• Login
  • Register
Rabu, 9 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Personal

Ayah, Terimakasih, Tidak Meminta Saya untuk Segera Menikah

Fitri Nurajizah Fitri Nurajizah
29/04/2020
in Personal
0
53
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Menikah dan memiliki keturunan masih banyak dipahami oleh masyarakat umum sebagai salah satu ciri kesuksesan perempuan. Sebaik apapun prestasi dan karir perempuan, jika ia belum menikah atau belum juga mempunyai anak, maka ia akan di bully habis-habisan oleh orang-orang di sekitarnya.

Misalnya seorang artis bernama Agnes Monica, diusianya yang terbilang sudah tidak muda lagi, ia kerap kali mendapat cibiran karena lebih fokus pada karier dibandingkan memutuskan untuk mengakhiri masa lajangnya.

Padahal, kalau kita lihat, apa sih yang kurang dari Mba Agnez Mo. Dia itu perempuan sukses, mandiri, dewasa dan termasuk salah satu artis yang berprestasi. Tapi, bagi sebagian masyarakat Indonesia, itu bukan apa-apa kalau Mba Agnez belum juga menikah. Aduh cyin, komentar netizen di negara +62 itu emang sering tak terduga.

Selain itu, beberapa teman-teman saya yang sudah menikah, tetapi memilih untuk menunda kehamilannya karena beberapa pertimbangan, juga kerap kali mendapat cibiran yang tidak kalah pedasnya dari nasib perempuan yang masih lajang. Sering kali mereka dianggap telah berdosa karena mengabaikan perintah agama. Dan sehebat apapun karir yang mereka miliki, tidak berarti apa-apa jika belum memiliki suami dan menghasilkan keturunan.

Menanggapi pola pikir masyarakat yang seperti itu, saya yang sudah berusia 20 tahun lewat beberapa hari ini, merasa khawatir dan takut. Bukan hanya soal opini masyarakat yang membuat saya takut, tetapi juga tuntutan dari keluarga. Kita semua tahu, bahwa kebanyakan keluarga di Indonesia menuntut anak-anaknya, terutama perempuan untuk segera menikah di usia-usia tertentu. Misalnya di usia 17 tahun ke atas.

Baca Juga:

Melawan Perundungan dengan Asik dan Menyenangkan

Ketika Perempuan Tak Punya Hak atas Seksualitas

Relasi Imam-Makmum Keluarga dalam Mubadalah

Mengebiri Tubuh Perempuan

Alasannya tentu beragam, selain orang tua mengharapkan cucu dari anaknya, lalu anak yang sudah menikah juga dianggap telah menjalankan perintah agama, serta keluarga mereka akan terhindar dari cibiran masyarakat.

Saya jadi ingat, salah satu pernyataan hadist yang diriwayatkan oleh Hatim al-Asham yang dikutip dalam Hilyatul Auliya menyebutkan bahwa ada lima hal yang harus disegera dilakukan. Yaitu, memberi makan tamu, mengubur jenazah, menikahkan anak gadisnya, membayar hutang dan bertaubat dari segala dosa.

Dengan hadist tersebut, banyak orang tua yang memahami bahwa jika mempunyai anak gadis, harus segara dinikahkan walaupun secara paksa. Karena, jika tidak begitu, orang tua akan mendapatkan dosa besar, bila anaknya tersebut melakukan hal-hal yang dilarang oleh agama.

Dengan begitu, tidak sedikit orang tua yang menjodohkan anak perempuannya, padahal mungkin saja dibalik perjodohan tersebut, ada perempuan yang harus mengurungkan niat untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, atau mencari pengalaman yang lebih banyak.

Dan saya sangat takut hal tersebut terjadi kepada saya, karena masih banyak hal yang ingin saya lakukan dan persembahkan untuk kelurga, dan orang-orang disekitar saya.

Meski berasal dari keluarga yang cukup terbuka. Saya merasa, mungkin akan ada saatnya mereka menuntut saya untuk segera menikah dan memiliki keturunan. Apalagi saya sudah tidak punya ibu sejak dari lahir dan hanya tinggal berdua dengan ayah saya, atau sesekali tinggal di rumah ibu yang telah merawat saya dari bayi.

Hingga pada suatu hari saya iseng-iseng melontarkan sebuah pertanyaan kepada Ayah saya dengan gaya yang cukup santuy. “Apa (bapak), malu gak liat anak perempuannya yang masih sibuk kuliah dan main ke sana kemari, padalah temen-temen aku di kampung kan udah pada punya anak satu, dua, dan malah ada juga yang memilih untuk berpisah dengan suaminya?”.

Ya enggak lah, malah seneng liat kamu sibuk kuliah. Jadi, Apa enggak harus repot-repot, minta tolong dibuatkan surat musyawarah masyarakat di kampung kepada orang lain. Kalau minta ke kamu kan bisa minta kapan aja dan gratis. Mau lanjut sampai S3 juga sok mangga, cucu ayah kan udah banyak. Jawab bapak sambil tertawa.

”Lagian, kalau kamu udah mau menikah, ya silahkan. Tapi kamu harus benar-benar bertanggung jawab dengan pernikahan tersebut, karena menikah bukan hanya untuk satu atau dua hari. Tapi untuk selamanya”. Tambah bapak saya.

Sejak saat itu, saya mengetahui bahwa bapak saya tidak meminta saya untuk segara menikah. Walaupun dalam agama ia menjadi seorang wali mujbir, yang sebagian orang memaknai istilah “wali mujbir” ini sebagai hak orang tua, lebih tepatnya seorang ayah untuk menikahkan anaknya sesuai dengan pilihannya, bukan pilihan anaknya dan dengan waktu yang ia kehendaki.

Saya selalu bersyukur karena terlahir di keluarga yang memberi pilihan seperti ini, sedangkan di luar sana masih banyak perempuan yang harus menuruti tuntutan orang tua dan melupakan keinginan dirinya sendiri, seperti lanjut mencari ilmu, mencari pengalaman dalam pekerjaan, dalam dunia sosial dan yang lainnya.

Menikah memang tidak selalu membatasi kebebasan perempuan, tetapi setelah menikah baik perempuan atau laki-laki sama mempunyai tanggung jawab lain selain memikirkan kesenangan dan keinginan sendiri.

Jika seorang perempuan meninggalkan kariernya untuk menikah dan dijodohkan tanpa paksaan, itu tidak salah, sebab memilih menikah juga merupakan hak dan termasuk pilihan yang baik. Yang salah adalah ketika perempuan harus rela kehilangan haknya demi memenuhi tuntutan masyarakat patriarkal yang tidak senang melihat perempuan mandiri dan berdaulat.

Jadi, tentukan pilihan mu sekarang ladies. Jadilah dirimu sendiri, dan tetap bahagia walaupun masih menjomblo. Jomblo itu tidak salah, yang salah itu netizen yang udah punya pasangan, tapi kerjaannya julid teroos kepada orang yang memilih buat tetap produktif di masa-masa lajangnya.[]

Fitri Nurajizah

Fitri Nurajizah

Perempuan yang banyak belajar dari tumbuhan, karena sama-sama sedang berproses bertumbuh.

Terkait Posts

Pelecehan Seksual

Stop Menormalisasi Pelecehan Seksual: Terkenal Bukan Berarti Milik Semua Orang

9 Juli 2025
Pernikahan Tradisional

Sadar Gender Tak Menjamin Bebas dari Pernikahan Tradisional

8 Juli 2025
Menemani dari Nol

From Zero to Hero Syndrome: Menemani dari Nol, Bertahan atau Tinggalkan?

7 Juli 2025
Sejarah Ulama Perempuan

Mencari Nyai dalam Pusaran Sejarah: Catatan dari Halaqah Nasional “Menulis Ulang Sejarah Ulama Perempuan Indonesia”

7 Juli 2025
Hidup Tanpa Nikah

Yang Benar-benar Seram Itu Bukan Hidup Tanpa Nikah, Tapi Hidup Tanpa Diri Sendiri

5 Juli 2025
Ruang Aman, Dunia Digital

Laki-laki Juga Bisa Jadi Penjaga Ruang Aman di Dunia Digital

3 Juli 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Pernikahan Tradisional

    Sadar Gender Tak Menjamin Bebas dari Pernikahan Tradisional

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kemanusiaan sebagai Fondasi dalam Relasi Sosial Antar Manusia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mengapa Perempuan Lebih Religius Daripada Laki-laki?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mengapa Pengalaman Biologis Perempuan Membatasi Ruang Geraknya?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mengebiri Tubuh Perempuan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Melawan Perundungan dengan Asik dan Menyenangkan
  • Ketika Perempuan Tak Punya Hak atas Seksualitas
  • Relasi Imam-Makmum Keluarga dalam Mubadalah
  • Mengebiri Tubuh Perempuan
  • Mengapa Perempuan Lebih Religius Daripada Laki-laki?

Komentar Terbaru

  • M. Khoirul Imamil M pada Amalan Muharram: Melampaui “Revenue” Individual
  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID