Mubadalah.id – Belum lama ini, Komnas Perlindungan Anak resmi merilis data kasus kekerasan terhadap anak di Indonesia. Komnas Perlindungan Anak mencatat sepanjang tahun 2024 hingga Februari 2025 ada sebanyak 4.388 kasus kekerasan terhadap anak di Indonesia. Data tersebut menurut mereka mengalami peningkatan sebesar 34 persen dibandingkan tahun sebelumnya.
Dengan melihat data tersebut, ini bukan sekadar angka guys. Ini adalah alarm keras yang menandakan bahwa kekerasan terhadap anak adalah masalah serius yang harus ditangani oleh semua pihak.
Masih dalam laporannya, mereka menyebutkan bahwa kasus kekerasan seksual menjadi salah satu kasus yang paling paling banyak terjadi, yaitu sebanyak 2.457 kasus atau setara dengan 56 persen dari total kasus.
Sementara itu, kekerasan fisik dan psikis menyumbang 1.053 kasus atau sekitar 24 persen. Angka-angka ini mencerminkan betapa rentannya anak-anak kita, bahkan di ruang-ruang yang seharusnya aman.
Saya percaya, tingginya kasus kekerasan ini tidak lepas dari persepsi yang masih mengakar di sebagian masyarakat bahwa sebuah kasus hanya akan ditindak jika sudah mendapat perhatian luas. Terutama jika viral di media sosial. Ungkapan seperti, “kalau tidak viral, tidak ada keadilan”, mencerminkan kekhawatiran mendalam tentang ketimpangan akses terhadap keadilan.
Karena kenyataannya, masih banyak anak yang menjadi korban memilih diam. Ada yang takut pada pelaku, ada yang tidak tahu harus melapor ke mana, dan tak sedikit yang merasa proses hukum terlalu rumit dan membingungkan.
Lebih menyedihkan lagi, dalam beberapa kasus justru mendapat tekanan dari lingkungan terdekat yaitu keluarga, tokoh masyarakat, bahkan aparat desa yang menyarankan agar kasus diselesaikan secara “kekeluargaan”, meskipun hal tersebut merugikan korban.
Minimnya Akses Layanan Pengaduan
Di sejumlah daerah, akses terhadap layanan pengaduan masih sangat terbatas. Di wilayah pelosok, layanan perlindungan anak sering kali belum tersedia secara memadai.
Padahal, kasus kekerasan ini bisa terjadi di mana saja. Termasuk di rumah, sekolah, bahkan tempat ibadah yang selama ini kita anggap sebagai ruang aman bagi anak.
Melansir dari Detik.com, di Kabupaten Belitung, seorang anak panti asuhan berusia 15 tahun menjadi korban pemerkosaan oleh pengurus panti. Tragisnya, saat melaporkan kejadian tersebut ke kantor polisi, korban kembali mengalami pencabulan oleh oknum polisi yang bertugas.
Oleh karena itu, meski regulasi terkait perlindungan anak sudah cukup lengkap dengan adanya UU TPKS, implementasinya masih menemui banyak tantangan. Bahkan proses hukum di bangsa ini sering kali belum berpihak pada pemulihan korban. Terlebih melihat kasus di atas, oknum yang memproses hukum justru menjadi pelaku.
Maka dari itu, perlindungan hukum seharusnya tidak hanya berhenti pada menghukum pelaku. Ia harus juga mencakup dukungan psikologis, pendidikan, dan perlindungan sosial bagi korban.
Langkah Pencegahan
Dengan menjamurnya kasus kekerasan, maka yang bisa kita lakukan adalah dengan memberikan edukasi tentang jenis-jenis kekerasan terhadap anak. Termasuk juga bagaimana mekanisme pelaporannya harus lebih digencarkan. Bagi saya, sekolah, puskesmas, pusat layanan masyarakat, dan media komunitas bisa menjadi ruang efektif untuk menyebarkan informasi ini.
Sebagai masyarakat, kita tidak bisa terus-menerus berada dalam posisi pasif, karena perlindungan terhadap anak adalah tanggung jawab kita bersama. Kita bisa mulai dari hal-hal sederhana yaitu dengan memahami apa itu kekerasan terhadap anak, mengenali tanda-tandanya, mengetahui jalur pelaporan, dan yang terpenting adalah berani bertindak.
Dengan bersikap peduli kepada korban, kita bisa menjadi mata dan telinga bagi anak-anak di sekitar kita. Komunitas-komunitas yang bergerak di isu perlindungan anak pun bisa menjadi ruang kolaborasi untuk saling belajar dan bertindak nyata.
Akhirnya, semoga 4.388 kasus kekerasan terhadap anak ini tidak berhenti sebagai statistik semata. Mari kita jadikan ini sebagai gerak bersama bahwa perubahan untuk memperbaiki sistem, memperkuat perlindungan, dan memastikan bahwa suara anak-anak tidak lagi diabaikan.
Sudah saatnya kita hadir, bukan hanya sebagai penonton. Tetapi sebagai bagian dari mereka yang aktif menciptakan lingkungan yang aman, sehat, dan penuh dukungan bagi setiap anak Indonesia. []