• Login
  • Register
Sabtu, 19 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Keluarga

Perceraian: Kehidupan Baru, Stigma dan Framing Media

Perceraian pasti memberikan banyak dampak bagi individu, pasangan dan keluarga. Kadang duka perceraian menyamar sebagai kemarahan atau kebenaran. Ini adalah emosi sekunder untuk menutupi luka, kelemahan dan duka

Wanda Roxanne Wanda Roxanne
11/10/2021
in Keluarga, Rekomendasi
0
Suami dan Istri Berhak Memutuskan Kontrak Pernikahan

Suami dan Istri Berhak Memutuskan Kontrak Pernikahan

646
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Pada 12 September 2021, video Thalita Latief “merayakan perceraian” cukup ramai dibicarakan oleh warganet. Memang perceraian seringkali identik dengan masa sedih dan berkabung, namun bagi sebagian orang, perceraian bisa dimaknai sebagai pembebasan dan kemenangan setelah sekian lama berjuang dan menderita dalam hubungan yang penuh kekerasan, tidak bahagia dan penuh kesedihan.

Sebagian orang masih menganggap bahwa perceraian adalah aib, salah satu hal yang melanggengkan stigma pada janda. Teman perempuan saya mengatakan, “Tuhan sudah menyelamatkan aku dari keterpurukan yang hampir gila”. Dia bercerai dengan suaminya karena berbagai alasan. Dia juga “merayakan perceraian” dengan tasyakuran bersama keluarga inti yang dipenuhi dengan penguatan dan rasa syukur untuk kehidupan barunya.

Perceraian tentu saja tidak mudah bagi siapapun. Mulai dari beban psikologis, ekonomi, proses perceraian di pengadilan, dan duka pasca perceraian. Kehilangan dan perpisahan tidak pernah mudah, sekalipun kita bersiap dengan dampaknya. Ann Gold Buscho Ph. D., seorang Psikolog Klinis yang ahli dalam topik keluarga, pengasuhan dan perceraian, mengatakan bahwa masa berduka akibat perceraian dalam terjadi selama berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan.

Perceraian pasti memberikan banyak dampak bagi individu, pasangan dan keluarga. Kadang duka perceraian menyamar sebagai kemarahan atau kebenaran. Ini adalah emosi sekunder untuk menutupi luka, kelemahan dan duka. Perceraian yang dilakukan untuk keluar dari hubungan yang abusif, tidak sehat, toxic dan pernikahan yang tidak membahagiakan, menurut saya bukanlah suatu aib. Memilih keluar dari hubungan abusif, memilih hidup lebih baik dan lebih bahagia adalah kemenangan.

Sayangnya, masyarakat masih banyak yang menilai perceraian adalah suatu hal yang buruk dan adanya stigma pada janda membuat para penyintas perceraian menjadi lebih berat menjalani hidup mereka. Teman saya mendapatkan stigma janda sebagai pelakor, kurang kasih sayang, kekurangan uang, dianggap perempuan tidak baik, tidak bisa menjaga keutuhan keluarga dan pencari perhatian suami orang.

Baca Juga:

Praktik Kesalingan sebagai Jalan Tengah: Menemukan Harmoni dalam Rumah Tangga

Menakar Kualitas Cinta Pasangan Saat Berhaji

Kuasa Suami atas Tubuh Istri

Relasi Imam-Makmum Keluarga dalam Mubadalah

Dia mendapatkan stigma itu pasca perceraiannya dari istri atasannya, karena dia melakukan pekerjaan bersama atasannya tersebut. Istri atasannya mengatakan “pantes janda, cari perhatian suami orang, dsb”. Padahal tuduhan dan penghakiman itu tidak benar. Ini adalah hal yang memberatkannya dalam menjalani hidup sebagai janda.

Dia juga mengatakan bahwa ada juga tetangganya yang bercerai setelah menikah 9 bulan, sehingga membuat perempuan tersebut mengisolasi diri dan memiliki trauma pada laki-laki. Orang tuanya malu karena perceraian itu. Tapi saya yakin, perempuan ini jauh lebih malu, tertekan dan sedih. Namun tidak memiliki keluarga dan lingkungan yang mendukung dan memvalidasi perceraiannya tersebut.

Selain masyarakat yang melanggengkan stigma pada penyintas perceraian, media juga memframing perceraian dan stigma pada janda.  Tanggal 2 Oktober 2021, Detik News mengunggah berita dengan judul “Gaji Istri Lebih Tinggi di Balik Seribuan Kasus Perceraian Jepara”. Pada paragraf pertama menyebutkan, “Para istri disebut mengajukan cerai gugat karena gajinya lebih tinggi dibanding suami” yang selaras dengan informasi dari Kepala Pengadilan Agama Jepara.

Dalam kasus ini, media memframing perceraian karena kesalahan perempuan yang memiliki gaji lebih tinggi. Padahal, Kepala Pengadilan Agama Jepara juga mengungkapkan bahwa 2.097 perceraian per September 2021, alasan pertama perceraian adalah karena perselisihan yang terus menerus terjadi (706 perkara). Kedua, karena masalah ekonomi (633 perkara). Ketiga, salah satu pihak meninggalkan pasangannya (163 perkara).

Secara kritis, saya sebagai pembaca menjadi bertanya-tanya apa saja yang membuat suami dan istri bertengkar terus menerus. Mengingat di Indonesia perempuan secara gender tradisional melakukan peran domestik, saya memikirkan bahwa perempuan yang bekerja juga mengalami multi beban. Mereka bekerja, sekaligus melakukan peran domestik, serta harus mengasuh anak dan menjalankan proses reproduksi (hamil, melahirkan, menyusui).

Menurut databoks.katadata.co.id, Pengadilan Agama (PA) mencatat adanya 291.677 perceraian pada 2020. Penyebab tertinggi karena perselisihan dan pertengkaran terus menerus (176.700 kasus), masalah ekonomi (71.200 kasus), meninggalkan pasangannya (34.700 kasus) dan kekerasan dalam rumah tangga (3.300 kasus).

Hal yang pertama kali terbayang dalam pikiran saya, perceraian adalah puncak kelelahan secara fisik, emosional dan spiritual bagi perempuan yang bercerai di Jepara. Jika perselisihan dilakukan terus menerus, tidak menutup kemungkinan pula terjadi kekerasan (fisik, psikis, verbal dan atau seksual). Menurut saya, dalam kondisi seperti ini, perceraian akan jauh lebih baik bagi perempuan yang mengalami multi beban.

Ann Gold Buscho Ph. D. menjelaskan mengapa pasangan bercerai dalam Psychology Today “Why Do People Divorce?”. Orang-orang bercerai karena tidak lagi cocok terutama dalam nilai-nilai, perbedaan yang tidak bisa dijembatani, finansial (uang), konflik yang terus menerus, perselingkuhan, kurangnya intimasi, pernikahan yang terburu-buru (belum siap), kekerasan (fisik, emosi, verbal, seksual), dan kecanduan (alkohol, obat terlarang, seks, belanja, judi, dll).

Orang tua saya pun bercerai, sebagai anak, saya tahu bahwa perceraian orang tua saya itu meninggalkan luka. Tapi kemudian setelah dewasa saya sadar bahwa perceraian mereka adalah yang terbaik untuk semua. orang tua saya juga memiliki alasan-alasan yang kuat untuk bercerai. Keluar dari hubungan abusif dan memilih hidup lebih baik, bukanlah aib. Justru itu kemenangan yang layak disyukuri dan dirayakan. []

Tags: istriperceraianperkawinansuamiThalita Latief
Wanda Roxanne

Wanda Roxanne

Wanda Roxanne Ratu Pricillia adalah alumni Psikologi Universitas Airlangga dan alumni Kajian Gender Universitas Indonesia. Tertarik pada kajian gender, psikologi dan kesehatan mental. Merupakan inisiator kelas pengembangan diri @puzzlediri dan platform isu-isu gender @ceritakubi, serta bergabung dengan komunitas Puan Menulis.

Terkait Posts

Mengantar Anak Sekolah

Mengantar Anak Sekolah: Selembar Aturan atau Kesadaran?

18 Juli 2025
Wonosantri Abadi

Harmoni Iman dan Ekologi: Relasi Islam dan Lingkungan dari Komunitas Wonosantri Abadi

17 Juli 2025
Representasi Difabel

Dari Layar Kaca ke Layar Sentuh: Representasi Difabel dalam Pergeseran Teknologi Media

16 Juli 2025
Menikah

Yang Terjadi Jika Miskin, Tapi Ngotot Menikah

15 Juli 2025
Krisis Ekologi

Empat Prinsip NU Ternyata Relevan Membaca Krisis Ekologi

14 Juli 2025
Mas Pelayaran

Kedisiplinan Mas Pelayaran: Refleksi tentang Status Manusia di Mata Tuhan

13 Juli 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Fazlur Rahman

    Fazlur Rahman: Memahami Spirit Kesetaraan dan Keadilan Gender dalam Al-Qur’an

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Refleksi tentang Solidaritas yang Tidak Netral dalam Menyikapi Penindasan Palestina

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Pesan Terakhir Nabi Saw: Perlakukanlah Istri dengan Baik, Mereka adalah Amanat Tuhan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Aisyah: Perempuan dengan Julukan Rajulah Al-‘Arab

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kehamilan Perempuan Bukan Kompetisi: Memeluk Setiap Perjalanan Tanpa Penghakiman

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • COC: Panggung yang Mengafirmasi Kecerdasan Perempuan
  • Pesan Terakhir Nabi Saw: Perlakukanlah Istri dengan Baik, Mereka adalah Amanat Tuhan
  • Fazlur Rahman: Memahami Spirit Kesetaraan dan Keadilan Gender dalam Al-Qur’an
  • Aisyah: Perempuan dengan Julukan Rajulah Al-‘Arab
  • Refleksi tentang Solidaritas yang Tidak Netral dalam Menyikapi Penindasan Palestina

Komentar Terbaru

  • M. Khoirul Imamil M pada Amalan Muharram: Melampaui “Revenue” Individual
  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID