Mubadalah.id – Suatu ketika, kami – saya, beberapa teman dan senior saya Ustad Yudistira – bercengkrama di kantor pesantren. Malam yang sunyi menambah volume suara kami terdengar jelas. Inti pembicaraan itu perihal spiritual dan kesalehan perempuan. Dan tiba-tiba sampai pada titik di mana seniorku itu laksana seorang filsuf, Ustad Yudis melontarkan statement, “Sekali perempuan bergerak dalam spiritual, lelaki akan kalah selangkah di belakangnya”.
Begitulah statemen beliau atau yang semakna dengan itu. Poinnya, kaum lelaki sesungguhnya akan terpaut jauh selisihnya dalam bidang spiritual dengan perempuan bilamana sama-sama serius dan akses dan kesempatan menjalani laku spiritual sama.
Saya yang memang sedari tadi tidak banyak bicara dan lebih mewakafkan diri untuk mendengarkan. Dari satu obrolan ke obrolan lainnya, seketika berdecak kagum dengan pernyataan senior saya tentang kesalehan perempuan itu. Lebih penting, saya mengangguk mengafirmasinya dan membenahi posisi duduk sebagai tanda antusias terhadap topik kali ini. Perempuan jauh lebih di depan dalam laku suluk dari pada kaum lelaki.
Kesalehan Perempuan dalam Pandangan Pythagoras
Di sela-sela itu, pikiran saya melayang jauh menembus lorong zaman hingga abad sebelum Masehi. Perkiraan tahun 532 sebelum masehi, yang konon, tahun itu penanda dewasanya seorang filsuf Yunani bernama Pythagoras.
“Perempuan sebagai satu jenis kelamin, “Ujar Pythagoras, “secara alamiah lebih dekat dengan kesalehan”.
Demikian Bertrand Russell menuliskan kalam hikmah yang bersinggungan dengan feminisme dalam buku Sejarah Filsafat Barat (terjemahan). Tidak perlu heran, filsafat Pythagoras yang merupakan seorang Nabi keagamaan dan seorang matematisi murni – menurut penilaian Bertrand Russell – memang amat kentara dengan ajaran feminisme.
Ajaran feminisme yang dikembangkan dari pengaruh Orphisme – kaum yang menjalani kehidupan asketis dari agama Bacchus. Semisal prinsip dalam forum yang ia dirikan: antara laki-laki dan perempuan mendapatkan perlakuan yang sama. Barang properti milik bersama dan menjalani hidup yang sama.
Sayangnya, Russell tidak mengulas lebih jauh alasan apa dan dalam kapasitas apa perempuan lebih dekat dengan kesalehan atau nilai spiritual dalam perspektif Pythagoras. Apakah lantaran dewa-dewi zaman Yunani seringkali simbolnya adalah perempuan? Entah.
Kendatipun demikian, memang kita temukan dalam sejarah Islam figur-figur perempuan sebagaimana perkataan Pythagoras. Sebut saja di antaranya, Rabi’ah Adawiyah. Bahkan guru-guru spiritual Syaikhul Akbar Ibnu Arabi tiga di antaranya adalah perempuan.
Argumentasi yang Patriarkis
Sementara itu argumentasi Yudistira – dan saya tidak setuju argumen beliau – untuk menguatkan gagasan bahwa perempuan lebih cepat menuju Tuhan, berargumentasi bahwa karena porsi akalnya perempuan lebih sedikit dan lebih banyak porsi perasaannya. Berbeda dengan lelaki yang porsi akalnya lebih banyak ketimbang akal. Singkatnya, perempuan makhluk perasaan dan lelaki makhluk rasional.
Ketidaksetujuan saya hendak saya ajukan tetapi rupanya tak sesuai harapan. Kami – termasuk Yudistira sang penggagas ide perempuan lebih canggih dalam spiritual daripada laki-laki sebagaimana pandangan Pythagoras – bubar karena waktu tak memungkinkan.
Satu demi satu meninggalkan kantor pesantren menuju kamar masing-masing, tinggal saya masih termangu sendirian. Pikiran masih terpaut dengan beberapa bantahan argumentasi yang Yudistira ajukan: perempuan makhluk perasaan bukan rasional.
Oleh sebab itu, terpaksa saya memproyeksikan imajinasi seolah berdiskusi dengan beliau dalam lamunan. Argumen pertama, tentu argumentasi Yudistira ini misoginis yang tertanam dalam benak beliau yang kita sebut sebagai kaum patriarkis.
Saya tidak yakin, beliau sudah mengkhatamkan kitab apa dan berapa jurnal dan berapa penelitian sehingga berkesimpulan perempuan makhluk yang kurang rasional — konsekuensinya bukan manusia intelektual — kecuali sekadar dengar dari sesama kaum-kaum patriarkis yang kemudian mengendap dalam alam bawah sadarnya seolah pengetahuan.
Kedua, argumen perempuan makhluk yang lebih perasaan dan kurang mendayagunakan akal sehingga mengantarkan ke Tuhan lebih cepat dibanding laki-laki yang erat dengan akal itu. Mengesakan Tuhan takut ke akal dan cenderung senang ke perasaan. Padahal keduanya sama-sama makhluk Tuhan yang tak perlu Tuhan ketar-ketir dengan akal.
Istilah Akal
Ketiga, istilah “akal” yang Ustad Yudis gunakan masih ambigu. Konotasi maknanya, tidak jelas mengarah kemana. Saya khawatir, beliau menggunakan kata “akal” secara serampangan tanpa memperhatikan apa sebetulnya makna akal? Saya ragu beliau memperhatikan posisi akal dalam diskursus keislaman? Jangan-jangan, yang ia maksud “akal” – sebagaimana beliau mengatakan – adalah nafsu? Emang sama ya antara akal dan nafsu?
Padahal bila kita baca Ihya Ulumiddin, Imam al-Ghazali memaknai akal dengan berapa pengertian. Yang itu artinya kita mesti hati-hati menggunakan diksi akal agar tepat sasaran sesuai konteks pembicaraan.
Bahkan Syekh Abu Bakr Sytho al-Dimyati dalam kitab I’anah al-Thalibin mengulas dari pandangan para ulama bahwa akal adalah sesuatu yang bisa membedakan antara buruk dan baik. Sedangkan tempatnya dalam hati yang mana dari akal ini memancarkan energi menuju otak. Puncaknya, akal dan ilmu “bertengkar” siapakah diantara keduanya yang paling mulia di sisi Tuhannya?
Mengapa saya bilang demikian? Sebab Yudistira memberikan contoh semisal perempuan diberikan amalan oleh gurunya seringkali langsung ia laksanakan tanpa penundaan dengan dalih ini-itu lantaran perempuan kurang mendayagunakan akalnya. Sebaliknya, laki-laki bila diberikan tugas gurunya masih berdalih ini itu lantaran seringkali mendayagunakan akalnya. Begitulah Yudistira mencontohkannya.
Nah, dalam konteks tersebut layakkah laki-laki berakal dan perempuan tidak/minim? Jelas jawabannya tidak layak. Sebab — sesuai pengertian akal dalam I’anah al-Thalibin — mestinya yang berakal adalah mematuhi perintah guru karena itu baik dan tidak menundanya karena itu buruk. Dengan begitu, justru perempuan yang lebih rasional (akal) karena mematuhi anjuran gurunya sebagai sesuatu yang baik.
Pertanyaannya, lalu akal dalam pengertian apa yang dimaksud Ustad Yudistira? Jawabannya masih akan didiskusikan lebih lanjut nantinya. []