WHO memperkirakan setiap tahun di dunia terjadi sekitar 20 juta aborsi tak aman.
Mubadalah.id – Rani, bukan nama sebenarnya, adalah seorang gadis siswi kelas 3 di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri di Jakarta Timur, berusia 14 tahun. Ia sejak kelas 1 di SMP tersebut selalu masuk 10 besar sehingga mendapat beasiswa dari sekolahnya.
Suatu hari ia datang ke kantor Fatayat NU di Kramat Raya bersama ibu dan pamannya, karena diminta oleh seorang konselor pada salah satu crisis center yang membantu menangani kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang mereka alami.
Ibunya bercerita bahwa anak gadisnya telah diperkosa oleh ayah tirinya. Sambil menangis ibunya menyerahkan amplop berisi hasil tes urine dari sebuah klinik yang menjadi rujukan crisis center tersebut.
Setelah saya buka, ternyata positif hamil, dengan usia kandungan diperkirakan sekitar 8 minggu. Ketika saya tanya, ibunya tidak lagi mampu bicara hanya menangis dan menangis.
Adik laki-lakinya yang kemudian lebih banyak memberi informasi mengenai kronologi perkosaan yang menimpa keponakannya itu maupun tindak kekerasan dalam rumah tangga yang selama ini dialami oleh keluarga tersebut.
Mereka (paman korban) menghawatirkan: “…kalau sekolah tau pasti dia tidak boleh ikut ujian bu. Dan dikeluarkan dari sekolahnya, saya kasihan dia sebentar lagi mau ujian”.
Tanya Konselor: Apakah selama ini Rini tetap masuk sekolah? Jawab pamannya: “sudah sebulan dia tidak masuk sekolah dan kami katakan kepada guru dan teman-temannya bahwa dia sakit di rumah neneknya di Jawa…”. Setelah kami mengetahui bahwa Rini hamil, ayah tirinya makin sering menganiaya ibunya dan jarang pulang”.
Ibunya kemudian menyahut dengan suara parau menahan tangis: “sejak kejadian perkosaan tersebut saya sudah bertekad mau bunuh suami saya...(tangisannya meledak kelihatan emosional). Tapi… saudara saya selalu mendampingi kemana pun saya pergi...”.
Akhir cerita, kata pamannya: “atas saran teman saya kemudian kami mendatangi alamat crisis center yang dia berikan, untuk mendampingi kasus KDRT dan gugatan hukum terhadap suami/ipar saya”.
3 Hal Mendasar
Dari dialog kasus di atas ada 3 hal penting yang sangat mendasar; pertama, sikap sekolah yang akan mengeluarkan siswi korban perkosaan.
Kedua, tidak dapat mengikuti ujian. Ketiga, menjadi aib keluarga sehingga keluarga menyembunyikan korban dengan alasan sakit di tempat neneknya di Jawa.
Bagaimana sikap anda terhadap kasus tersebut? Seandainya terjadi pada keluarga anda (Na’udzubillah min dzalik) apa yang akan anda lakukan menghadapi kasus tersebut?
Dampak dari perkosaan pada kasus di atas, selain korban mengalami trauma yang panjang. Bahkan seumur hidup, dia tidak dapat melanjutkan pendidikan dan tidak dapat bersosialisasi dengan lingkungannya.
Begitu juga jika anaknya lahir, masyarakat di lingkungannya secara sosial dipastikan tidak siap menerima kehadirannya. Bahkan bayi tidak berdoa yang dilahirkan korban itu mendapat stigma sebagai anak haram, tidak boleh bergaul dengan anak-anak lain di lingkungannya serta menerima stigma dan perlakuan negatif lainnya.
Sementara jika ia menggugurkan, selain tidak ada tempat pelayanan yang aman dan secara hukum merupakan tindakan kriminal. Begitu juga pandangan agama (fikih) yang berkembang di masyarakat pun cenderung tunggal yaitu melarang aborsi.
Padahal dalam hal tersebut, pemikiran fikih yang berkembang di masa kejayaan para imam madzhab tempo dulu cukup beragam dan dapat memberikan solusi secara syar’i.
Gambaran di atas hanya satu dari jutaan kasus Kehamilan Tidak Dikehendaki (KTD) yang berakhir dengan aborsi tidak aman yang terjadi di Indonesia. Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia menemukan, pertahun rata-rata terjadi sekitar 2 juta kasus aborsi tidak aman.
Sementara WHO memperkirakan 10-50% dari kasus aborsi tidak aman berakhir dengan kematian ibu. Angka aborsi tak aman (unsafe abortion) memang tergolong tinggi. WHO memperkirakan setiap tahun di dunia terjadi sekitar 20 juta aborsi tak aman. Lalu 26% dari jumlah tersebut tergolong legal dan lebih 70.000 aborsi tak aman di negara berkembang berakhir dengan kematian ibu. []