Mubadalah.id – Jalan Kaliurang sedari Gedung Biarawan SCJ Yogyakarta ke barat serasa tak lagi bersisa ruang kosong tatkala saya berpikir tentang pentingnya tobat transportasi. Saat itu, saya tengah bersepeda menuju arah Jalan Ringroad Utara selepas berkunjung menemui beberapa kawan frater.
Sebagai pesepeda, saya merasakan betul betapa kapasitas Jalan Kaliurang tak lagi nyaman. Saban akhir pekan, berkendara di jalan raya sungguhlah menuntut kesabaran ekstra. Hampir-hampir tiap jengkal aspal telah penuh dengan kendaraan pribadi.
Tak jarang, trotoar yang semestinya menjadi hak pejalan kaki pun ikut penuh sesak. Pengalaman itu membuat saya berpikir tentang urgensi tobat transportasi. Istilah pertobatan ini barangkali belum semoncer tobat sambel atau tobat ekologi yang kerap jadi buah bibir para aktivis atau pemikir. Namun, itu tak bermakna bahwa tobat transportasi tidaklah krusial.
Secara ringkas, tobat transportasi bermakna ajakan untuk mempertimbangkan kembali pilihan manusia dalam memilih moda transportasi. Bila kita cermati, alat transportasi pribadi telah meluap bak air bah. Fleksibilitas, agilitas, serta kebebasan yang ditawarkan moda transportasi pribadi memang menjadi primadona tersendiri.
Apalagi, kini kita berhadapan dengan zaman yang serba menuntut kecepatan. Terlebih, untuk iklim kehidupan kota, hasrat untuk melesat melampaui yang lain telah menjelma menjadi suatu tuntutan (Correia, 2024).
Di samping itu, kita juga senantiasa berkepentingan dengan hasrat berkompetisi, utamanya tentang kepemilikan properti. Standar umum kesuksesan seseorang yang didasarkan pada kepemilikan barang-barang mewah, termasuk kendaraan—motor dan mobil, merupakan hal yang lazim kita temui di masyarakat.
Karenanya, tak heran bila proyek getol pembangunan jalan raya tak pernah mampu menyelesaikan masalah kemacetan. Sekalipun aktivitas pelebaran dan pemanjangan jalan terus-menerus berlangsung, volume kendaraan yang ada selalu lebih tinggi.
Sebagai contoh, Kota Bandung yang terkenal modern pun menduduki peringkat termacet kedua belas dari 501 kota di dunia sebagaimana laporan TomTom Traffic Index 2024. Padahal, di tahun 2009 saja, panjang jalan di kota ini telah mencapai lebih dari 1200 kilometer.
Sementara, dalam pelaksanaannya, pelebaran jalan pun acap melahap lahan rakyat kecil. Ini mungkin tidak gawat bagi para pembesar dan pejabat. Namun, bagi mereka yang menyisakan akal sehat, panggilan untuk melakukan tobat transportasi tentu adalah sebuah keniscayaan.
Islam dan Seruan akan Tobat Transportasi
Gagasan tentang tobat transportasi sejatinya memiliki pertalian erat dengan konsep ajaran Islam. Agama yang rahmatan lil ‘ alamin ini senantiasa mendorong penganutnya untuk mempermudah setiap urusan. Tidak terkecuali dalam hal mobilitas.
Di dalam Hadis Riwayat Imam Muslim nomor 2699, tersebut satu sabda Nabi Muhammad SAW, “Barangsiapa yang mempermudah urusan orang lain, maka Allah akan mempermudah urusannya di dunia maupun di akhirat.”
Sabda Nabi tersebut secara tekstual memang serasa tidak memliki relevansi gayut dengan urgensi tobat transportasi. Namun, bila kita jeli memperluas interpretasi, kita dapat memaknai anjuran mempermudah urusan orang lain dengan tidak membikin macet jalan raya.
Kita semua menyadari bahwa jalan raya merupakan layanan umum (public facility) yang dimanfaatkan oleh orang banyak. Setiap orang memiliki proporsi hak yang setara, serta tentu mempunyai kewajiban bersama. Yakni, jalan raya semestinya menjadi tempat yang nyaman dan berkeadilan bagi siapapun.
Semestinya menjadi tak adil sekaligus menyangsikan, bila jalan raya kemudian termonopoli oleh segelintir orang yang diberkati dengan kepemilikan kendaraan mewah. Kita mungkin sering menyaksikan seseorang yang bermobilitas sendirian untuk jarak dekat dengan menggunakan mobil pribadi.
Bukankah akan lebih bijak bila ia berkendara dengan kendaraan roda dua? Dengan begitu, akan ada space kosong yang bisa bermanfaat untuk orang lain, mesti mungkin sekadar memberi jarak aman. Syukur-syukur malah mau jalan kaki sekalian olahraga.
Kita mungkin lupa atau terlena dengan kesadaran bahwa kendaraan kita bisa jadi telah menjauhkan diri dari anjuran agama. Kontribusi kita terhadap bertambah jubelnya kemacetan jalan raya berarti sebuah pemersulitan terhadap urusan orang lain. Selain itu, konsumsi bahan bakar minyak juga berdampak pada memburuknya krisis iklim oleh polusi serta emisi gas rumah kaca.
Lantas, bila sudah begini, apakah sebagai pengiman Islam kita hendak menolak seruan tobat transportasi?
Tobat Transportasi: Memilih dan Memilah
Islam mengajarkan kemudahan, begitu halnya dengan tobat transportasi. Kita hanya perlu melakukan 2M, yakni memilih dan memilah. Apa yang mesti kita pilih serta apa yang seyogianya kita pilah?
Sebagai upaya untuk merenungkan sekaligus memperbaiki sikap kita dalam bermobilitas, tobat transportasi menaruh kecenderungan pada kesadaran untuk memilih kendaraan umum (public transport) sebagai moda pilihan primer.
Tentu, kita yang terbiasa sat-set wat-wet akan mengeluhkan ketidakefisienan waktu bila harus berkendara dengan kendaraan umum, semisal bus atau angkot. Selain itu, tingkat kenyamanan serta akses jalur yang tersedia di beberapa lokasi mungkin belum seideal yang kita harapkan.
Namun, hanya dengan keberanian memprioritaskan kendaraan umumlah fasilitas transportasi publik akan meningkat. Bagaimana mungkin pemerintah maupun swasta dapat menghadirkan bus atau angkot berkualitas bila demand market-nya kosong melompong?
Kehadiran tobat transportasi yang membawa ruh keagamaan sedianya dapat melecut motivasi umat untuk bersama-sama hijrah dari kegandrungan terhadap kendaraan pribadi. Meski begitu, tidak serta-merta bahwa pemanfaatan kendaraan pribadi lantas menjadi haram hukumnya.
Dalam situasi yang memang mengharuskan seseorang berkendara dengan moda transportasi pribadi, kemampuan untuk memilah merupakan prioritas. Pemilahan berfokus pada jarak, jumlah penumpang atau barang bawaan, serta waktu tempuh.
Sebagai misal, ketika kita bermaksud untuk menuju suatu lokasi yang dekat dengan penumpang tunggal serta tidak terburu-buru, kita dapat memilih sepeda sebagi opsi utama. Selain dapat mengurangi polusi udara, penggunaan sepeda dapat menyehatkan persendian tubuh.
Untuk kondisi lain, kita tinggal menyesuaikan pilihan dan pilahan yang paling bijak. Pendeknya, pijakan tobat transportasi bertujuan untuk mewujudkan mobilitas sesama yang saling mempermudah—bukan mempersulit—sebagaimana seruan agama.
Bila dengan mengubah pilihan moda transportasi dapat mempermudah laku kita menuju surga, masihkah kita akan terus-terusan bermacet ria dengan kendaraan-kendaraan mubazir? []