Mubadalah.id – Setelah jelas pentingnya tersedianya interpreter bahasa isyarat, masih tersisa satu masalah lagi berupa keutamaan menjadi seorang interpreter. Hal ini mengingat tuntutan terhadap hadirin Jumat agar diam menyimak khutbah, bukan malah melakukan aktivitas komunikasi dengan orang lain.
Dengan kata lain, banyak yang mempertanyakan bagaimana hukumnya menjadi seorang interpreter bahasa isyarat yang menerjemahkan materi khutbah Jumat saat khutbah berlangsung, padahal dia sendiri merupakan hadirin dalam ritual tersebut?
Pada dasarnya, semua jamaah Salat Jumat sebaiknya diam dan menyimak khutbah. Akan tetapi hasil musyawarah memandang bahwa menjadi seorang interpreter (penerjemah bagi disabilitas) hukumnya boleh. Dan hal ini tidak menjadikan ia melanggar hukum insat (berdiam dan menyimak secara seksama saat khutbah berlangsung).
Sebab yang ia lakukan adalah membantu terlaksananya ibadah orang lain (berupa mengetahui isi khutbah) yang tidak mampu ia lakukan sendiri. Hal ini sebagaimana dalam keterangan Syaikh Nawawi Banten dalam Kitab Kasyifah as-Saja fi Syarhi Safinan an-Naja:
“Meminta bantuan yang diwajibkan adalah bagi orang sakit ketika ia tidak mampu. Maksudnya, wajib orang yang sakit mencari bantuan meskipun harus membayar untuk itu.”
Hukumnya menjadi seorang interpreter bahasa isyarat yang menerjemahkan materi khutbah Jumat saat khutbah berlangsung, beberapa ulama memperbolehkan meskipun sebaiknya untuk diam dan menyimak khutbah tidak terkecuali interpreter yang notabene juga sebagai jamaah. []