Pandemik covid 19 yang sudah setengah tahun ini menimpa dunia, termasuk juga Indonesia, sehingga mau tidak mau membatasi pergerakan manusia agar tidak tertular dan menjadi cluster baru penyebaran virus. Di sisi lain pemenuhan kebutuhan pokok sandang, pangan dan papan harus terus berjalan. Berbagai peluang dan potensi ekonomi ambyar diterjang pandemik ini. Banyak diantara para pelaku usaha yang banting setir, alih profesi agar kebutuhan hidupnya tetap terpenuhi.
Melalui pengalaman tersebut, banyak hal yang membuat saya berpikir tentang dampak pandemik bagi kehidupan perempuan, terutama mereka yang selama ini menjadi tulang punggung keluarga. Ada kelompok pedagang, petani dan nelayan di Kabupaten Indramayu. Ada pula, para pegiat dan penggerak sosial di masyarakat yang juga terkena imbas pandemik.
Kata lain, kelompok terakhir ini mendapat sebutan sebagai pengangguran intelektual, karena sepinya job menjadi nara sumber atau fasilitasi kegiatan. Pun jika ada kegiatan online, hanya dihargai dengan penggantian pulsa atau paket data internet. Selebihnya lebih banyak 2 M (Makasih Mbak, Makasih Mas).
Ketika mendapat kesempatan terkait program kewirausahaan melalui Lembaga Kemaslahatan Keluarga Nahdlatul Ulama (LKK NU), saya tidak menyia-nyiakan peluang tersebut, dengan memprioritaskan beberapa hal. Pertama mempertimbangkan kebutuhan perempuan, dan ketahanan pangan serta lingkungan. Kedua, pelibatan anak muda sebagai garda depan untuk melakukan perubahan.
Sehingga diharapkan melalui pemanfaatan lahan untuk pengembangan pertanian organik, ada kerjasama dan kolaborasi antara kelompok petani, pelaku usaha serta anak muda. Selain membangun ekosistem kewirausahaan, pun membangun kepedulian orang-orang muda terhadap isu ketahanan pangan dan lingkungan.
Artinya, persoalan ini tidak hanya menjadi tanggung jawab orang tua semata, namun juga para penerus generasi masa depan. Setidaknya lahan yang subur, hutan yang rimbun, serta petak-petak sawah, tidak akan menghilang nanti, dan berganti dengan perumahan serta industri, yang akan semakin memusnahkan sumber pangan manusia.
Alasan yang disebut di atas bukan tanpa sebab. Melansir dari buku Dokumen Resmi; Proses dan Hasil Kongres Ulama Perempuan Indonesia tentang Perusakan Alam, saya mencatat beberapa point penting. Bahwa dalam struktur relasi sosial, yang terbentuk oleh hubungan-hubungan dalam masyarakat, yang timpang antar kelompok, juga antara lelaki dan perempuan, setiap bentuk kerusakan lingkungan memberikan implikasi berbeda.
Studi dampak kerusakan lingkungan menunjukkan setiap terjadi kerusakan sumber air, maka akan menambah beban kerja perempuan 6-8 kali lipat dibanding lelaki. Tambahan beban kerja dalam mencari air, rumput dan sumber penghidupan lainnya menyebabkan anak perempuan kehilangan kesempatan bersekolah, mengalami gangguan kesehatan reproduksi, dan tingkat kematian ibu melahirkan serta angka kematian bayi yang tinggi.
Ada banyak fakta yang menunjukkan bahwa dampak perusakan alam lebih banyak memunculkan pemiskinan, dan memberi beban hidup yang lebih berat, terutama pada perempuan miskin di pedesaan dan perkotaan. Meningkatnya praktik perkawinan anak terutama di masa pandemik ini karena alasan ekonomi, dan kekerasan seksual di daerah pedalaman memperlihatkan hubungan antara perusakan alam dengan hilangnya kuasa perempuan atas dirinya sendiri, akibat hilangnya kuasa mereka atas sumber daya alam.
Di lain pihak, kesadaran kaum perempuan atas perusakan alam yang akan berdampak jangka panjang tak mendapatkan tempat dalam negosiasi politik yang melibatkan perempuan. Anggapan perempuan sebagai konco wingking (teman di belakang) menempatkan mereka sebagai kelompok terpinggirkan yang tidak penting.
Maka dengan demikian, pelibatan perempuan di semua sektor kehidupan menjadi penting, terutama dalam isu ketahanan pangan dan lingkungan ini, dimana perempuan sebagai penjaga dan pelestari bumi, yang berhak atas seluruh kekayaan dan potensi alamnya, untuk dikelola sebesar-besar kemaslahatan bersama. Hal ini sejalan pula dengan upaya Nabi untuk menjaga kelestarian alam.
Disebutkan dalam tulisan Musdah Mulia, “Islam Agama Cinta Lingkungan”, yang mengisahkan tentang teladan Nabi pada 14 abad yang lalu, yang telah melakukan 3 upaya konkret pelestarian alam dan lingkungan. Pertama, Nabi tercatat melakukan upaya penetapan daerah konservasi dengan menjadikan wilayah Naqi’ sebagai daerah konservasi.
Kebijakan Nabi juga diikuti oleh Khalifah Umar bin Khattab dengan menjadikan Saraf dan Rabazah sebagai daerah konservasi. Gerakan konservasi ini perlu lebih kuat digemakan kembali agar menjadi kebijakan mainstream dari pemerintah dan para pemangku kepentingan di daerah.
Kedua, upaya lain yang dilakukan Nabi adalah mendorong umatnya agar rajin menanam pohon. Mengapa perlu menanam pohon? Setidaknya ada dua alasan penting. Satu, pertimbangan manfaat seperti dinyatakan dalam firman Allah swt “Maka hendaknya manusia merenungkan bagaimana Allah menciptakan makanannya yang menjadi pilar kehidupannya? Kami mencurahkan air hujan ke bumi, Kemudian membelah bumi dengan apa yang keluar darinya berupa berbagai jenis tanaman, Kami menumbuhkan biji-bijian padanya, anggur dan rumput makanan hewan ternak, pohon zaitun, dan pohon kurma, kebun-kebun dan pohon besar, buah-buahan dan padang savana. Kalian menikmatinya begitu juga ternak-ternak kalian.” (QS. ‘Abasa 24-32).
Lalu dua, atas pertimbangan keindahan seperti disebut dalam firman Allah swt “Atau siapakah yang telah menciptakan langit dan bumi dan yang menurunkan air untukmu dari langit, lalu Kami tumbuhkan dengan air itu kebun-kebun yang berpemandangan indah, yang kamu sekali-kali tidak mampu menumbuhkan pohon-pohonnya? Apakah disamping Allah ada tuhan (yang lain)? Bahkan (sebenarnya) mereka adalah orang-orang yang menyimpang (dari kebenaran).” (QS. Al-Naml 60).
Ketiga, upaya terakhir tapi juga tidak kalah pentingnya adalah, Nabi melarang umatnya melakukan pencemaran, khususnya terkait air bersih . Hadits Nabi yang terkenal, antara lain berbunyi “Takutlah tiga hal yang menimbulkan laknat Tuhan, yaitu buang air besar di saluran air (sumber mata air), di tengah jalan dan di tempat orang-orang berteduh. (HR. Abu Dawud).
Sehingga terkait air bersih, sangat penting direnungkan bahwa air bukanlah komoditas yang dapat dikembangkan atau diperbanyak. Jumlah air, khususnya air bersih sangat terbatas dan beberapa wilayah di bagian bumi ini sudah mulai kekurangan air. Sementara ketahanan pangan erat sekali kaitannya dengan kebutuhan air bersih ini.
Maka melalui penjelasan panjang di atas, di masa pandemi ini, penting bagi kita untuk kembali memperhatikan ekosistem alam dan lingkungan, yang telah banyak memberi untuk keberlangsungan kehidupan manusia, hari ini, esok dan di masa depan. Selain itu, kerjasama antara lelaki dan perempuan, generasi tua dan muda menjadi niscaya untuk menjaga alam semesta.
Karena kita tidak hanya sedang mempraktikkan relasi manusia dengan Tuhan (Hablu Minallah) sebagai pencipta alam semesta ini, namun juga relasi dengan alam (Hablu Minal’alam). Dimana ketika kita memperlakukannya dengan baik, maka kebaikan pula yang akan terus menyertai, sebagaimana perlakuan baik kita terhadap sesama manusia (Hablu Minannas). []