Mubadalah.id – Jika suatu perkawinan yang tidak kita catatkan atau perkawinan siri dapat tercatatkan di kemudian hari melalui proses sidang isbat nikah atau permohonan pengesahan perkawinan, tidak demikian halnya dengan cerai siri atau perceraian di luar sidang pengadilan. Oleh undang-undang perkawinan suatu perceraian tidak dianggap memiliki kekuatan hukum jika keputusan atau penetapan perceraian tersebut tidak melalui putusan pengadilan (vide Pasal 39 UU 1/1974). Oleh karenanya, penjatuhan talak maupun pernyataan fasakh perceraian di luar pengadilan tidak dinilai memutus perkawinan di hadapan hukum.
Pada sisi lain, tidak sedikit masyarakat yang berkeyakinan bahwa dengan terucapkannya talak oleh suami, atau dengan menyatakan fasakh perkawinan oleh seorang muhakkam telah mengakibatkan terjadinya perceraian. Hingga menjadi dasar bagi mereka untuk menikah dengan pasangan yang baru. Praktik ini berpotensi merugikan kedua mempelai, dan juga khususnya merugikan bagi anak yang lahir dari pernikahan yang baru.
Karena pernikahan yang baru pada prinsipnya tidak dapat tercatatkan maupun kita mohonkan pengesahannya melalui itsbat nikah. Sebabnya salah satu pasangan dianggap masih terikat perkawinan dengan orang lain. Bagi sang suami Ia akan dianggap melakukan poligami liar, sementara istri yang telah Ia talak secara siri dan menikah kembali dengan pria lain akan dianggap melakukan poliandri. Ujungnya, terhadap anak yang lahir dari perkawinan tersebut berpotensi mengalami kesulitan untuk memperoleh akta kelahiran.
Hukum Perceraian di Indonesia
Hingga berlakunya undang-undang perkawinan, talak oleh suami pemberitahuannya cukup kepada pegawai yang bertugas. Tidak terdapat proses sidang untuk memeriksa sebab serta kebenaran terjadinya talak. Lebih-lebih tidak terdapat prosedur yang tersedia untuk memastikan suami menunaikan kewajibannya kepada istri paska jatuhnya talak.
Kondisi ini telah dikritik oleh berbagai pihak,hingga akhirnya memunculkan kewajiban persidangan perceraian di depan pengadilan yang tertuang dalam undang-undang perkawinan. Kewajiban perceraian di depan pengadilan bagi umat muslim dikuatkan oleh Undang-Undang No 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Selain itu juga melalui Kompilasi Hukum Islam.
Undang-Undang Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam membagi perceraian menjadi dua bentuk. Yaitu cerai talak dan cerai gugat. Dalam perkara cerai talak, pengadilan memberikan izin kepada suami untuk mengucapkan ikrar talak di depan persidangan. Paska jatuhnya talak, suami dan istri memiliki kesempatan untuk rujuk sebagaimana talak dalam konsep fikih. Sementara dalam cerai gugat, pengadilan menjatuhkan talak ba’in sughra atas perkawinan para pihak berperkara (vide Pasal 119 KHI). Konsep ini dalam fikih kontemporer kita kenal sebagai pemisahan oleh hakim (at-tafriq al-qadha’i).
Kepastian Hukum melalui Sidang Perceraian
Melalui sidang perceraian, istri dapat memperoleh kepastian hukum atas status perceraiannya. Sekaligus juga menuntut hak-haknya, serta hak anak yang berada dalam pengasuhannya. Hakim pemeriksa perkara juga mempunyai wewenang untuk berinisiatif (ex-officio) membebankan kewajiban paska perceraian kepada suami. Seperti kewajiban untuk membayar nafkah iddah dan mut’ah (vide Pasal 41 UU 1/1974).
Jaminan hukum atas hak-hak istri juga telah Mahkamah Agung perkuat. Yakni melalui pemberlakuan sejumlah rumusan yang tertuang dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA). Seperti penundaan pengucapan ikrar talak bila suami belum mampu membayar kewajibannya kepada istri dalam perkara cerai talak (Vide SEMA 1 Tahun 2017). Atau permintaan agar pengadilan tidak mengeluarkan akta cerai suami, hingga sang suami membayarkan kewajibannya kepada istri dalam perkara cerai gugat (Vide SEMA 2 Tahun 2019).
Perceraian di depan pengadilan pun tidak terbatas pada perkawinan-perkawinan yang tercatatkan. Dalam praktik peradilan, khususnya pada peradilan agama, kita kenal adanya perkara itsbat nikah cerai. Yaitu penggabungan permohonan penetapan sahnya perkawinan sekaligus dengan gugatan cerai. Sehingga, meski pernikahan mereka lakukan secara siri, namun perceraian dapat mereka lakukan di depan persidangan. Hal ini bertujuan untuk meringkas pemeriksaan perkara dan memberikan jaminan kepastian hukum bagi suami, dan istri. Khususnya bagi anak yang lahir dalam perkawinan tersebut.
Utamakan Perceraian di Pengadilan
Perlu kita akui bahwa kultur hukum (legal culture), khususnya pemahaman akan pentingnya bercerai di pengadilan belum menjadi kesadaran bagi sebagian masyarakat. Kiranya, salah satu faktor yang menyebabkan hal tersebut ialah terpisahnya penjelasan-penjelasan fikih dengan penjelasan atas peraturan perundang-undangan yang berlaku. Penjelasan mengenai perceraian dalam perkawinan Islam seringkali terputus dan terbatas pada konsep-konsep fikih yang tidak diikuti dengan penjelasan bahwa penjatuhan talak dan fasakh di luar pengadilan, tidaklah terakui di depan hukum.
Aturan untuk mewajibkan jatuhnya perceraian, terlebih penjatuhan talak di depan pengadilan seringkali kita nilai tidak sejalan dengan konsepsi fikih yang masyhur diajarkan di Indonesia. Meski telah tertuang dalam Kompilasi Hukum Islam, konsep ini masih tidak banyak yang menerima sebagai bagian dari konsep fikih. Terlepas dari soal kedudukannya dalam fikih islam, sejarah hukum Indonesia menunjukkan bahwa kewajiban persidangan cerai ialah untuk menghindarkan mudharat yang timbul akibat melakukan perceraian secara sewenang-wenang.
Dengan mengingat tujuan terbuatnya aturan tersebut, maka tidaklah salah kiranya jika melakukan sejumlah kompromi untuk mematuhi baik ketentuan dalam fikih, maupun ketentuan dalam perundang-undangan. Pertama, dengan tidak mengucapkan talak kecuali telah memperoleh izin pengadilan. Jika suami memang telah ingin berpisah dengan istrinya, maka alih-alih mengucapkan talak secara langsung, ajukan dahulu izin ikrar talak ke peradilan agama.
Hindari Perkawinan Siri atau Tidak Tercatat KUA
Kedua, kalaupun talak telah terucap di luar pengadilan dan suami serta istri yakin telah jatuh talak, maka segera ajukan gugatan cerai atau permohonan talak ke depan pengadilan. Sehingga status perkawinan di antara suami dan istri tidak lagi samar dan kabur di hadapan hukum. Ketiga, tidak menggunakan seorang muhakkam untuk menjatuhkan fasakh melainkan mengajukan gugatan cerai ke pengadilan agama. Tujuannya agar keputusan perceraian oleh hakim (qadhi) yang melakukannya.
Saat ini hampir semua kota di Indonesia telah memiliki pengadilan agama. Di mana ia dapat melayani pendaftaran perkara secara elektronik dan menyediakan layanan persidangan bebas biaya bagi mereka yang kurang mampu. Termasuk persidangan perkara perceraian. Keempat, Istri yang dicerai harus menunda pernikahan dengan pasangan lain sebelum habisnya masa iddah yang terhitung sejak keluarnya akta cerai.
Karena melakukan perkawinan pada masa iddah akan dianggap sebagai pernikahan yang batal di hadapan hukum. Kelima, menghindari perkawinan siri atau perkawinan yang tidak melalui prosedur pencatatan pada KUA (Kantor Urusan Agama).
Untuk menikah dan tercatatkan dalam register perkawinan, petugas KUA akan memastikan berbagai hal. Termasuk status perkawinan serta status perceraian dengan pasangan sebelumnya. Jika KUA mengizinkan perkawinan dan mencatatkan perkawinan tersebut, maka hilanglah keragu-raguan atas status perceraian dari perkawinan sebelumnya. Kedua mempelai juga telah dianggap beriktikad baik (Goeder Trouw). Kecuali terbukti sebaliknya, dan karenanya segala akibat hukum dari perkawinan ini akan terlindungi di depan hukum. []