Mubadalah.id – Jika merujuk pandangan KH. Husein Muhammad visi besar al-Qur’an tentang perempuan dan gender, maka menurutnya hal ini hanya bisa diteruskan melalui cara pandang tafsir yang holistik. Yaitu dengan membaca seluruh teks dengan seluruh kedalaman makna dan lingkup sosial yang mengitarinya.
Bahkan membaca tafsir yang bertumpu pada tujuan kemanusiaan, di mana etika sosial menjadi bagian utama dari spiritualitas Islam. Tafsir yang meletakkan pengabdian manusia kepada kemanusiaan sebagai hakikat puncak pengabdian mereka kepada Allah SWT.
Tafsir maqashidi ini, dalam relasi gender, berdasarkan pada cara pandang yang memanusiakan laki-laki dan perempuan.
Dengan cara pandang ini, kemudian, seluruh produk tafsir terkait relasi laki-laki dan perempuan harus kita arahkan untuk menumbuhkan kesalingan dan kerjasama, demi terciptanya segala kebaikan (jalb al-mashalih), dan terhindarnya segala bentuk keburukan (dar al-mafisid), baik di ranah domestik maupun publik.
Sebuah relasi yang kemudian dikonsepsikan oleh Dr. Faqihuddin Abdul Kodir, dengan terminologi “mubadalah” atau kesalingan.
Di ruang domestik, tafsir maqashidi meniscayakan pentingnya relasi antara pasangan suami-istri yang saling melayani, menguatkan, dan membahagiakan.
Termasuk relasi antara orang tua dan anak, kakak-adik, serta antar seluruh anggota keluarga. Mencari nafkah, kerja-kerja rumah tangga, mengurus dan mendidikan anak menjadi tanggungjawab bersama.
Begitu pun di ruang publik, tafsir magashidi menegaskan adanya kesetaraan perempuan dan laki-laki sebagai warga negara yang terhormat dan bermartabat di mata hukum.
Sehingga, baik laki-laki maupun perempuan, memiliki hak dan kewajiban yang sama. Hal ini agar bisa saling mengisi, memperkuat, dan membangun kehidupan sosial yang baik bagi segenap masyarakat. []