Merujuk pada keterangan di wipedia, sejarah diperingati Hari Toleransi Internasional di mulai sejak HUT ke 50 Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yakni 16 November 1995. Di mana Negara-negara yang menjadi anggota Unesco mengadopsi Deklarasi Prinsip-Prinsip tentang Toleransi, yang berpendapat bahwa toleransi merupakan cara untuk menghindari ketidakpedulian dalam kehidupan bermasyarakat. Sehingga karena hasil deklarasi itu maka tahun berikutnya di 16 November 1996, mengundang anggota PBB untuk menetapkan tanggal tersebut sebagai Hari Toleransi Internasional.
Saya pribadi sudah lama mengenal kata toleransi dan keberagaman, yang dibaca melalui media atau tontonan dari berita di televisi. Namun selama mengenal kata itu, tak pernah tahu bagaimana wujudnya, dan bagaimana cara untuk mempraktikkannya. Karena lahir, tumbuh dan tinggal bersama komunitas mayoritas, sehingga kerap membuat kepekaan itu tumpul, dan memandang mereka yang berbeda sebagai “the others/liyan”.
Pengalaman pertama yang membuat tidak nyaman itu ketika sedang menempuh pendidikan di Kota Pelajar Yogyakarta, di mana betapa seringnya saya berada dalam satu kendaraan umum dengan orang-orang Papua, komunitas etnis Tionghoa, atau dengan non muslim yang nampak dengan simbol kalung salib yang dikenakan.
Bahasa tubuh tanpa sadar dan secara refleks, entah dari sikap saya atau mereka, nampak menjaga jarak. Dan masing-masing akan memilih asyik dengan komunitasnya masing-masing. Sedangkan jika kebetulan bepergian sendirian, maka akan pura-pura tertidur, memejamkan mata, atau memalingkan muka, tanpa tegur sapa. Sungguh pemandangan yang membuat seolah berada di negeri antah berantah. Mengaku berbangsa satu bangsa Indonesia, namun satu sama lain terasa asing.
Berangkat dari pengalaman tersebut, pada tahun 2017 ketika mendapatkan kesempatan untuk menjadi Ketua Panitia dalam kegiatan Sahur Keliling bersama Ibu Hj. Shinta Nuriyah Abdurrahman Wahid, saya sambut dengan penuh semangat. Satu sisi saya ingin mengenal lebih dekat saudara-saudara saya yang berbeda agama, ras, dan suku itu. Karena dalam kegiatan tersebut, tergabung empat agama yang ada di Indramayu yakni, Islam, Protestan, Katolik, Konghucu dan Budha. Serta dari banyak ras, suku dan etnis yang mewakili Indonesia dari Sabang sampai Merauke.
Kedua, saya seolah ingin menguji diri sendiri, seberapa tangguh saya mampu menerima perbedaan tersebut, dan seberapa kuat saya menghadapi teman-teman atau keluarga di lingkungan saya yang pemahamannya masih sempit dan bias terhadap kelompok tertentu. Ya, momentum tersebut seperti menjadi uji nyali, bagaimana saya nanti membangun komunikasi yang saling mendukung satu sama lain, serta membangun saling pengertian atas nama kemanusiaan.
Ketika di hari H tiba. Saat akhirnya Ibu Shinta hadir di tengah-tengah kami, dengan lantunan Shalawat Badar yang menggema dari Masjid Desa Totoran Kecamatan Pasekan Kabupaten Indramayu, untuk menyambut kedatangan beliau, tak henti-hentinya saya mengusapkan air mata. Berhari-hari menyiapkan acara di bulan puasa, terbayar sudah. Melihat wajah-wajah saudaraku, tanpa perbedaan, tanpa jarak, tanpa sekat, tanpa ragu dan jiwa kami seolah menyatu.
Begitu acara selesai, sejak tengah malam hingga pagi menjelang kami panitia masih terjaga dan merasakan emosi yang meluap, betapa penuh hati kami, dan ada hentakan euforia karena telah mampu menghadirkan seulas senyuman di wajah-wajah yang letih karena konflik sosial horizontal, sebab menguatnya politik identitas di tahun-tahun itu.
Tak bisa dipungkiri, sejarah di Indonesia telah menuliskan bahwa Pileg, Pilpres hingga disambung Pilkada Jakarta, menyisakan catatan kelam luka yang cukup mendalam. Dan dengan sapa hangat serta kelembutan seorang Ibu, segala lara itu mencair. Waktu dan ruang perjumpaan telah meleburkan semua rasa curiga, dan kami kembali menjadi anak-anak bangsa yang penuh suka cita.
Bahkan dengan bangga, saya mendaulat para Romo, Pendeta, Pimpinan Agama dan Ormas yang turut hadir pada saat acara itu, hingga hari ini kami anggap sebagai orang tua yang akan selalu mengayomi, mengingatkan kami dengan kebaikan, dan terus pula membersamai kami dengan doa, harapan serta dukungan.
Ya, membangun kesadaran toleransi harus dimulai dari diri sendiri. Bagaimana membuka ruang perjumpaan dengan mereka yang berbeda, atau kelompok minoritas. Karena pepatah mengatakan, tak kenal maka tak sayang. Begitu pula relasi antar manusia, sebagaimana perspektif mubadalah memaknai kesalingan relasi secara sosial. Terma, aku adalah kau yang lain, pun berlaku bagi saudara-saudara lintas iman. Perlakukan orang lain, sebagaimana kau ingin diperlakukan.
Sementara merujuk pada situs United Nations Association-UK, ada tiga cara yang bisa dilakukan untuk menumbuhkan toleransi. Pertama, pendidikan. Karena ketidaktahuan tentang perbedaan budaya, agama dan etnis yang ada di sekitar dapat menyebabkan ketidaknyamanan. Dan dengan pendidikan, diharapkan adanya pemahaman yang lebih baik tentang tradisi dan keyakinan yang berbeda, serta penerimaan yang lebih besar dari mereka.
Kedua, regulasi dan penegakan hukum. Sehingga perlu adanya aturan dan kebijakan negara yang menindak tegas tindakan-tindakan intoleransi seperti ujaran kebencian, diskriminasi, SARA. Serta adanya penegakan hukum dan peradilan yang menjamin hak-hak para korban intoleransi.
Ketiga, hentikan stereotype negatif. Karena orang yang memiliki stereotype negatif biasanya memiliki prasangka buruk terhadap seseorang atau kelompok yang mendapat label negatif tersebut. Jadi, orang atau kelompok yang mempunyai streotipe negatif didorong agar tidak menghakimi orang lain dengan secara general. Sehingga lingkaran beracun ini harus segera diakhiri, dan yang bisa melakukannya adalah diri yang telah punya kesadaran, dan mampu secara bijak menghadapi perbedaan. []