Mubadalah.id – Dalam diskursus keagamaan, tak jarang kita menemukan narasi yang seolah-olah menyudutkan perempuan, salah satunya melalui interpretasi hadis tentang fitnah perempuan. Namun, sudah saatnya kita memaknai teks tersebut secara proporsional dan mubadalah—sebuah pendekatan yang menekankan kesalingan dan kesetaraan.
Hadis yang sering disebut-sebut mengenai fitnah perempuan adalah ajakan bagi kaum laki-laki untuk waspada terhadap potensi godaan yang bisa datang dari perempuan.
Ini bukanlah upaya untuk mendiskreditkan atau mendiskriminasi perempuan. Apalagi sampai membatasi ruang gerak mereka dengan aturan-aturan yang menyulitkan. Inti dari hadis ini adalah seruan untuk berhati-hati.
Sebagaimana dalam pandangan oleh Faqihuddin Abdul Kodir, makna ini dapat kita perluas secara mubadalah. Ketika subjek yang kita ajak bicara adalah perempuan, maka potensi fitnah bisa saja datang dari laki-laki.
Artinya, teks ini juga menganjurkan perempuan untuk waspada dari potensi fitnah laki-laki yang dapat menguji dan menggoda mereka. Sehingga pembahasannya bukan pada hal itu, melainkan pada pentingnya kewaspadaan perempuan dari godaan tersebut.
Oleh karena itu, kata fitnah perempuan sama sekali tidak sedang membangun citra buruk perempuan. Demikian pula, fitnah laki-laki bukanlah penegasan kebejatan laki-laki.
Keduanya menekankan urgensi kewaspadaan masing-masing pihak agar tidak saling tergoda pada tindakan-tindakan nista, salah, dan buruk.
Dengan demikian, baik ayat maupun hadis yang menyebutkan fitnah perempuan tidak dapat kita jadikan dasar untuk merendahkan atau mendiskreditkan mereka. Tidak pula dapat kita gunakan untuk memuliakan laki-laki sekaligus melecehkan perempuan.
Potensi fitnah pada diri perempuan, yang ada di dalam ayat dan hadis, sama sekali tidak menjadikan mereka lebih rendah dari laki-laki. Ini adalah prinsip fundamental dalam memahami teks-teks keagamaan secara adil dan berimbang. []