Mubadalah.id – Fenomena menemani dari nol pasti tak asing lagi, karena kerap kali terjadi baik di lingkungan kita maupun teman-teman terdekat kita. Khususnya perempuan yang senantiasa menemani pasanganya dari fase belum mandiri secara finansial hingga menjadi seseorang yang mampu mandiri atau bahkan memiliki materi yang lebih daripada sebelumnya.
Dari beberapa yang saya telusuri di timeline media sosial banyak yang merasa dirugikan sebab dia sudah mengupayakan semua hal untuk mendukung pasangannya baik secara materi atau tenaga. Namun ketika pasangannya ternyata sudah naik kelas justru malah meninggalkan bukan melanjutkan hubungan.
Sebenarnya apakah cinta layak kita perjuangkan atau kita tinggalkan jika relasi terbangun atas pengorbanan sepihak?
Yuk kita bahas!
Apa itu From Zero to Hero Syndrome?
From zero to hero syndrome ini merujuk pada seseorang umumnya laki-laki yang masih belum stabil secara ekonomi tapi meminta pasangannya mau menemani dari nol hingga ia sukses.
Mungkin menemani dari nol sekilas kesannya romantis karena berjuang bersama, membantu pasangan sampai sukses, menunggu pasangan berjuang untuk masa depan dan lain sebagainya.
Padahal sebenarnya dalam praktiknya, relasi ini justru timpang karena perempuan seringkali mengorbankan impiannya sendiri demi seseorang yang belum tentu memprioritaskan dirinya saat sudah berhasil. Hal ini menunjukkan adanya ketimpangan beban emosi dan peran dalam hubungan itu sendiri.
Kenapa menemani dari nol kita sebut dengan syndrome? Karena ini jadi pola umum yang seringkali berulang dalam banyak relasi serta sering diromantisasi.
Potret Alasan Mengapa Perempuan Terjebak dari Budaya Patriarki dan Narasi Populer
Melihat potret perempuan yang menemani dari nol sering tergambarkan sebagai sosok setia mendampingi pasangannya dalam masa sulit secara ekonomi, karier atau emosi. Selain itu, tergambarkan sebagai sosok yang mengorbankan waktu, tenaga, serta impiannya demi cinta. Dan seseorang yang meski mendapat perlakuan tak adil tapi harus tetap bertahan. Harapannya kelak pasangannya akan membalas perjuangnya ketika sukses nanti.
Adanya fenomena ini sebenarnya bukan hanya berasal dari alasan pribadi perempuan melainkan alasan tersebut itu terpengaruhi oleh hasil konstruksi budaya dan narasi populer yang terus memproduksi peran tersebut, sebagaimana idealnya menjadi perempuan baik.
Budaya patriarki inilah yang membentuk terciptanya kultus serta pengabdian. Misalnya perempuan itu kita idealkan sebagai sosok penyabar, setia dan pengabdi meskipun menderita. Diperkuat oleh ajaran agama, adat dan nilai tradisional yang menempatkan perempuan sebagai penolong laki-laki bukan mitra yang setara.
Banyak narasi-narasi berkembang lewat kisah cinta popular baik itu melalui film, sinetron atau tayangan di media sosial. Di mana narasi itu menggambarkan perempuan ideal itu wajar untuk menunggu lama, sabar tersakiti, menerima pasangannya atau mendampingi lelaki dari nol sampai sukses yang hubungan mereka berakhir bahagia.
Perempuan terus tersugesti untuk percaya bahwa kalau sudah terlanjur banyak berkorban maka harus tetap bertahan. Nah, hal ini dapat menciptakan jebakan psikologis juga rasa tanggung jawab palsu untuk terus menemani meski tidak lagi sehat secara emosional.
Pernah dengar kalimat ini?
“Di balik laki-laki sukses, ada perempuan hebat”
Kalimat ini membuat peran perempuan hanya sebagai tokoh pendukung bukan tokoh utama dalam hidupnya sendiri.
Perempuan sering terjebak menjadi peran menemani dari nol karena budaya patriarki dan stigma yang melekat. Kalau perempuan meninggalkan pasangan saat pasangannya sedang berjuang kerap dicap cewek matre, nggak setia dan nggak bisa diajak susah. Hal inilah yang menciptakan tekanan moral untuk bertahan demi citra diri terjaga di mata keluarga dan masyarakat.
Risiko Menemani dari Nol Bukan Sekadar Patah Hati
Menemani dari nol sering diromantisasi bahwa hubungan yang terjalin akan berakhir bahagia, terdengar manis bukan? Namun kenyataannya, mau menemani dari nol atau nggak ya bukan jaminan bahwa relasi yang terjaga akan berakhir bahagia.
Selain nggak ada jaminan untuk melanjutkan hubungan ke arah serius juga menimbulkan patah hati mendalam. Nah, menemani dari nol memiliki beberapa risiko, antara lain;
Pertama, adanya ketimpangan daya (power imbalance) dalam hubungan. Ketika ada satu pihak berada di posisi membantu dan satu pihak lainnya di posisi terbantu ini menyebabkan relasi yang tak setara, sebab satunya merasanya berhutang dan lainnya merasa punya kendali.
Kedua, memunculkan ekpektasi sepihak atas pengorbanan. Menemani dari nol ada kaitannya dengan pengorbanan yang kita lakukan dari waktu, tenaga hingga materi. Nah, ini memunculkan ekspektasi dari pihak yang berkorban bahwa pengorbanan yang ia lakukan kelak akan dihargai dan terbalas.
Ketiga, ketimpangan relasi. Relasi yang terjalin dari nol, kadang membuat satu pihak tumbuh serta berkembang lebih pesat dalam hal karir dan kepercayaan diri meningkat. Sementara pihak lainnya justru stagnan atau bahkan tertinggal sebab terlalu sibuk menjadi pendukung.
Lebih Baik Bertahan atau Tinggalkan?
Pertanyan ini sebenarnya perlu terjawab dengan jujur oleh orang yang menjalani. Mungkin bagi kalian yang berada di situasi ini, saya mempunyai beberapa pertanyaan untuk memudahkanmu memilih antara mau bertahan atau meninggalkan.
“apakah kamu nggak keberatan menemani ia terus berproses dari nol meskipun nggak ada jaminan?”
dan, “apakah kamu hanya fokus menjadi penopang hingga lupa akan dirimu sendiri?”
“apakah kamu melihat ada visi dari dia yang jelas dan realistis?”
atau, “apakah dia menunjukkan usaha yang jelas bukan hanya wacana?”
Kalau jawabannya kamu malah menyusut, nggak berkembang karena fokus mendukung pasanganmu, kehilangan diri sendiri sebab lelah emosional dan finansial. Selain itu juga ketika cinta menjadi beban bukan ruang aman untuk dirimu bertumbuh atau kehilangan versi terbaik dari dirimu sendiri, serta hubungan yang terjalin hanya berisi janji tanpa bukti nyata dan kamu sendiri tak dihargai, lebih baik tinggalkan.
Jika dalam relasi terdapat visi misi bersama yang jelas dan realistis, kemudian pasanganmu menunjukkan usaha konkret nggak sekadar wacana. Lalu hubunganmu menciptakan komunikasi sehat, saling dukung serta tidak membebani sepihak, dan saling bertumbuh bukan melulu menunggu salah satu pihak lebih maju, ya kamu bisa memilih untuk bertahan.
Relasi Sehat Tak Harus Memberatkan
Menemani dari nol boleh. Tapi jangan lupa bertanya kepada diri sendiri kamu bahagia nggak? Perlu kita ingat bahwa cinta itu kerjasama bukan pengorbanan sepihak. Kamu nggak harus menjadi pendukung atau mengubah seseorang sebab itu bukan tanggung jawabmu karena bertumbuh harusnya tugas personal.
Nggak ada salahnya menemani dari nol asal pasanganmu nggak menyuruhmu untuk terus menjadi penopang dan hanya fokus padanya. Hingga kamu melupakan tujuan hidupmu sendiri.
Alih-alih sindrom “Zero to Hero”, relasi sehat seharusnya memberi ruang bagi kedua pihak untuk bertumbuh. Lalu memiliki komunikasi yang jujur soal harapan serta dukungan, menghargai peran emosional, finansial juga spiritual satu sama lain. Selain itu berjalan bersama bukan saling menopang atau memberatkan. []