Mubadalah.id – Salat dengan berjamaah, di samping mempunyai dimensi sosial, juga mempunyai dimensi yang paling penting, yaitu adanya nilai lebih yang didapatkan melalui fadilah berjamaah berupa pahala 27 kali lipat dibanding dengan salat sendirian.
Namun keutamaan itu melalui mekanisme dan kualifikasi tertentu, misalnya imam harus lebih alim dan lebih bagus bacaan al-Qur’annya.
Di sisi lain, penyandang disabilitas rungu dan netra mempunyai kemampuan yang berbeda untuk melakukan hal tersebut. Penyandang disabilitas netra sekaligus rungu secara harfiah akan mengalami kesulitan saat menjadi makmum karena tidak bisa mendengar dan melihat setiap pergantian gerakan Imam.
Oleh karena itu, bagaimanakah cara penyandang disabilitas netra sekaligus rungu untuk tetap mendapatkan fadilah salat berjamaah bila tidak menjadi imam?
Hal tersebut dapat dikaji secara mendalam pada kutipan Hadis sebagai berikut:
Faidah: Imam al-Isnawi berkata: “Ada orang yang boleh menjadi Imam tetapi tidak boleh menjadi makmum, yaitu penyandang disabilitas netra dan rungu. Dia boleh menjadi imam sebab imam independen dalam gerakannya/ Tetapi tidak demikian kalau menjadi makmum. Sebab dia tidak dapat mengetahui gerakan imam. Kecuali kalau di sampingnya ada orang yang terpercaya yang memberitahu gerakan imam tersebut.
Dalam berbagai kitab al-Minhaj al-Qawim ala Muqaddimah al-Hadlramiyyah, Ibnu Hajar al-Haitsami, menjelaskan sebagai berikut:
Pasal tentang sifat para Imam salat. Dalam sifat-sifat para Imam salat sudah ditentukan bahwa ada seseorang yang dapat menjadi Imam. Tetapi tidak boleh menjadi makmum, yakni seperti penyandang disabilitas rungu yang juga netra yang tak mungkin dapat mengetahui pergerakan orang lain. Ia sah menjadi imam tetapi tidak sah menjadi makmum.
Meminta Bantuan Orang Lain
Solusi bagi hal ini yaitu dengan cara meminta bantuan orang dengan orang yang dapat dipercaya dengan memberitahunya cara apapun yang memungkinkan tanpa membatalkan salat atau dengan menempelkan badan ke makmum lain di sebelahnya yang dapat dipercaya sehingga gerakan makmum tersebut dapat terasa.
Hal ini berdasar pada keterangan dari kitab al-asyiyyah al-Bujairamī pada poin sebelumnya dan keterangan berikut ini:
Syarat kedua untuk sahnya berjamaah adalah mengetahui pergerakan imam atau menduganya agar memungkinkan mengikutinya. Cukup bagi penyandang disabilitas netra-rungu dengan cara menyentuh orang terpercaya di sampingnya.
Kemudian, al-Isnawi berkata dalam Algaz (teka-teki): Ada seseorang yang boleh menjadi imam tetapi tidak boleh menjadi makmum, yaitu penyandang disabilitas netra-rungu. Dia boleh menjadi imam karena imam itu mandiri dalam gerakannya sendiri tetapi tidak demikian dengan makmum. Karena tidak ada jalan baginya untuk mengetahui gerakan imam. Kecuali apabila di sampingnya ada orang terpercaya yang memberitahunya tentang gerakan imam. Al-Juwaynī menyebutkannya dalam kitab al-Furūq dan dinukil dari pernyataan Imam Syafi’i. []