Perkawinan bukan hanya peristiwa agama, hukum dan ikatan dua individu. Perkawinan juga peristiwa sosial yang melibatkan dua keluarga besar. Seringkali perkawinan menjadi titik temu dua suku bangsa, dua adat istiadat, bahkan dua bangsa yang berbeda. Maka, adaptasi dalam perkawinan adalah keniscayaan.
Adaptasi Suami-Istri
Perkawinan adalah menyatunya dua perbedaan abadi; laki-laki dan perempuan. Perbedaan yang tak hanya biologis, melainkan juga psikis dan emosional ini sudah pasti membutuhkan kemampuan adaptasi yang abadi pula. Adaptasi yang perlu terus dilakukan, dipelajari, dan ditingkatkan seiring dengan terus berkembangnya usia dan pengalaman suami-istri sebagai individu yang tidak statis.
Adaptasi abadi tak bisa dielakkan karena relasi suami-istri terus berubah. Mulai dari relasi marital jilid satu yang hanya melibatkan suami-istri, lalu relasi parental yang mendudukkan keduanya sebagai orang tua bagi anak-anaknya, sampai relasi marital jilid kedua ketika anak-anak sudah membina keluarga mereka masing-masing. Problema di setiap fase ini tentu berbeda. Demikian pula problema yang disebabkan relasi suami atau istri dengan pihak di luar mereka, seperti teman seprofesi, teman seperjuangan, atau klub-klub sosial yang diikuti suami atau istri saja.
Akibat Kegagalan Adaptasi
Gagalnya perkawinan seringkali disebabkan oleh kegagalan adaptasi suami istri ini. Salah satu pihak tidak siap dengan perubahan yang terjadi pada pasangannya. Istri yang menempati posisi sosial dan karir yang tinggi, misalnya, sering membuat suami tak mampu beradaptasi. Posisi suami sebagai kepala keluarga sering dipahami sebagai privilege yang mengharuskan istri terus mengikuti apa yang diinginkan suami, tanpa memahami realitas istrinya yang juga terikat dengan akad dan tanggungjawab lain di luar rumah tangga.
Sebaliknya suami yang terus berkembang wawasan, pergaulan dan posisi sosialnya membuat istri tertinggal jauh sehingga tak mampu beradaptasi. Semua keadaan yang tidak berimbang akan lebih menyulitkan adaptasi. Keadaan ini bisa mengakibatkan disharmoni atau ketertekanan yang tak jarang berujung pada perceraian.
Untuk memudahkan adaptasi, “kafa’ah” (kesetaraan dan kesepadanan) suami-istri sangat penting diupayakan sebelum maupun selama perkawinan; kafa’ah dalam pemahaman agama dan hakikat perkawinan, serta kafa’ah tingkat pendidikan, latar belakang sosial dan ekonomi. Nabi bersabda, “Perempuan dipilih karena harta, kedudukan sosial, kecantikan dan agamanya. Pilihlah yang bagus agamanya maka engkau akan berbahagia.” (HR. Bukhari-Muslim) dan seluruh imam hadis yang tujuh).
Dalam konteks kafa’ah, sabda ini bisa dimaknai “dalam memilih jodoh, perhatikanlah empat hal tersebut, khususnya yang terakhir (agama), dan carilah yang lebih sepadan denganmu dalam keempat hal itu. Teruslah berupaya agar kesepadanan itu terwujud dan terjaga sepanjang hayat, insyaAllah kesepadanan ini akan lebih menjaga kelestarian pernikahanmu karena kamu lebih mudah beradaptasi.”
Resep-resep al-Qur’an
Al-Qur’an sendiri memiliki beberapa resep jitu bagi suami-istri dalam proses adaptasi abadi demi kelestarian perkawinan. Di antaranya adalah “ta’aruf” (QS. al-Hujurat/49 ayat 13). Laki-laki dan perempuan (suami-istri) diperintahkan untuk terus berusaha saling mengenal. Meski demikian mengenal tak sekadar kenal dan tahu, melainkan lebih dari itu.
Ta’aruf dalam ayat ini memiliki tujuan yang jelas, yakni meraih ketakwaan. Dengan kata lain, proses adaptasi abadi suami-istri pada hakikatnya ditujukan untuk meraih kemuliaan di sisi Allah, yakni ketakwaan, melalui relasi suami-istri yang harmonis. Dalam dan indah, bukan?
Resep lain adalah “mu’asyarah bil ma’ruf” (memperlakukan pasangan secara baik) dengan “menikmati” kekurangannya. Dengan segala kekurangannya, pasangan kita adalah manusia yang – sama dengan kita – memiliki harga diri, ingin diperlakukan dengan baik dan terhormat.
Mu’asyarah bil ma’ruf adalah judul resepnya. Bumbu intinya adalah menerima kekurangan dan bisa mencari sisi positif dari kekurangan itu. Allah SWT berfirman “… Dan perlakukanlah istrimu secara patut, bisa jadi engkau tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan (dalam kekurangan itu), kebaikan yang banyak.” (QS. an-Nisa’/4: 19). Sangat manusiawi dan cerdas, bukan? []
*)Artikel yang sama pernah dimuat di Majalah Noor