Mubadalah.id – Perang, dalam lingkup apa pun, tentunya membawa akibat negatif terhadap banyak pihak. Kerugian materiel maupun imateriel pasti terasa oleh para kubu yang terlibat dalam peperangan. Dari segi kemanusiaan, tidak sedikit orang, baik dewasa maupun anak-anak, yang menjadi korban. Bangunan pun tidak terbebas dari kerusakan. Terlebih lagi alam dan lingkungan hidup juga terkena efek buruknya. Lalu adakah aturan perang yang ramah lingkungan? Temukan jawabannya di sini.
Sejarah perang paling mengerikan yang pernah terjadi adalah Perang Dunia Kedua (World War II). Perang yang melibatkan Blok Sekutu dan Blok Poros ini tercatat sebagai perang terluas yang melibatkan lebih dari 100 juta orang. Korban jiwa dalam perang ini perkiraannya mencapai 50 juta sampai 70 juta jiwa.
Donald Sommerville (2008) dalam bukunya, The Complete Illustrated History of World War Two: An Authoritative Account of the Deadliest Conflict in Human History with Analysis of Decisive Encounters and Landmark Engagements, menyebut Perang Dunia II sebagai konflik paling berdarah dan mematikan sepanjang sejarah umat manusia.
Dampak Perang
Tidak hanya itu, perang tersebut juga memunculkan problem kemanusiaan dan lingkungan hidup yang berkepanjangan, karena pemakaian senjata nuklir. Untuk mengalahkan hegemoni Jepang, Blok Sekutu menggunakan bom atom yang dijatuhkan di Kota Hiroshima dan Nagasaki.
Dampak yang muncul dari bom yang dinamai “Little Boy” dan “Fat Man” tersebut tidak main-main. Ratusan ribu penduduk dinyatakan meninggal dunia dan mayoritas bangunan hancur dan rusak parah. Di samping itu, kerusakan yang terjadi bukan hanya berasal dari ledakan, melainkan juga karena adanya radiasi nuklir yang berbahaya bagi makhluk hidup, khususnya manusia.
Tak pelak, berkaca dari kejadian mengerikan tersebut dan juga konflik-konflik yang telah terjadi sebelumnya, negara-negara di penjuru dunia kemudian membuat aturan perang, dan kesepakatan bersama untuk tidak memakai jenis senjata tertentu dalam peperangan, utamanya yang memberi dampak tidak manusiawi. Kesepakatan itulah, salah satunya, yang kemudian menjadi fondasi dan sumber hukum humaniter internasional.
Membincang Hukum Humaniter Internasional
Hukum Humaniter Internasional ialah kumpulan aturan yang berlaku dalam masa perang untuk melindungi orang yang tidak terlibat dalam permusuhan, seperti warga sipil. Hukum ini secara umum membentuk sebagian besar hukum internasional yang terkait dengan peraturan tentang konflik bersenjata. Dengan alasan kemanusiaan, hukum ini bertujuan untuk membuat aturan perang, perilaku dan konflik, khususnya jenis senjata dan cara atau metode berperang yang mereka gunakan.
Hukum Humaniter Internasional berlaku ketika situasi perang terjadi pada dua kondisi. Pertama, adalah Konflik Bersenjata Internasional, yaitu ketika terjadi pengerahan angkatan bersenjata dari sekurang-kurangnya dua negara yang terlibat perang. Kedua, Konflik Bersenjata Non-Internasional, yakni saat terjadi konflik pada satu wilayah negara yang melibatkan angkatan bersenjata pemerintah dengan kelompok non-pemerintah.
Jauh sebelum peristiwa Perang Dunia II, sebenarnya telah ada beberapa konvensi yang berkenaan dengan hukum humaniter internasional. Deklarasi St. Petersburg 1868, misalnya, berisi pelarangan penggunaan proyektil jenis tertentu saat perang. Tahun 1874 negara-negara Eropa sepakat mengeluarkan Deklarasi Brussel yang melarang pemakaian racun dan peluru beracun dalam peperangan.
Konvensi Internasional untuk Kemanusiaan
Tahun 1899 berhasil penandatanganan satu deklarasi dalam Konferensi Den Haag yang mengutuk penggunaan proyektil tunggal yang merupakan difusi dari gas-gas yang mengakibatkan sesak napas atau merusak. Selain itu, Protokol Jenewa Tahun 1925 berisi larangan pemakaian gas pencekik, beracun ataupun jenis gas lainnya dan juga cara aturan perang biologis yang menggunakan bakteri untuk kepentingan bertempur.
Pasca Perang Dunia II, terdapat beberapa konvensi yang menjadi kesepakatan. Antara lain: Pertama, Konvensi Jenewa 1949 yang berisi serangkaian aturan perang dalam memperlakukan warga sipil, tawanan perang, dan tentara yang berada dalam kondisi tidak mampu bertempur. Kedua, Konvensi 1972 tentang larangan pengembangan, pembuatan dan penimbunan senjata biologis atau bakteriologis dan beracun, dan tentang pemusnahannya.
Kedua, Konvensi 1980 tentang larangan atau pembatasan penggunaan senjata konvensional tertentu yang anggapannya dapat mengakibatkan luka yang berlebihan atau memberikan efek tidak pandang bulu. Ketiga, Konvensi 1993 tentang pelarangan dan pembatasan pengembangan, pembuatan, penimbunan dan penggunaan senjata kimia dan tentang pemusnahannya.
Berbagai konvensi tersebut memberi titik tekan yang kuat pada sisi kemanusiaan. Akan tetapi, yang menjadi pertanyaan adalah, bagaimana posisi lingkungan hidup dalam berbagai konvensi tersebut?
Aturan Perang Ramah Lingkungan dalam Islam
Peperangan, dalam ajaran Islam, tidaklah bebas nilai. Para pihak yang berperang memiliki kewenangan yang tidak tak terbatas. Utamanya menyangkut orang-orang yang berpotensi menjadi korban dan lingkungan yang menjadi medan perang maupun perebutan wilayah. Terdapat aturan perang yang harus kita perhatikan dan taati.
Untuk mencegah jatuhnya korban yang tidak bersalah, tidak semua orang yang berada di wilayah musuh boleh terbunuh. Anak-anak, wanita, pemuka agama, pekerja, orang yang tua renta, dan orang buta atau cacat tidak boleh dibunuh, kecuali mereka memang terlibat dalam medan perang (Fathul Wahhab, Juz 2, hlm. 300). Ini bermakna, musuh dalam perang hanyalah mereka yang terlibat langsung dalam pertempuran, yang dalam konteks zaman sekarang merupakan angkatan bersenjata atau kombatan.
Lingkungan yang menjadi tempat hidup masyarakat juga tak luput dari perhatian Islam. Dalam kitab Sunan Al-Kubra lil-Baihaqi, terdapat riwayat yang mengisahkan pesan Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq RA kepada Yazid bin Abi Sufyan dan pasukannya saat diutus ke Syam dalam rangka tugas militer. Di antara pesan Abu Bakar sebagai berikut:
…ولا تقتلوا كبيرا هرما ولا امرأة ولا وليدا ولا تخربوا عمرانا ولا تقطعوا شجرة الا لنفع ولا تعقرن بهيمة الا لنفع ولا تحرقن نخلا…
“…Janganlah kalian membunuh orang tua yang sudah sepuh, perempuan, dan anak-anak. Janganlah pula kalian merobohkan bangunan. Jangan menebang pohon kecuali ada manfaatnya. Janganlah menyembelih hewan ternak, kecuali untuk diambil manfaatnya. Jangan sekali-kali membakar pohon kurma…”
Dalam kondisi perang sekalipun, kita dilarang melakukan tindakan kontra produktif, seperti pengrusakan, pembantaian, dan pembakaran, terhadap bangunan, tanaman, maupun hewan. Terutama yang menjadi sumber dan pondasi ketahanan pangan.
Terkecuali dari larangan ini adalah segala harta milik musuh yang berpotensi menjadi sumber kekuatan militernya. Lingkungan ini menjamineksistensinya, sebab ia menjadi unsur utama penopang kehidupan masyarakat yang selamat dari peperangan. Dengan demikian, warga dapat menjalani pemulihan secara lebih baik dan lebih cepat pascaperang.
Wasiat ini mengajarkan nilai moral penting, bahwa meski dalam kondisi genting dan darurat militer sekalipun, etika kemanusiaan dan lingkungan tetap harus kita jaga dan kita kedepankan. Jangan sampai demi meraih kemenangan, semua cara dan perbuatan lantas dihalalkan meski menabrak rambu-rambu agama dan hukum. []