Mubadalah.id – Hak asasi manusia merupakan hak yang dimiliki manusia semata-mata karena ia adalah manusia. Hak ini merupakan sekumpulan hak yang diperoleh manusia dari Tuhan Yang Maha Esa atas sejak lahir. Menurut Bambang Sutiyoso, hak asasi manusia merupakan “konstitusi kehidupan”, karena merupakan syarat mutlak agar setiap keberasaan manusia dapat hidup selaras dengan fitrah kemanusiaannya.
Nilai-nilai seperti kebebasan, kesetaraan, otonomi, dan keamanan adalah hak yang tidak dapat seseorang atau pihak mana pun boleh mengambilnya. Hak ini telah terumuskan secara tegas, dan penerapannya dijamin sebuah instrumen hukum yang menjadi payung hukum dalam pengakuan, perlindungan, dan penegakan HAM di Indonesia. Yakni UU Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.
Konsekuensi atas HAM adalah hadirnya kewajiban asasi manusia. Perempuan adalah komponen penting dalam kelompok pembela hak asasi manusia. Identitas dan fokus kerja perempuan pembela HAM beragam. Termasuk perempuan adat yang memperjuangkan akses masyarakat atas sumber daya alamnya yang diambil alih oleh pengusaha, guru yang menolak intervensi pemerintah untuk menyampaikan kebenaran kepada muridnya, dan pemuka agama yang diintimidasi oleh pemerintah.
Perempuan Pembela HAM berjuang untuk mencapai hak asasi manusia pada umum, dan hak asasi perempuan pada khususnya.
Dalam kehidupan sehari-hari, perempuan pembela HAM dapat bekerja secara profesional. Baik dibayar sebagai staf atau pekerja maupun sukarelawan. Seperti: staf Komnas HAM, Komnas Perempuan, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), pengacara, staf PBB, staf dan aktivis organisasi non pemerintah (ornop), aktivis gerakan perempuan, pemimpin serikat buruh, jurnalis, guru, dokter, hakim, bahkan arsitek.
Dapat pula dalam konteks non-profesional. Seperti: pelajar, warga desa, politisi, atau saksi suatu peristiwa pelanggaran HAM dan korban pelanggaran hak-hak asasi manusia yang bertransformasi.
Realitas Perempuan Pembela HAM di Indonesia
Realitas hari ini, aktivis pembela HAM, khususnya Perempuan Pembela HAM di Indonesia terus menghadapi ancaman dan kekerasan. Ancaman dan kekerasan ini diperkirakan akan meningkat di masa depan. Seiring dengan semakin beragamnya modus operandi dan aktornya, sejalan dengan dinamika politik Indonesia.
Berbagai pihak seperti korporasi, aparat negara, kelompok intoleran, kerap menyudutkan. Bahkan menyerang tubuh, seksualitas, atau identitas perempuan. Bahkan, kini dengan menggunakan media sosial atau media internet lainnya, ancaman kekerasan secara daring juga semakin meningkat.
Beberapa kasus kekerasan terhadap perempuan pembela HAM. Khususnya di sektor lingkungan dan agraria terlegitimasi oleh kebijakan pemerintah yang mengandalkan investor.
Konflik lahan seperti kasus Tumpang Pitu di Banyuwangi (Jawa Timur, 2015), kasus Kendeng di Pati (Jawa Tengah, 2006) dan kasus Bandara Internasional di Kulonprogo (DI Yogyakarta, 2012). Fakta ini menunjukkan bahwa investor mempunyai kekuasaan yang luar biasa terhadap kebijakan, sehingga mengakibatkan hilangnya sebagian hak-hak masyarakat.
Ketiga kasus tersebut pun terjadi selama beberapa tahun dan tidak bisa segera selesai mengingat kompleksitas kasus dan dinamika ekonomi politik yang mendasarinya. Mirisnya dalam situasi seperti ini, aparat keamanan cenderung bertindak represif. Otoritas negara cenderung menerapkan kebijakan yang tidak sepenuhnya melindungi hak-hak sipil.
Investigasi Komnas Perempuan
Pada tahun 2021, Komnas Perempuan melakukan investigasi cepat menyikapi meningkatnya kriminalisasi terhadap perempuan pembela HAM dalam tiga tahun terakhir. Tercatat ada 15 (lima belas) orang para perempuan ini, baik secara indivdu maupun komunitas, dari berbagai industri yang menjadi korban kriminalisasi.
Bidang-bidang ini mencakup sumber daya alam, upaya anti korupsi, kekerasan berbasis gender, perburuhan, dan hak untuk menentukan nasib sendiri (self-determination). Mereka adalah pengacara, pendamping korban, aktivis buruh, ibu rumah tangga, mahasiswa, guru SMA, dan Ketua RT.
Pasal-pasal yang disangkakan antara lain, tindak pidana melakukan kekerasan terhadap barang (Pasal 170 KUHP), penganiayaan (pasal 351 KUHP), penghasutan (Pasal 160 KUHP), makar (Pasal 107 KUHP), penyebaran kabar bohong, dan penghinaan atau pencemaran nama baik berdasarkan UU ITE.
Penyebab terjadinya kekerasan ini bermacam-macam, antara lain: a) masih minimnya kesadaran tentang pentingnya peran perempuan pembela HAM. b) minimnya regulasi yang melindungi Pembela HAM, dan c) menguatnya relasi penguasa dengan pengusaha.
Menjadi Perempuan Pembela HAM
Menguatnya relasi penguasa dan pengusaha juga tidak lepas dari kebijakan pembangunan yang tertujupada pertumbuhan ekonomi dan infrastruktur yang muncul pada masa Orde Baru. Kemudian berlanjut pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono melalui kebijakan berbasis MP3EI. Dan pada pemerintahan Presiden Joko Widodo, melanjutkan kebijakan tersebut dengan beberapa modifikasi.
Menjadi Perempuan Pembela HAM merupakan keputusan yang kita pilih secara sadar. Keputusan ini berdasarkan pada semangat untuk memastikan bahwa negara memenuhi hak-hak konstitusional warga negaranya. Yakni sebagai salah satu bentuk kewajiban terhadap warga negara. Sehingga hak-hak warga negara termasuk Perempuan Pembela HAM tidak terlanggar apapun alasannya.
Akan tetapi, sampai saat ini negara belum memberikan perlindungan yang memadai terhadap Perempuan Pembela HAM. Hal ini mereka tunjukkan dengan tingginya tingkat kekerasan yang perempuan pembela HAM alami, dan belum adanya upaya untuk menghindari dan menangani kekerasan.
Negara harus mengedepankan perlindungan terhadap perempuan pembela HAM. Oleh karena itu, Undang-undang dan metode pelaksanaan perlindungan harus kita tetapkan sesegera mungkin. Mengingat kerja-kerja perempuan pembela HAM memiliki kerentanan khusus yang seringkali membahayakan keamanan pribadi dan bahkan keselamatan jiwanya. Wallahu’alam. []