Mubadalah.id – Minggu, 18 Mei 2025, tepat pukul 08.00 wib saya dan teman-teman tiba di depan gerbang makam Syaikh Dzatul Kahfi atau Syaikh Nurjati Cirebon. Di situ sahabat Garfa Fatayat NU Kabupaten Cirebon telah menunggu para tamu undangan kegiatan Deklarasi Bulan Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia. Satu persatu tamu yang datang saling bersalaman. Sementara bagi yang sepuh, akan didampingi dan dituntun hingga ke lokasi acara.
Kami berempat, saya dan Vevi dari Mubadalah.id, Fitriyatun Nisa dari Rahima mewakili panitia Tim Media KUPI, serta satu peserta dari Indramayu pengasuh Ponpes Miftahul Huda Segeran Kidul Mbak Nyai Novi Assirotun Nabawiyah. Ada perasaan bergemuruh dalam dada. Kami bangga punya ulama perempuan. Mei ini akan menjadi tonggak penting dalam sejarah Indonesia.
Satu demi satu kami tapaki tangga menuju Masjid Puser Bumi. Sambil menata nafas yang naik turun, iseng saya hitung ada 90-an anak tangga dengan jarak berjalan kaki dari bawah ke atas kurang lebih 300 meter.
Di puncak anak tangga tersebut terdapat Puser Bumi Gunung Jati yang berada persis di tengah-tengah masjid. Puser Bumi Gunung Jati ini berbentuk lubang dengan diameter kurang lebih 20 sentimeter dan kedalaman 50 sentimeter. Puser Bumi Gunung Jati tersebut dipagari besi dengan bentuk persegi panjang.
Di sekitar Puser Bumi inilah tempat kegiatan deklarasi Bulan Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia berlangsung. Puser Bumi Gunung Jati ini konon adalah tempat duduk Syekh Dzatul Kahfi dan tempat bermusyawarahnya para waliyullah, termasuk Wali Songo.
Spirit Perjuangan Wali Allah
Ambu Rieke Dyah Pitaloka dalam sambutannya sebagai Ketua Majelis Zikir dan Pikir Puser Bumi mengatakan bawah tempat ini menjadi bagian dari kawasan Giri Amparan Jati. Tempat Syaikh Dzatul Kahfi atau terkenal dengan Syaikh Nurjati dan para wali berurun rembug mematrikan tapak-tapak perjalanan Islam di Nusantara.
Di tempat ini pula putri dari Sribaduga Kerajaan Pajajaran Prabu Siliwangi, yaitu Nyai Rara Santang alias Nyai Syarifah Mudaim, berhikmat membangun pendidikan budi pekerti. Selain itu ia juga mendampingi perjalanan putranya Syaikh Syarif Hidayatullah atau yang lebih terkenal dengan Sunan Gunung Jati.
“Hari ini 18 Mei 2025, dua hari jelang 117 tahun Kebangkitan Nasional kita semua Alhamdulilah wa Syukurillah telah dituntun Allah Swt untuk berzikir dan berpikir di tempat ini. Menghadirkan kembali spirit perjuangan para wali Allah dalam konteks berbangsa dan bernegara.” Ungkap Rieke.
Selanjutnya Rieke menambahkan, Semesta Amparan Jati mengingatkan kita bahwa Islam hadir di Nusantara menjadi bagian yang tak terpisahkan dari upaya menghentikan penindasan yang melahirkan kemiskinan dan kebodohan. Spirit yang sesungguhnya senafas dengan para pendiri bangsa, pada 20 Mei 1908 yang selanjutnya kita peringati sebagai Hari Kebangkitan Nasional.
Ada sekitar 200 lebih peserta yang hadir di Masjid Puser Bumi. Para peserta ini terdiri dari perwakilan pemerintah dari pusat hingga daerah kabupaten serta kota Cirebon. Para pengasuh dan Ibu Nyai pondok pesantren se wilayah 3 Cirebon, serta komunitas dan jaringan Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI). Selain hadir di Masjid Puser Bumi, ada juga peserta yang menyaksikan melalui siaran langsung Youtube Yayasan Fahmina, dan zoom meeting.
200 Peserta Deklarasi Bersama
Secara lantang, 200 peserta di masjid Puser Bumi deklarasi bersama, menetapkan Mei sebagai Bulan Kebangkitan Ulama Perempuan. Selama Mei, KUPI akan terus bergerak mengajak seluruh komponen anak bangsa untuk menyemarakkan kegiatan dengan tagline “Bersama Ulama Perempuan dan Guru Perempuan, Bangkitlah Bangsa.”
BISMILLAHIRROHMANIRRAHIM
KAMI,
PARA ULAMA, GURU, DAN PENGGERAK KOMUNITAS
JARINGAN ULAMA PEREMPUAN INDONESIA,
DENGAN PENUH KESADARAN, KEIMANAN, DAN KEBERPIHAKAN,
MENYATAKAN DAN MENETAPKAN
BULAN MEI SEBAGAI BULAN KEBANGKITAN ULAMA PEREMPUAN INDONESIA
KAMI MENYERU SELURUH KOMPONEN BANGSA
—DARI PELOSOK DESA DAN KOMUNITAS HINGGA RUANG-URANG AKADEMIA—
UNTUK MENGINGAT, MENGHORMATI, DAN MENGHIDUPKAN
PERAN ULAMA PEREMPUAN, GURU PEREMPUAN, DAN PARA PENGGERAK PEREMPUAN,
YANG TELAH, SEDANG, DAN AKAN TERUS BERJUANG
MENYALAKAN CAHAYA ILMU, MEMBELA KEHIDUPAN,
DAN MENEGAKKAN KEADILAN HAKIKI
UNTUK PERADABAN YANG BERMARTABAT
DALAM NAUNGAN RAHMAT ALLAH SUBḤĀNAHU WA TA‘ĀLĀ.
MASJID PUSER BUMI CIREBON, 18 MEI 2025 (20 DZULQA’DAH, 1446 H)
Deklarasi ini merupakan ikhtiar spiritual, sosial, dan kultural untuk memperkuat peran ulama perempuan dalam membela kehidupan, mewarisi ilmu, dan merawat keberpihakan terhadap kelompok yang dilemahkan oleh struktur sosial dan politik.
Siapa Guru Perempuan Kita?
Siapa ulama perempuan dan guru perempuan yang menginspirasi, sehingga memotivasi kita mampu melangkah sejauh ini? Pertanyaan ini terus menggedor-gedor kesadaranku sejak momen bersejarah Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia mulai digagas. Bahkan pertanyaan yang sama diajukan oleh tim Media KUPI yang sempat memintaku untuk interview singkat.
Di masa lampau ada nama Nyi Endang Darma Ayu santri kinasih dari Syeikh Syarif Hidayatullah atau masyhur kita kenal Sunan Gunung Jati. Dulu saya sempat mau menuliskannya dalam penelitian tesis. Namun, karena kisah tentang beliau berangkat dari tradisi lisan, folklor, cerita rakyat yang sulit sekali kita gali, akhirnya saya menyerah. Lalu saya memilih objek penelitian lain. Tapi nama ini yang saya sebutkan saat wawancara dengan tim Media.
Apa yang membuat Nyi Endang istimewa? Namanya terabadikan sebagai nama daerah bahkan kabupaten. Ya Indramayu itu berasal dari kata Endang Darma Ayu. Selain itu ia adalah santri kinasih sang Sunan yang diutus menjadi Panglima Perang saat berperang melawan kerajaan Galuh dalam upaya penyebaran agama Islam.
Kisah ini tertulis dalam Babad Dermayu. Meski sayang, beliau moksa, menghilang di Sungai Cimanuk karena menolak pinangan Raden Arya Wiralodra, Adipati Dermayu saat itu, sehingga kita tidak saja kehilangan jejak sejarahnya, tetapi juga tak ada petilasan atau makam yang bisa kita ziarahi.
Kedua, tentu saja ibuku sendiri. Mimi Hj Mahmudah Anas, di mana pada beliau saya belajar mengeja kata huruf hijaiyah. Usia saya mungkin masih lima, enam atau tujuh tahunan, karena lamat-lamat mengendap dalam ingatan. Setiap sore selepas salat Ashar saya duduk manis di ruang tengah. Mimi dengan tangannya yang lembut dan aroma tubuhnya yang khas menyisir rambutku sambil mengajakku mengulang ngulang kata A Ba Ta Tsa. Ba Bi Bu. Ta Ti Tu. Tsa Tsi Tsu.
Dulu saat saya kecil belum ada Iqra’, kami anak-anak menggunakan Al Qur’an Juz Amma terbitan Menara Kudus. Di tengahnya sebagai penanda halaman saya gunakan kayu bambu panjang bekas es goyang, atau es lilin yang tentu saja sudah dicuci bersih. Dulu saya menyebutnya penuduh.
Membangun Memori Kolektif
Kini lebih banyak lagi kiprah dan karya ulama perempuan dan guru perempuan yang akan semakin panjang jika tertuliskan. Melalui event Bulan Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia yang baru saja digelar kemarin di Masjid Puser Bumi Gunung Jati Cirebon, mengingatkan kembali ingatan kolektif kita bahwa betapa penting menuliskan profil para ulama perempuan dan guru perempuan. Bagaimana peran dan kiprahnya membangun peradaban dan kemanusiaan yang berkeadilan.
Dalam pidato keulamaannya, Nyai Hj Alissa Wahid menegaskan bahwa perempuan penting untuk ambil peran dalam berbagai ruang dan dimensi. Meski seringkali perempuan merasa takut untuk memulainya.
“Kita bukan tokoh dongeng dan mitos yang gagah berani dan penuh sifat kepahlawanan. Kita yang bukan tokoh mitos, yang punya anak, pasangan, dan keluarga, mengenal rasa takut. Tapi meskipun kita takut, kita harus jalan terus dan melompati pagar batas ketakutan tadi. Mungkin di situ martabat dan harga kita ditetapkan, dan ulama perempuan harus jalan terus dan melompati pagar batas ketakutan tersebut” tegasnya, mengutip perkataan dari KH. Abdurrahman Wahid.
Bulan Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia adalah ajakan untuk membangun memori kolektif umat tentang peran perempuan dalam sejarah Islam Indonesia. Ini bukan hanya tentang masa lalu, tetapi tentang masa depan yang lebih adil, setara, dan berkeadaban. Yakni dengan cahaya keulamaan perempuan sebagai bagian tak terpisahkan dari kebangkitan umat, kemuliaan bangsa, dan keberlangsungan semesta. []