Mubadalah.id – Sudah lama Novi tetanggaku tak tampak di pengajian rutin bulanan. Keluar rumah pun jarang. Namun setiap aku melewati rumahnya terdengar suaranya yang merdu berpadu dengan musik karaoke. Ternyata dia kini punya hobi baru, berkaraoke.
Tak banyak yang tahu apa kegiatan sehari-harinya sekarang. Meski teman dekat atau teman akrab belum tentu tahu jika tak menyempatkan diri main ke rumahnya atau secara tak sengaja bertemu dengannya.
Seperti siang itu di halaman sebuah RS aku bertemu dengannya lalu berbincang. Rupanya dia usai periksa kesehatan dan kontrol ke seorang ahli kejiwaan, psikiater. Sebagai teman dan tetangga, aku tak berani terlalu banyak bertanya kenapa sampai konsultasi ke ahli tersebut. Untung dia sendiri yang bercerita panjang lebar tanpa aku minta.
Sembari mengajakku duduk di bawah pohon beringin di area RS, cerita tentang dirinya mengalir dengan lancar. Sebagai pendengar, aku merasa diuntungkan karena semua kisahnya dia ungkapkan dengan leluasa tanpa aku harus bertanya. Semua dibuka seolah yakin aku mampu menampung sekaligus mampu menyimpannya dengan rapi.
“Aku hampir putus asa, Mbak. Jika bukan karena si ragil masih kecil, rasanya aku memilih berpisah. Lima tahun menahan diri dan bersabar, ujungnya lebih menyakitkan,” katanya lirih nyaris tak terdengar. Pipinya basah menghabiskan beberapa lembar tisu untuk mengelapnya.
Menilik Konflik Rumah Tangga
Konflik rumah tangga tanpa kesalingan yang ia alami membuatnya mengurangi interaksi dengan teman-teman termasuk teman pengajian. Hanya saat tertentu dia perlu ke luar rumah dan itu pun ia lakukan dengan setengah hati. Aktif di organisasi dan aktif berkegiatan di lingkungan para perempuan tangguh kini semakin jarang dilakukan.
Dia merasa setelah puluhan tahun membina rumah tangga dengan kesalingan, hingga bercucu ini, berujung ambyar. Berawal dari nol sampai di titik ini yang terlihat memang rukun bahagia sejahtera tak kurang suatu apa. Dengan melewati beribu batu sandungan, di mata orang lain, mereka selalu tampil harmonis bak pasangan bahagia lainnya. Empat buah hati melengkapi kebahagian seperti yang diidam-idamkan pasangan lain.
Semula hanya gosip, bahwa suami ada main dengan perempuan lain. Dari sini hubungan kesalingan sudah mulai hambar. Menahan diri dari terpaan rumor sembari memperbaiki hubungan sudah ia upayakan. Tak hanya pelayanan tapi juga penampilan agar suami betah di rumah.
Bicara empat mata mencari titik permasalahan, tak kunjung ketemu karena suami bersikukuh merasa tak berulah. Hingga suatu hari terpampang nyata di depan mata anak-anak, sang ayah memang ada main. Sekali lagi, tak mau mengakui dan yang terluka bertambah jumlahnya.
Sejak itulah kesalingan mulai memudar. Tak ada lagi saling percaya, saling menghormati, saling menghargai, dan parahnya rasa saling mencintai juga ikut menipis. Bahkan rasa hormat ke orang tua yang sedari kecil diajarkan pada buah hati menjadi berkurang karena ada seutas rasa curiga. Ikatan rasa saling memiliki seakan ikut melemah tak sekuat dulu.
Depresi
Novi ingin kejujuran dan keterbukaan dari suami, tapi tak pernah ia peroleh. Ujungnya dia merasa dikhianati, terzalimi, tersakiti dengan tidak adil dan sepihak. Dia berharap jika memang suami sudah tak ada kesalingan, bosan, jemu, dan lain-lain, hendaklah berterus terang dan saling introspeksi.
Pepatah mengatakan tak ada gading yang tak retak. Suami atau isteri masing-masing punya kelebihan dan kekurangan. Saling menutupi kekurangan dan saling melengkapi adalah solusi bukan mencari yang lebih di luar sana. Jika memang suami sudah tidak ada rasa dan ingin berpisah pun, ada aturan-aturan secara hukum negara maupun agama.
Keluarga dari kedua pihak sudah pernah mencoba menengahi tapi tak berhasil. Lelah atas segala upaya yang dilakukan, Novi sudah tak kuat lagi menahan beban. Dia depresi. Pernah begadang tiga hari tiga malam karena mata tak mau terpejam. Suami bersikap seolah tak terjadi apa-apa dalam keluarganya. Setiap muncul keinginan untuk berpisah, kebaikan-kebaikan suami kembali terlihat yang membuat Novi memilih mengalah.
Tak pernah ada itikad baik terhadap istri walau sekadar kata-kata yang menenangkan. Pelukan hangat suami kini menjadi sesuatu yang mahal. Novi merasa tak punya arti di mata suami. Mati-matian bertahan sendirian membuat batinnya terluka parah.
Konsultasi ke Psikiater
Ibarat suami berjalan dengan perempuan lain, dia raih tangan suami dia pegang kuat-kuat berharap tak jadi berjalan. Namun, apa yang terjadi? Justru jalan suami dipercepat meninggalkannya sementara dia pegang tangan suami makin erat, dia terseret-seret dan terluka parah.
Hingga suatu hari Novi sudah tak mampu menguasai diri. Dia menangis sambil tertawa dan tertawa sambil berurai air mata. Ini terjadi beberapa hari. Dari sini akhirnya dia berhubungan dengan psikiater atas desakan putrinya. Selama konsultasi, tak ada yang ia tutupi dan setiap saran dari ahli tersebut satu per satu dia jalani. Salah satunya isi waktu luang dengan nyanyi-nyanyi dan dia memilih berkaraoke.
Tak hanya ke ahli kesehatan jiwa, ke ahli agama juga sudah ia coba. Dia ingin bertahan dengan caranya, tapi tidak bagi suaminya. Lebih tragis lagi selama proses penyembuhan batin dengan kedua ahli tersebut, suami semakin menunjukkan bahwa rumor yang beredar memang benar adanya. Meski begitu dia tak rela jika konflik dalam keluarganya menjadi konsumsi publik.
Entah sampai kapan dia harus konsultasi ke psikiater dan sampai kapan mengonsumsi obat yang disarankan, hanya dia sendiri yang tahu. Kesalingan itu sudah samar-samar dan kini bahkan hilang. Kesepian yang melanda dia isi dengan berkaraoke ria, berkebun, menekuni hobi memasak, dan mendalami agama. Hatinya kini berserah, lebih mendekat kepada yang Maha Mengatur dan sudah mulai menerima bahwa hari-hari suami kini terbagi dua. []