Mubadalah.id – Belum lama ini, seorang santri putri yang terkenal tenang dan rajin datang dengan mata sembap. Ia menangis lama sebelum akhirnya pulang ke rumah. Orang tuanya meminta santri yang cerdas dan berprestasi itu untuk berhenti mondok dan segera menikah dengan pria pilihan keluarga. Alasannya klasik: demi kondisi ekonomi.
Ia tak sempat menolak. Bahkan bertanya pun mungkin tak diberi kesempatan. Padahal, ia sedang menikmati hidup di pesantren. Ia sedang mencintai proses tumbuh yang ia pilih sendiri.
Kisah ini bukan sekadar narasi pilu. Ini nyata, berulang, dan tak hanya menimpa satu dua orang. Saya memahami, sebagai orang tua, cinta kepada anak adalah hal yang naluriah. Namun, ada cinta yang tanpa sadar berubah menjadi kuasa. Kuasa ini, jika tidak kita sertai kebijaksanaan, dapat menjelma menjadi bentuk pemaksaan yang membungkam kemerdekaan anak untuk tumbuh.
Tentu, orang tua memiliki tanggung jawab untuk mendidik, mengarahkan, dan menanamkan nilai-nilai moral serta akhlak kepada anak-anak mereka. Pendidikan tauhid, adab, etika, dan cinta terhadap keluarga adalah kewajiban yang tak boleh kita tawar. Namun, semua itu bukanlah dalih untuk menghapuskan hak anak dalam menyuarakan keinginannya, atau menutup ruang bagi anak untuk berkembang sesuai potensi dan fitrahnya.
Sering kali kita keliru memahami bahwa karena telah membesarkan anak, maka hidup mereka sepenuhnya menjadi milik kita. Kita salah sangka bahwa birrul walidain (berbakti kepada orang tua) adalah hak untuk mengendalikan mereka—ditekan, diatur, dipulangkan saat dianggap cukup, dan dinikahkan ketika dinilai layak.
Padahal, anak bukan amplop kosong yang bisa kita isi sesuka hati. Mereka bukan versi muda dari diri kita. Mereka adalah pribadi yang berbeda, dengan cara pandang, kehendak, dan—tak jarang—kebijaksanaan yang lebih jernih dibandingkan orang tuanya.
Memastikan Anak Tumbuh Tanpa Kehilangan Jati Diri
Kita memang lebih dulu lahir, tetapi belum tentu lebih memahami hidup yang mereka jalani. Tugas kita bukan menjadikan anak seperti yang kita inginkan, melainkan memastikan mereka tumbuh tanpa kehilangan jati diri.
Kerap kita dengar orang tua berkata, “Kami hanya ingin yang terbaik untuk anak kami.” Namun, mengapa definisi “terbaik” itu kerap berarti diam, patuh, tidak membantah, cepat menikah, dan tidak bercita-cita tinggi? Mengapa “bakti” selalu diartikan sebagai tunduk, bukan keberanian menyuarakan isi hati? Mengapa cinta harus terbayar lunas dengan pengorbanan hidup yang tak pernah mereka pilih?
Mari sejenak diam. Tundukkan kepala. Perhatikan anak-anak kita yang mungkin duduk di sudut rumah, menyimpan keinginan yang tak pernah sempat diucapkan. Atau mereka yang menangis di pesantren, bukan karena bersalah, tetapi karena tak diberi ruang untuk menentukan langkah hidupnya sendiri.
Kita bukan Tuhan bagi anak-anak kita. Bahkan Nabi Muhammad Saw pun tidak memaksakan kehendaknya atas umat manusia. Allah Swt berfirman:
لَّسْتَ عَلَيْهِمْ بِمُصَيْطِرٍۙ
“Engkau (Muhammad) bukanlah orang yang berkuasa atas mereka.” (QS. Al-Ghasyiyah: 22)
Kita hanya orang tua—penumpang yang lebih dulu menapaki hidup, bukan pemilik masa depan mereka.
Memang, birrul walidain penting. Namun, birrul awlad (berbuat baik kepada anak) juga bagian dari keadilan yang kerap kita abaikan. Dalam sebuah riwayat, Rasulullah Saw pernah menegur sahabat yang memberi hadiah hanya kepada satu anaknya, dan bukan kepada anak-anak lainnya. Nabi bersabda:
فَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْدِلُوا بَيْنَ أَوْلَادِكُمْ
“Bertakwalah kepada Allah dan berlaku adillah kepada anak-anak kalian.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Adil bukan berarti menyamakan segalanya, melainkan menempatkan sesuatu pada tempatnya. Termasuk memberikan ruang tumbuh yang sesuai dengan kapasitas dan cita-cita anak.
Jangan Biarkan Anak Tanpa Arah
Perlu kita tegaskan: memberikan ruang memilih bukan berarti membiarkan anak tanpa arah. Justru di situlah pentingnya peran orang tua sebagai pendamping—yang mendengarkan, bukan hanya menyuruh; yang mengarahkan, bukan memaksakan. Anak tetap butuh batasan, nilai, dan arahan. Tapi semuanya terbangun lewat dialog, bukan doktrin sepihak.
Membesarkan anak bukan berarti membentuk mereka jadi salinan masa lalu kita, tetapi menjaga agar mereka bisa menjadi manusia utuh, yang siap menghadapi masa depan—yang bahkan tak kita miliki.
Anak bukan milik orang tua. Mereka bukan titipan yang bisa dikembalikan seenaknya. Mereka adalah manusia—utuh, dengan kehendak, pilihan, dan takdirnya sendiri.
Dan satu hal yang perlu kita renungkan: banyak anak tampak patuh, bukan karena ridha, tetapi karena tak berdaya.
Orang tua semestinya menjadi penjaga, bukan penguasa. Menjadi pelindung, bukan pemilik. Mendidik bukan dengan paksaan, melainkan dengan penghormatan terhadap kemerdekaan anak untuk tumbuh sebagai dirinya sendiri.
Selamat Hari Anak Nasional 2025. Semoga Allah Swt memampukan kita mencintai tanpa mengekang, membimbing tanpa merendahkan, dan mempercayai anak-anak sebagaimana Dia telah menitipkan mereka kepada kita—bukan untuk dikuasai, tetapi untuk dijaga dan ditumbuhkan. Wallahu a’lam bis-shawab. []