• Login
  • Register
Senin, 12 Mei 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Publik

Bagaimana Toxic Masculinity Membunuh Laki-laki?

Toxic masculinity membuat laki-laki sulit mengekspresikan apa yang dirasakan karena malu

Lizza Zaen Lizza Zaen
13/09/2021
in Publik
0
Laki-laki

Laki-laki

365
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Laki-laki kerap dipandang sebagai sosok yang harus tegas, berani, tidak boleh klemar klemer, cengeng, dan suka mengadu. Laki-laki harus kuat dan tidak terkalahkan oleh perempuan. Saya kerap menjumpai anak laki-laki menangis, kemudian orangtuanya atau orang yang menenangkannya langsung berkata “cup, cup, jangan nangis, laki-laki nggak boleh nangis, laki-laki kok cengeng.”

Pandangan terhadap laki-laki tersebut menjadi norma gender yang dianggap biasa. Padahal sebenarnya dalam diri laki-laki dan perempuan sama-sama ada sifat feminin dan maskulin. Kedua sifat tersebut merupakan hal yang bermanfaat bagi setiap individu.

Sandra L. Bem (1974) menjelaskan bahwa kedua sifat tersebut dimiliki oleh setiap manusia. Sifat maskulin identik dengan cara berpikir rasional, berani, bertanggungjawab dan melindungi. Sedangkan sifat feminin contohnya kelemahlembutan, keibuan, pandai merawat, penyayang dan sabar. Kedua sifat tersebut merupakan hal yang lumrah dan manusiawi pada setiap individu.

Sayangnya, maskulinitas yang berkembang di masyarakat berubah menjadi norma gender, bukan lagi sekedar sifat. Kemudian, maskulinitas jadi dilebih-lebihkan dan cenderung menjadi toxic masculinity atau maskulinitas beracun. Laki-laki dipandang sebagai sosok yang berani, namun keberanian tersebut kadang membuat laki-laki senang mendominasi. Demikian keberanian tersebut bisa berubah menjadi toxic masculinity jika tidak disikapi dengan bijak.

Kita bisa melihat adanya toxic masculinity yang terjadi dalam kasus perundungan dan pelecehan di KPI Pusat yang masih hangat diperbincangkan.  Saat ini, kasus perundungan dan pelecehan seksual tersebut masih dalam tahap penyidikan. Terlepas apakah para pelaku tersebut terbukti bersalah atau tidak, langkah pertama yang perlu dilakukan memang mendengarkan pihak korban terlebih dahulu untuk proses penyelidikan.

Baca Juga:

Budaya Seksisme: Akar Kekerasan Seksual yang Kerap Diabaikan

Korban KS Difabel dan Hak Akses Kesehatan: Perspektif KUPI

Ketika Dokter Jadi Predator, Alarm Kekerasan Seksual di Layanan Kesehatan

Darurat Pelecehan Seksual: Ketika Keteladanan Retak, dan Pendidikan Kesehatan Reproduksi Diabaikan

Dalam kasus perundungan dan pelecehan seksual tersebut, korban dan pelaku sama-sama lelaki. Pada waktu itu, MS selaku korban sudah berusaha melapor ke polisi, serta memohon keadilan pada atasannya, namun para pelaku tidak kunjung ditindak tegas. Apa yang dialami oleh MS tidak dianggap serius oleh pihak kepolisian. Bahkan, laporan MS  pada waktu itu tidak diproses.

Sikap yang tidak responsif dari pihak berwajib membuat MS bertanya-tanya, apakah kasus ini tidak dianggap serius karena korbannya adalah laki-laki. Disisi lain, MS pun dicaci dan dihina oleh para pelaku sebagai pengadu hingga dikatai “Banci Lu!” karena MS mengadukan perbuatan para pelaku pada atasan. Padahal perbuatan para pelaku tersebut oleh Komnas HAM dianggap sebagai kejahatan atau tindak pidana.

Selain MS, ada hal ironi yang baru-baru ini terjadi, yakni penyambutan meriah terhadap bebasnya SJ selaku mantan napi kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur dari penjara. Penyambutan yang berlebihan tersebut justru menjadi bentuk glorifikasi (pemuliaan) dan normalisasi pelaku kekerasan seksual.

Saya tidak habis pikir kenapa mantan napi kekerasan seksual disambut semeriah itu bak atlit pemenang olimpiade. Apakah ini terjadi karena korbannya lelaki sehingga banyak orang yang mudah mengabaikan perasaan korban begitu saja?

Menurut saya, apa yang terjadi pada MS merupakan salah satu dampak dari toxic masculinity. Kenapa? Para pelaku yang merupakan laki-laki seolah menganggap perundungan dan pelecehan yang dilakukan pada korban yang juga laki-laki hal yang biasa saja. Bisa jadi, apa yang dilakukan pelaku merupakan candaan yang dianggap normal terjadi di lingkungan sekitarnya, mengingat perundungan dan pelecehan ini diketahui banyak pihak.

Kerap kali guyonan antar laki-laki yang melibatkan kekerasan fisik dianggap lumrah. Saya kerap mendengar tanggapan orang terkait kebiasaan anak laki-laki yang terlibat tawuran dan adu jotos. Kalimat yang sering terdengar “ah, biasa, namanya anak laki-laki berantem mah udah biasa.” Laki-laki secara fisik dianggap kuat sehingga wajar jika laki-laki terlibat dalam perekelahian. Hal ini tentunya seperti menormalisasi kekerasan dalam kehidupan laki-laki sebagai ajang adu kekuatan dan keberanian.

Disisi lain, dalam kasus kekerasan seksual, sosok laki-laki yang dianggap kuat lebih mungkin dianggap sebagai pelaku daripada korban. Hal ini terjadi karena adanya anggapan bahwa perempuan itu lemah dan hanya perempuan yang mungkin menjadi korban kekerasan seksual. Laki-laki dianggap bisa melawan tindakan kekerasan seksual karena laki-laki kuat. Jadi tidak mungkin rasanya jika laki-laki menjadi korban kekerasan seksual.

Faktanya, laki-laki juga bisa menjadi korban kekerasan seksual. Laki-laki tidak boleh diam saja jika dirinya menjadi korban kekerasan seksual. Pada dasarnya, kekerasan seksual adalah kejahatan atau tindakan kriminal. Siapapun korbannya, berhak melapor dan mendapat keadilan. Siapapun pelakunya, kekerasan seksual tetaplah kejahatan apalagi jika menimbulkan kerugian moril dan materiil.

Toxic masculinity membuat laki-laki sulit mengekspresikan apa yang dirasakan karena malu. MS sendiri sebagai korban mengalami banyak dilema. Sebagai laki-laki dewasa, seorang ayah dan suami, dan tulung punggung keluarga, MS harus bertahan di tempat kerja yang merupakan TKP perundungan dan pelecehan yang dialaminya.

MS hanya bisa menangis sendiri, meratapi apa yang terjadi selama bertahun-tahun terhadap dirinya. MS berusaha mengadu dan meminta perlindungan kesana kemari, namun tidak ada respon yang pasti. Bahkan, dengan keberaniannya saat ini, MS masih harus berhadapan dengan pelaku yang menggunakan pasal UU ITE untuk menjerat MS yang berani mengungkap identitas para pelaku ke publik.

Demikian toxic masculinity ini kemudian membunuh laki-laki sendiri secara perlahan. Apa yang dilakukan oleh MS merupakan suatu keberanian melawan kultur kekerasan dan toxic masculinity yang menempel pada laki-laki. Secara tidak disadari, apa yang terjadi pada MS sebenarnya tidak beda jauh dengan perpeloncoan yang kerap terjadi pada masa-masa orientasi siswa atau mahasiswa yang pernah terjadi di negeri ini.

Perundungan dan pelecehan yang terjadi di KPI Pusat yang diketahui staff lainnya, membuat saya kembali berpikir. Jangan-jangan kejadian yang menimpa MS ini merupakan misteri gunung es? Apakah ada MS-MS yang lain yang bungkam akibat kondisi yang dilematis? Apakah senioritas, kultur kekerasan dan pelecehan seksual masih langgeng dalam dunia kerja dan pendidikan?

Keberanian MS untuk bersuara merupakan sebuah pertanda bahwa laki-laki tidak semestinya terus melanggengkan praktik kekerasan. Laki-laki tidak layak mendapat siksa fisik. Laki-laki bisa menjadi korban kekerasan seksual. Maskulinitas yang perlu digunakan adalah sifat melindungi, bukan untuk mengintimidasi sesama laki-laki dan perempuan.

Laki-laki berhak menangis, bersedih dan sambat ketika mengalami masalah, karena hal tersebut lumrah dan manusiawi. Hal ini seperti penggalan lirik lagu berjudul Air Mata dari DEWA sebagai berikut,

Menangislah bila harus menangis…

Karena kita semua manusia…

Laki-laki berhak mendapat bantuan dan perlindungan jika menjadi korban kejahatan, sama halnya dengan perempuan. Laki-laki dan perempuan sama di mata Tuhan, demikian pula idealnya sama di mata hukum. Tidak ada yang namanya normalisasi kejahatan, khususnya kekerasan seksual. Laki-laki dan perempuan sama-sama membutuhkan pengesahan RUU PKS agar tercipta ruang aman dimanapun berada. []

Tags: bullyingCegah Kekerasan SeksualFemininKasus kekerasankorban kasus kekerasanKPIKPI PusatLaki-laki dan perempuanmaskulinmaskulinitasMSpelecehan seksualPerlindungan KorbanRelasi ToxicRUU PKSSahkan RUU PKSSJstop bullyingtoxic masculinity
Lizza Zaen

Lizza Zaen

Ibu-ibu doyan nulis yang tergabung dalam Wadon Dermayu Menulis

Terkait Posts

Paus Leo XIV

Mengenal Paus Leo XIV: Harapan Baru Penerus Paus Fransiskus

12 Mei 2025
Barak Militer

Apakah Barak Militer Bisa Menjadi Ruang Aman bagi Siswi Perempuan?

11 Mei 2025
Hari Raya Waisak

Kontekstualisasi Ajaran Islam terhadap Hari Raya Waisak

10 Mei 2025
Vasektomi untuk Bansos

Vasektomi untuk Bansos: Syariat, HAM, Gender hingga Relasi Kuasa

9 Mei 2025
Vasektomi

Tafsir Sosial Kemanusiaan: Vasektomi, Kemiskinan, dan Hak Tubuh

8 Mei 2025
Barak Militer

Mengasuh dengan Kekerasan? Menimbang Ulang Ide Barak Militer untuk Anak Nakal

7 Mei 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Barak Militer

    Apakah Barak Militer Bisa Menjadi Ruang Aman bagi Siswi Perempuan?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ibu, Aku, dan Putriku: Generasi Pekerja Rumah Tangga

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Vasektomi untuk Bansos: Syariat, HAM, Gender hingga Relasi Kuasa

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tidak Ada Cinta bagi Arivia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Waisak: Merayakan Noble Silence untuk Perenungan Dharma bagi Umat Buddha

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Mengenal Paus Leo XIV: Harapan Baru Penerus Paus Fransiskus
  • Waisak: Merayakan Noble Silence untuk Perenungan Dharma bagi Umat Buddha
  • Islam Hadir untuk Gagasan Kemanusiaan
  • Apakah Barak Militer Bisa Menjadi Ruang Aman bagi Siswi Perempuan?
  • Ibu, Aku, dan Putriku: Generasi Pekerja Rumah Tangga

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Go to mobile version