rasa.
Atau kedua, telembuk sebagai perempuan yang dilacurkan atau terpaksa melacurkan diri karena faktor ekonomi, kondisi psikologis dan sistem sosial yang terjadi di masyarakat. Pelabelan terhadap nama telembuk mungkin berangkat dari asal nama tempe telembuk itu, yang dianggap murahan, yang paling tersisa dari proses makanan ampas tahu, dan sudah tak ada nilai gizinya.
Dalam kata telembuk, ada sebagai salah satu stigma negatif peran yang dimainkan perempuan, yang miskin, dianggap tak bermoral, menyalahi aturan dan norma-norma yang berlaku dalam agama dan masyarakat, menjadikan telembuk tanpa sadar sebagai kasta terendah dalam sistem hierarki masyarakat. Padahal kita tak pernah tahu alasan apa yang mendasari perempuan memilih jalan itu, bahkan banyak di antaranya bukan atas kemauan sendiri. Tapi lebih pada bagaimana caranya agar dia bisa bertahan hidup, menafkahi diri sendiri beserta keluarga. Di tengah masyarakat yang mungkin sudah tidak lagi mempedulikannya.
Mitos Kecantikan dan Kebanggaan Perempuan
Shaunti dan Jeff Feldhahn: Memahami Perempuan
Fakta dan kisah nyata tentang telembuk, dikemas dalam bentuk Novel Telembuk karya penulis Indramayu Kedung Darma Romansha, dan dipentaskan apik dalam drama teatrikal mahasiswa Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Bahasa Indonesia, Sabtu, 13 Januari 2018 di Aula Nyi Endang Dharma Ayu Universitas Wiralodra Indramayu.
Tokoh utama Safitri yang lahir dari seorang ibu yang pernah menjadi telembuk, dan ayah yang bajingan, pemabok dan doyan telembuk. Bagaimana akhirnya Safitri terperangkap dalam dunia gemerlap malam, karena kekerasan seksual yang pernah diterima. Kekerasan yang ada sebab dia terlahir dari keluarga miskin, tak berdaya, tak bisa berbuat apa-apa, menanggung beban mental sebagai anak telembuk dan ayah yang pemabok bahkan sejak Safitri belia.
Jika pada akhirnya Safitri mengikuti jejak ibunya yang pernah bekerja sebagai telembuk, itu bukan atas keinginan pribadinya. Menjadi telembuk adalah satu-satunya jalan agar dia bisa melanjutkan hidup. Ketika sudah putus asa, tak ada seorang pun yang peduli. Dan saat Mang Alex mengulurkan bantuan, meski harus dibayar dengan ikatan relasi kuasa antara lelaki dan perempuan, superioritas terhadap inferioritas. Tetapi memang tidak ada pilihan lain, karena Safitri tak berani pulang ke rumah, dengan kondisi fisik dan mentalnya yang lemah setelah mengalami kekerasan seksual.
Meski Mang Alex memasukkan Safitri dalam jeratan nasib berikutnya yang lebih mengerikan, namun melalui tangan dingin Sang Induk Semang Mak Dayem, yang memberikan mantra pengasihan atau susuk, agar Safitri mampu menjalankan perannya dengan baik sebagai telembuk profesional, Safitri, gadis desa yang lugu itu bertransformasi menjadi perempuan yang penuh percaya diri. Maka sejak hari itu juga, nama Safitri berubah menjadi Diva Fiesta.
Masa lalu yang suram bagi Diva Fiesta tergambar pada monolog, yang tertuang dalam Novel Telembuk.
“Masa laluku sudah suram. Biar aku menjalani hidup ini tanpa beban. Kadang aku merasa hidupku seperti dalam dunia dongeng, dunia wayang, dunia bayang. Tapi inilah aku, Safitri. Gadis kembang desa yang pernah digandrungi banyak orang karena suara dan kecantikannya. Dari kasidah pimpinan Ustadz Musthafa, bermimpi seperti Dede (penyanyi dangdut ternama di Indramayu), sampai penyanyi dangdut Elvi Sukaesih. Tapi harapanku hilang gara-gara malam terkutuk itu. Lantas harapan kembali muncul ketika aku menjadi penyanyi organ tunggal Langlang Buana. Orang-orang banyak yang menggandrungiku. Sampai aku memutuskan untuk berhenti menjadi telembuk dan serius menjadi penyanyi dangdut. Ini juga atas usulan dan dukungan Carta yang berjanji akan menikahiku. Tapi semua amblas, Carta tak mau mengakui bayi dalam kandunganku. Bajingan Carta!”
Meski dibesarkan dalam ketiadaan nilai keluarga yang baik, namun Safitri kecil pernah punya mimpi ingin menjadi penyanyi terkenal. Dia mengidolakan Dede S yang pernah mempopulerkan lagu tarling pantura “Kucing Garong”, dan ikon Penyanyi Dangdut Indonesia Elvy Sukaesih. Mimpi itu harus terkubur dalam-dalam, bahkan semakin pergi menjauh tatkala di malam yang naas nasib buruk menimpa Safitri, diperkosa orang yang tidak dikenal, bahkan hingga digagahi beramai-ramai oleh sekelompok pemuda.
Setelah mengalami peristiwa yang memilukan itu, kehidupan Safitri tak ubahnya seperti tempe telembuk. Saripatinya hilang, luruh sudah, lepas tak berbekas. Tak lagi berharga di mata orang lain, bahkan dia tak berani pulang ke pangkuan keluarganya sendiri.
Kehidupannya semakin terpuruk, tak punya daya dan kekuatan bahkan untuk sekedar menatap masa depan. Seperti tempe telembuk, yang dihargai murah karena berasal dari ampas sisa pembuatan tahu. Begitu juga perempuan yang sudah memilih menjadi telembuk, dia akan tidak dianggap dalam masyarakat, namanya pelan-pelan akan hilang dari ingatan kolektif sebagian orang, bahkan berganti dengan nama baru, nama panggung telembuk, dan pelabelan negatif lainnya yang akan terus selamanya melekat hingga entah kapan.
Melalui pementasan teater yang diadaptasi dari Novel Telembuk, dengan panitia, pelakon drama, dan penonton yang sebagian besar anak muda, penulis berharap agar kita bisa mengubah persepsi tentang telembuk, bukan hanya persoalan tubuh perempuan yang dijadikan sebagai objek seksualitas dan komersialisasi, bisnis untung dan rugi, tetapi bagaimana melihat telembuk dari sisi kemanusiaan.
Telembuk sebagai perempuan biasa yang mempertaruhkan nasibnya, melawan ketidakadilan sistem, dan melepaskan diri dari jeratan relasi kuasa di sekitarnya. Bahwa telembuk juga punya masa depan yang masih harus diperjuangkan. Tidak hanya bagi dirinya saja, namun juga memberi nafkah keluarganya sendiri. Bahwa bagi telembuk selalu ada kesempatan kedua, ketiga dan seterusnya yang bisa kita berikan, agar mereka bisa berdaya kembali dan merubah nasibnya menjadi lebih baik lagi. []