• Login
  • Register
Senin, 19 Mei 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Publik

Belajar Lagi Tentang Gerakan Feminisme dan Patriarki

Perjuangan kaum perempuan ini mendapatkan hasil yang signifikan pada abad ke-19 ketika masalah feminisme masuk dalam studi kajian gender

Zahra Amin Zahra Amin
23/03/2024
in Publik
0
Gerakan Feminisme

Gerakan Feminisme

721
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Teman-teman sejak kapan kalian punya kesadaran tentang ketidakadilan terhadap perempuan atau kelompk rentan yang terjadi di sekitar? Atau minimal tahu ada ketimpangan tapi tidak tahu bagaimana cara menghadapinya. Jujurly, saya sendiri baru memahami secara lebih komprehensif tentang gerakan feminisme dan patriarki itu 7 tahun belakangan ini.

Ulasan ini juga untuk menjawab pertanyaan dari salah satu peserta pelatihan kader, di mana saya pernah memfasilitasi pelatihan itu. Apa kaitannya gender dan feminisme? Lalu di mana posisi patriarki di antara gender dan feminisme itu? Jawaban singkat telah saya sampaikan saat itu juga. Namun dalam kesempatan menulis artikel mingguan ini, terpikir untuk mendedahkannya dalam bentuk tulisan.

Gerakan Feminisme

Feminisme pertama kali muncul pada abad ke-18, yang diperkenalkan oleh seorang aktivis sosialis utopis, Charles Fourier. Ada tiga gelombang besar dalam perkembangan feminisme. Yaitu pada 1851, 1960-1980, dan tahun 1990an.

Gerakan ini dipelopori oleh beberapa tokoh perempuan, yaitu B. Anthony, Elizabeth Cady Stanton dan Marry Wollstonecraft melalui surat kabar The Revolution, yang mengangkat berbagai isu, di mana perempuan seperti terdiskriminasi di dalam gereja, menjalani perceraian tidak adil dan korban prostitusi.

Mereka menganggap perlakuan seperti itu muncul karena perempuan mengalami banyak ketertinggalan, seperti: buta huruf, miskin, dan tidak berkeahlian. Selain itu, perempuan  umumnya sering menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), pelecehan seksual, dan pemerkosaan. Lalu tidak boleh aktif dalam pemilu, juga mengalami diskriminasi dalam pekerjaan.

Baca Juga:

Menilik Relasi Al-Qur’an dengan Noble Silence pada Ayat-Ayat Shirah Nabawiyah (Part 1)

Ketika Sejarah Membuktikan Kepemimpinan Perempuan

Muhammad Bercerita: Meninjau Ungkapan Laki-laki Tidak Bercerita dan Mitos Superioritas

Merebut Tafsir: Membaca Kartini dalam Konteks Politik Etis

Gerakan ini tidak memberikan hasil yang memuaskan karena pada saat itu tidak banyak mendapatkan dukungan dari sesama perempuan. Kemudian muncullah buku The Second Sex yang ditulis oleh Simone Beauvoir, yang dua puluh tahun setelah penerbitannya dapat menumbuhkan kesadaran perempuan bahwa kesamaan hak-hak perempuan dan laki-laki dapat terwujud. Perjuangan perempuan adalah perjuangan tersulit dan terlama. Bahkan lebih sulit dari perjuangan kemerdekaan.

Feminisme di Indonesia

Gerakan feminisme di Indonesia sendiri tertandai dengan munculnya beberapa tokoh perempuan seperti: R.A Kartini, Dewi Sartika, dan Cut Nya’ Dien. Mereka berjuang melalui pendidikan, supaya wanita Indonesia tidak buta huruf, selain juga mengajarkan mengenai keterampilan. Emansipasi ini membuka jalan bagi perempuan untuk juga berperan di ranah publik

Feminisme adalah gerakan perempuan yang menuntut persamaan dan keadilan hak dengan laki-laki. Menurut Maggie Humm, feminisme adalah penggabungan doktrin hak-hak yang sama bagi perempuan dan suatu ideologi yang bertujuan untuk transformasi sosial guna menciptakan kesetaraan.

Gerakan semangat dan perjuangan ini pada dasarnya bermula dari ketimpangan hak antara laki-laki dan perempuan dalam ranah sosial kemasyarakatan. Semua jenis gerakan perihal pembebasan diri perempuan dari belenggu hegemoni laki-laki adalah “feminisme”.

Dalam sejarahnya ide-ide mengenai feminisme lahir dari rasa frustasi kaum perempuan (Barat) karena dominasi mitologi filsafat dan mitologi gereja, yang secara struktur dan kultural telah menempatkan perempuan pada posisi yang rendah, minim akan hak-hak dasar manusia, dan termarjinalkan.

Menilik Perjuangan Kaum Perempuan

Perjuangan kaum perempuan ini mendapatkan hasil yang signifikan pada abad ke-19 ketika masalah feminisme masuk dalam studi kajian gender. Dan mulai saat itu, konsep tentang feminisme selalu terkait dengan gender.

Sita van Bemmelen, mencoba untuk memahami konsep gender sebagai ketidakpuasan dengan gagasan statis tentang jenis kelamin, sebagai suatu indikasi mengenai perbedaan antara laki-laki dan perempuan yang hanya merujuk pada aspek biologisnya saja.

Konsep feminisme ini semakin eksis dan jelas arah perjuangannya ketika tahun 1977 sekelompok feminis di London tidak lagi memakai isu-isu lama seperti patriarki atau seksisme, namun menggantinya dengan gender discourse atau dialog berbasis gender.

Dari pemaparan ini kita simpulkan bahwa gender menyiratkan kategori laki-laki dan perempuan serta pola-pola perilaku kegiatan laki-laki dan perempuan.  Dalam pengertian lain gender akan selalu berhubungan dengan perilaku yang dibangun dalam suatu konstruksi sosial.

Sistem Patriarki

Sheila Rowbotham, seorang feminis sosialis terkemuka mengatakan bahwa walaupun perempuan merupakan kelompok yang teropresi oleh dominasi laki-laki, namun situasinya berlainan dengan kaum tertindas lainnya (pekerja). Pembebasan terhadap perempuan tidak berarti harus menyingkirkan laki-laki.

Dualisme anggapan yang selalu terbentuk dalam masyarakat ketika memandang laki-laki dan perempuan memang tidak dapat kita pungkiri lahir dari pandangan terhadap pembedaan jenis kelamin. Namun pembedaan peran antara keduanya, lebih ditentukan oleh faktor budaya. Di mana kita kenal sebagai sistem patriarki yang cenderung selalu melahirkan dikotomi “publik dan domestik.”

Sistem patriarki menghasilkan stratifikasi sosial bidang kegiatan di mana bidang publik menjadi wilayah kegiatan laki-laki, dan dinilai lebih tinggi dibandingkan ranah domestik atau privat yang menjadi wilayah kegiatan perempuan.

Sistem patriarki mengakar hingga ke jantung masyarakat dengan strata ekonomi terendah sekalipun. Cakupannya pun luas, mulai dari lingkungan keluarga, masyarakat, maupun dalam kehidupan bernegara dan pemerintahan.

Demikian paparan singkat ini, semoga bisa menjawab pertanyaan di atas. []

 

 

Tags: GenderGerakan Feminismegerakan perempuanKesetaraansejarahSistem Patriarki
Zahra Amin

Zahra Amin

Zahra Amin Perempuan penyuka senja, penikmat kopi, pembaca buku, dan menggemari sastra, isu perempuan serta keluarga. Kini, bekerja di Media Mubadalah dan tinggal di Indramayu.

Terkait Posts

Inses

Grup Facebook Fantasi Sedarah: Wabah dan Ancaman Inses di Dalam Keluarga

17 Mei 2025
Dialog Antar Agama

Merangkul yang Terasingkan: Memaknai GEDSI dalam terang Dialog Antar Agama

17 Mei 2025
Inses

Inses Bukan Aib Keluarga, Tapi Kejahatan yang Harus Diungkap

17 Mei 2025
Kashmir

Kashmir: Tanah yang Disengketakan, Perempuan yang Dilupakan

16 Mei 2025
Nakba Day

Nakba Day; Kiamat di Palestina

15 Mei 2025
Nenek SA

Dari Kasus Nenek SA: Hukum Tak Lagi Melindungi yang Lemah

15 Mei 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Kekerasan Seksual Sedarah

    Menolak Sunyi: Kekerasan Seksual Sedarah dan Tanggung Jawab Kita Bersama

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Rieke Diah Pitaloka: Bulan Mei Tonggak Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • KUPI Resmi Deklarasikan Mei sebagai Bulan Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Memanusiakan Manusia Dengan Bersyukur dalam Pandangan Imam Fakhrur Razi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • KUPI Dorong Masyarakat Dokumentasikan dan Narasikan Peran Ulama Perempuan di Akar Rumput

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Nyai Nur Channah: Ulama Wali Ma’rifatullah
  • Rieke Diah Pitaloka: Bulan Mei Tonggak Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia
  • Menolak Sunyi: Kekerasan Seksual Sedarah dan Tanggung Jawab Kita Bersama
  • KUPI Dorong Masyarakat Dokumentasikan dan Narasikan Peran Ulama Perempuan di Akar Rumput
  • Memanusiakan Manusia Dengan Bersyukur dalam Pandangan Imam Fakhrur Razi

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Go to mobile version