Sebagai seorang guru Bahasa Inggris di sebuah lembaga yang menitik beratkan literasi anak, setiap hari saya berinteraksi dengan murid-murid yang memiliki caranya sendiri-sendiri dalam merespon sebuah cerita. Selama pembelajaran daring berlangsung di tengah pandemi ini, tidak jarang saya memutarkan video-video fairy tales sebagai warm-up activity, atau menjadikannya sebagai bagian dari materi untuk diskusi.
Beberapa materi bacaan dalam buku kursus mereka juga menyadur fairy tales yang sudah dikenal di seluruh dunia. Yang menjadi perhatian saya adalah bagaimana murid-murid laki-laki bereaksi terhadap cerita-cerita dongeng, terutama yang menceritakan tentang seorang puteri dan pangeran dari negeri antah-berantah.
Suatu hari saya menerima komentar dari seorang murid laki-laki, “Aduh, Miss, kok ceritanya puteri-puterian, sih! Aku kan cowok, masa’ baca cerita cewek?!” sambil dia berputar-putar keliling kelas, menghentak-hentakkan kakinya. Di lain waktu, saat kelas daring sedang berlangsung, murid laki-laki yang berbeda mengangkat tangan, hendak menghentikan video fairytale yang sedang diputar, “Miss, Miss…ini enggak ada cerita yang lain? Yang hewan-hewan aja, jangan Snow White.”
Di sisi lain, saya tidak mendapatkan protes dari murid-murid perempuan ketika saya memilih cerita-cerita perang, yang notabene kerap dianggap maskulin. Komentar-komentar di atas membuat saya makin memahami bahwa banyak sekali hal yang beredar di sekitar anak-anak yang sebenarnya tidak perlu tergenderisasi.
Sebelum menyoal bagaimana menjawab tantangan untuk menormalisasi fairy tales untuk anak laki-laki, mari mencari tahu lebih lanjut tentang apakah cerita-cerita dongeng memang bermanfaat bagi tumbuh kembang anak-anak. Penting bagi para orang tua dan pendidik untuk memahami bagaimana cerita-cerita tersebut dapat menyelinap dan bertahan dalam memori anak-anak, untuk mempengaruhi pikiran dan tindakan mereka di usia dewasa, seberapa pun samarnya pengaruh itu.
Telah banyak pendapat yang beredar mengenai bagaimana fairy tales menghadirkan representasi gender yang tidak menguntungkan baik bagi perempuan dan laki-laki. Pada tahun 2018, Hollywood sempat diramaikan oleh pernyataan dua aktor perempuan ternama, Keira Knightley dan Kristen Bell, yang memberitahu public bahwa mereka tidak akan memperbolehkan anak-anak mereka mengakses film-film produksi Disney.
Alasan mereka berdua serupa, menganggap bahwa film-film yang diadaptasi dari fairy tales bisa ‘meracuni’ sudut pandang anak-anak mereka akan peran gender karena representasi yang problematis di dalamnya. Secara karakterisasi, memang perempuan-perempuan dan laki-laki dalam banyak cerita dongeng terkotak-kotakkan secara terbatas; pangeran gagah berani dan perempuan yang membutuhkan pertolongan, misalnya. Fakta ini menjadikan alasan Knightley dan Bell memiliki dasar yang kuat.
Meski demikian, Sally Goddard Blythe, seorang psikolog anak dan penulis buku The Genius Natural of Childhood: Secrets of Thriving Children, menyatakan bahwa anak-anak dapat belajar mengenai nilai-nilai kehidupan dengan mudah dari fairytales, seperti yang dikutip dari Telegraph UK. Selain itu, membaca fairytales dapat melatih daya imajinasi yang akan membantu mereka memahami rasa takut, merangkai mimpi, memelihara harapan dan memahami emosi dari pengalaman para karakter yang mereka baca atau saksikan.
Kesederhanaan dunia yang hitam-putih dalam cerita dongeng membantu anak-anak merasa nyaman dalam menghadapi tiap perubahan fase hidup mereka, walau dunia nyata sebenarnya lebih cenderung abu-abu. Mereka dapat belajar memahami ketidaknyamanan tanpa perlu merasakannya sendiri di usia dini, dan ini dapat menumbuhkan empati dengan pendampingan yang tepat. Oleh karena itu, orang tua dan pendidik memegang peran krusial dalam menjadikan fairy tales sebagai sarana melatih emotional intelligence atau EQ.
Setidaknya ada tiga cara yang dapat dilakukan orang tua dan pendidik dalam upaya ‘menetralkan’ cerita-cerita dongeng, terutama kisah tentang puteri dan pangeran bagi anak-anak laki-laki, sehingga mereka dapat memperoleh manfaatnya dan tidak terjebak mengotak-kotakkan cerita.
Pertama, dalam mendampingi anak menonton atau membaca cerita dongeng, kita harus fokus pada pesan ceritanya. Kita perlu menekankan bahwa pesan-pesan tersebut berlaku untuk siapapun; jangan menjadi jahat seperti penyihir, jangan menyerah pada kesusahan, jadilah gagah berani dalam menentukan pilihan, jadilah pribadi yang peka terhadap perasaan orang lain, dan lain-lain.
Kedua, hindari kesimpulan yang membuat anak menganggap sifat-sifat atau tindak tanduk maskulin lebih diunggulkan dari pada yang feminin. Menanamkan ide bahwa laki-laki juga boleh merasakan emosi yang melemahkan adalah salah satu contohnya, dan itu tidak lantas membuat laki-laki boleh diremehkan.
Sifat pemberani dan perangai lembut serta penyayang bisa dimiliki oleh seseorang dalam waktu bersamaan, atau kemampuan menjaga diri dengan pandai bela diri boleh dimiliki oleh seseorang yang juga menangis ketika bunga kesayangan nyamati. Sampaikan bahwa sifat-sifat baik (atau pun jahat) dari karakter-karakter cerita dongeng bukanlah suatu kekhususan laki-laki atau perempuan.
Ketiga, orang tua dan pendidik dapat mengutak-atik alur cerita jika memang dirasa perlu dan memungkinkan untuk dilakukan, dalam artian hal tersebut tidak akan membuat inti cerita jadi melenceng. Kita juga bisa menanyakan ending lain yang seperti apa yang bisa ditawarkan oleh anak-anak, dalam rangka melatih mereka melihat sesuatu dengan sudut pandang berbeda. Menanyakan bagaimana perasaan dan pendapat mereka mengenai sebuah cerita juga penting untuk membiasakan mereka berbagi gagasan.
Sehingga dengan menerapkan tiga langkah di atas, diharapkan anak laki-laki akan dapat menikmati sebuah fairy tale semata untuk cerita dan pesannya, tanpa terfokus pada untuk siapa cerita tersebut harusnya ditujukan. Tidak ada yang namanya cerita khusus perempuan saja, atau hanya untuk laki-laki saja. Cerita-cerita dongeng tidak terikat gender, dan informasi ini harus disampaikan sejak usia dini untuk menghindarkan anak-anak dari dikotomi gender yang tidak perlu. []