Mubadalah.id – Pertanyaan mendasar yang selalu menjadi perdebatan para ulama adalah bagaimana jika kemaslahatan bertentangan dengan nash. Nash dalam konteks ini dimaknai sebagai teks yang sangat jelas yang tidak bisa diinterpretasi. Banyak orang menyebutnya sebagai “lafadh qath’iy.” Dalam bahasa Imam al-Ghazali:
“Teks yang tidak mengandung kemungkinan ditafsirkan sama sekali.”
Pandangan mayoritas ahli fikih menegaskan bahwa apabila kemaslahatan bertentangan dengan nash, maka nash harus kita unggulkan. Menjelaskan hal ini, adalah menarik untuk dikemukakan pandangan Syaikh Muhammad Mushthafa Syalabi:
Jika kemaslahatan bertentangan dengan nash, dalam isu-isu publik dan tradisi (budaya) yang kemaslahatannya telah berubah. Maka diambillah visi kemaslahatan. Cara ini tidaklah berarti mengabaikan (meniadakan) nash dengan dalih rasionalitas.
Ini merupakan cara mengoperasionalkan teks-teks yang begitu banyak yang menunjukkan keharusan mempertimbangkan kemaslahatan. Berbeda bila kemaslahatan yang kita ambil dari teks tersebut tidak berubah.
Dalam kasus ini, nash sama sekali tidak boleh kita abaikan. Sungguh tak terbayangkan jika ada kontradiksi antara teks dan kemaslahatan itu. Apalagi harus mengabaikan nash.
Selanjutnya Syaikh Syalabi mengatakan:
Permenungan yang mendalam atas situasi kontradiksi antar keduanya hanyalah kesan (pandangan sekilas) belaka. Ini karena nash tentu hadir untuk tujuan kemaslahatan tertentu (kontekstual). Manakal kemaslahatan tersebut hilang, maka praktis ia tak bisa kita implementasikan. Atau ia mengandung logika rasional (‘illat). Manakala ‘illat tersebut berhenti, maka berhenti pula implementasinya.
Di tempat lain, dalam bukunya, Imam asy-Syathibi mengatakan hal yang senada:
“Sesungguhnya perbedaan hukum karena perubahan tradisi pada hakikatnya tidak berarti mengubah prinsip dasarnya. Karena hukum pada dasarnya dibuat untuk selama-lamanya andai saja bumi /dunia ini juga tetap demikian selamanya, tidak berubah-ubah. Ketentuan itu juga tidak perlu kita tambah-tambah. Manakala tradisi telah berubah, kita harus kembali kepada prinsip dasar dan memutuskan berdasarkan prinsip dasar ini.” []