Mubadalah.id – Apa itu bengkel Mubadalah?
PERKENALAN, PEMETAAN HARAPAN, KONTRAK BELAJAR
Sebagaimana pada umumnya kegiatan pelatihan, workshop, atau sejenisnya, bengkel mubadalah yang diselenggarakan oleh Sisters In Islam pada pertemuan pertama dimulai dengan perkenalan. Peserta terdiri dari anak muda Malaysia dan Indonesia. Saat perkenalan, setiap orang diharuskan mencari pasangan yang belum dikenal. Sebagaimana pepatah mengatakan, tak kenal maka ta’aruf! Setelah saling berkenalan, setiap orang mengenalkan pasangannya masing-masing. Fasilitator dalam kegiatan ini Bunda Reena Abdul Aziz dan Kakak Andi Suraidah.
Setelah berkenalan, dilanjutkan dengan brainstorming. Jika melihat model pelatihan di Indonesia, sama seperti memetakan harapan dan kehawatiran. Apa yang membuat anda tergerak masuk dalam pergerakan Islam yang ramah perempuan? Apa harapan anda dari bengkel ini? Dua pertanyaan tersebut dijawab melalui kertas metaplan dan ditempelkan di tembok menggunakan solatif kertas, sangat khas pelatihan ! Lalu beberapa hasil brainstorming dibahas bersama.
Selanjutnya kontrak belajar. Beberapa hal yang akan menggangu efektivitas belajar kami sepakati untuk membuat peraturan. Tapi tidak dengan membuat sanksi atau hukuman bagi peserta yang melanggar. Hanya mengandalkan kepercayaan kepada masing-masing peserta.
KONSEP KAMAL DAN KAFFAH
Materi pertama disampaikan oleh Dr. Kiai Faqih Abdul Kodir, penulis buku Qira’ah Mubaadalah yang dikenal dengan sebutan Bapak Mubadalah Indonesia. Jadi, apa yang akan ditulis adalah semua yang disampaikan Kiai Faqih.
Menurutnya, jika visi mubadalah adalah rahmatan lil ‘aalamiin (rahmat bagi seluruh alam), maka misinya adalah akhlaq al-kariimah (ahlak yang mulia).
Islam hadir selama 1500 tahun telah melahirkan banyak produk pengetahuan (al-Qur’an, Hadits, dan Fiqh). Karenaya membaca teks Islam harus dengan kamal dan juga kafah. Islam kamal terkandung dalam surat al-Maidah ayat 3 yang berbunyi:
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu”.
Adapun Islam kafah terkandung dalam surat al-Baqarah ayat 208 yang berbunyi:
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu”.
Kedua ayat di atas menjadi dasar bagi pembacaan ayat secara menyeluruh. Artinya, Qira’ah Mubadalah hanya bisa dibaca jika membaca teks dengan Kamal dan Kafah. Jika memahami ayat tanpa membandingkan dengan ayat lain, maka pemahaman atas ayat tersebut bisa parsial. Hal ini kemudian bisa melahirkan penafsiran-penafsiran yang maslahat hanya untuk laki-laki saja, tidak untuk perempuan.
Padahal lslam hadir untuk laki-laki dan perempuan. Begitupun al-Qur’an dan hadits, sebagai pedoman hidup umat manusia (laki-laki dan perempuan) hadir bukan hanya untuk kemaslahatan laki-laki saja, tapi untuk kemaslahatan perempuan juga. Bagaimana pedoman hidup umat manusia ini kemudian bisa membumi dan maslahat bagi kedua jenis kelamin?
Mari kita lihat surat al-Baqarah ayat 218 “Orang-orang yang beriman (laki-laki dan perempuan maknanya).”
Meskipun secara bahasa utuk laki-laki saja, karena ada domir jama’ mudzakar mukhotob (laki-laki, banyak, ada di depan). Secara bahasa, orang yang beriman, berjihad, dan berhijrah akan memperoleh surga, sebagai rahmat allah. Ini sudah cukup untuk laki-laki dan peremuan secara makna. Hanya saja, masalahnya apakah di bahasa atau di makna? Karena digunakan oleh sahabat Nabi saat itu, untuk laki-laki saja. Perempuan tidak pernah diajak berhijrah dan berjihad. Bahkan jika pergi pun, seringkali distigmatisasi, untuk apa perempuan hijrah? Untuk apa perempuan jihad?
MUBADALAH TERINSPIRASI DARI SAHABAT NABI
Ayat yang digunakan oleh para sahabat di atas, menimbulkan protes dari kalangan perempuan. Perempuan pada masa itu merasa tidak adil jika tidak mendapatkan pahala dari keterlibatannya berjihad dan berhijrah.
Seperti halnya Nusaibah binti Ka’ab yang membela Nabi mati-matian pada perang Uhud. Ketika semua laki-laki pergi dan terdesak, Nusaibahlah yang menyelamatkan Nabi. Bukan Umar bin Khatab. Bukan juga Ali bin Abi Thalib yang kataya gagah berani. Semua laki-laki terdesak mundur. Nabi hampir saja wafat terbunuh oleh Quraisy. Tetapi Nusaibah tidak pergi dan tidak lari. Dia rela ditusuk dengan berbagai tusukan sehingga Nabi terselamatkan. Apakah perjuangan nyata Nusaibah tidak diapresiasi sama sekali? Tentu pemaknaan atas teks di atas tidak adil.
Nusaibah beserta Ummu Salamah protes kepada Nabi. Mengapa ayat di atas hanya untuk laki-laki? Masa ia al-Qur’an tidak mengapresiasi perempuan? Kemudian turunlah surat al-Imran ayat 195 yang berbunyi:
“Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman): “Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain. Maka orang-orang yang berhijrah, yang diusir dari kampung halamannya, yang disakiti pada jalan-Ku, yang berperang dan yang dibunuh, pastilah akan Ku-hapuskan kesalahan-kesalahan mereka dan pastilah Aku masukkan mereka ke dalam surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, sebagai pahala di sisi Allah. Dan Allah pada sisi-Nya pahala yang baik.”
Inilah inspirasi mubadalah. Banyak pihak/orang, termasuk pada masa Nabi menggunakan apa yang dia miliki (kekuatan sosial, ekonomi, pengetahuan, pemahaman) hanya untuk laki-laki. Peremuan tidak diajak dan tidak dilibatkan, kemudian al-Qur’an mengatakan bahwa perempuan harus diajak. Jadi, mubadalah akan mengatakan, tidak ada lagi perempuan yang tidak dilibatkan dan diajak. Keduanya disapa oleh al-Qur’an. Karena kemaslahatan harusnya dilahirkan bagi perempuan dan laki-laki.
KETIMPANGAN RELASI
Dalam realitas kehidupan, terjadi ketimpangan antara idealitas dan realitas. Idealitas Islam adalah kesetaraan laki-laki dan perempuan. Di dalamnya harus ada nilai-nilai hasanah (kebaikan), ‘adalah (keadilan), Falaah (keselamatan), Sa’adah (kebahagiaan), rahmah (kasih sayang), serta mashlahah (kemaslahatan). Idealnya sesungguhnya setara, tapi realitasnya timpang. Idealnya akan selalu memberi inspirasi dan mengajak secara dinamis agar realitas yang timpang sedikit banyak mendekati idealitas. Mungkin saja untuk ideal akan sulit dicapai, hanya akan ada di surga. Tapi kita diminta untuk berproses supaya menuju ke idealitas. Memproses agar semua kebaikan ada.
KOK ALLAH MENGGUNAKAN BAHASA LAKI-LAKI?
Ini pertanyaan salah satu peserta saat sesi tanya jawab. Tentu jawaban Kiai Faqih, tanya pada Allah !. karena jika pertanyaannya kenapa Allah, maka kita hanya akan mengira-ngira. Wallahu A’lam, hanya Allah yang tahu. Tapi yang paling penting menurut Kiai Faqih adalah, kita mengetahui bahwa Allah hanya bicara dalam bahasa arab yang sudah digunakan masyarakat Arab. Dimana, ketika bicara kepada laki-laki dan perempuan selalu menggunakan bahasa umum (struktur bahasanya laki-laki) tapi digunakan untuk kedua jenis kelamin.
Maka, kita sendiri memaknainya bagaimana? Apakah kita menggunakannya untuk membiarkan relasinya timpang? Atau kita akan menggunakannya untuk relasi yang setara? Tentu keputusannya ada di tangan kita. Kita menggunakan ayat al-Qur’an untuk apa? Membiarkan ketimpangan langgeng atau mengupayakan agar tidak ada lagi orang yang menjadi korban kedzaliman? Bahasa al-Qur’annya adalah, waladziina yastami’uunal qaula, fayattabi’uuna ahsanaa.
Ahsaana, banyak ditafsirkan, menggunakan makna terbaik dari ayat al-Qur’an, sehingga melahirkan kebaikan-kebaikan. Al-qaula, dalam berbagai tafsir memiliki makna bahwa yang diikuti makna dari al-Qur’an itu yg terbaik. Tanggung jawab memaknai ada di tangan kita. Jadi, bukan kenapa Allah? Tapi kenapa kita tidak memaknainya dengan baik. Sudah adilkah pemaknaan kita atas teks? Sudah mubadalahkah pemaknaan kita atas teks? Diri kitalah yang harus ditanyakan.
Al-Qur’an menyapa laki-laki dan perempuan
Dalam memaknai al-Qur’an, semangat semuanya bagaimana memanggil, menyapa, dan meletakan perempuan dan laki-laki sebagai subjek. Keduanya menjadi bagian yang dipanggil oleh Allah dan Nabi. Sehingga ketika ada kerahmatan dan keamaslahatan perempuan juga mendapatkannya, sebagaimana yang didapatkan oleh laki-laki.
Mubadalah lahir persis seperti yang ditanyakan oleh para sahabat-sahabat perempuan. Seringkali hadits dan ayat al-Qur’an dimaknai: jika nikmat, jika baik, jika bahagia, hanya untuk laki-laki saja. Sepertihalnya nampak dalam pernikahan, nikmatnya secara konsep yang sering kita dengar hanya untuk laki-laki saja.
Mari kita lihat dari definisi pernikahan. Secara bahasa, nikah adalah al-wath’u (bersetubuh). Wath’un ini seringkali dimaknai seakan-akan laki-laki menyetubuhi perempuan. Dalam istilah lain ‘menghalalkan vagina’ bagi laki-laki. Karena itu, dalam istilah, sesuatu yang diberikan oleh laki-laki kepada perempuan, itu sepadan dengan apa yang diberikan oleh perempuan kepada laki-laki berupa vagina itu. Karena itu, mahar akan jadi separo jika belum ada hubungan intim. Kesannya, pernikahan seperti tukar menukar barang.
Definisi lain yang pernah saya dengar dari Kang Mas Marzuki Wahid, secara bahasa nikah adalah al-aqdu, yang berarti akad. Ada yang memaknai akad untuk memiliki (aqdun littamlik), akad untuk membolehkan (lil Ibaahah), akad untuk saling memberikan manfaat (lil Intifa’). Pertama, akad untuk memiliki, seringkali dimaknai bahwa ketika setelah akad perempuan adalah milik laki-laki. Ini yang kemudian melahirkan dominasi dan hegemoni laki-laki atas perempuan. Karena, laki-laki dan perempuan, setelah milik Allah Swt adalah milik dirinya sendiri. Bukan milik sesama manusia.
Kedua, akad untuk membolehkan, lebih pada persoalan ketubuhan. Hal-hal yang tidak diperbolehkan sebelum menikah, terutama hubungan seksual, maka setelah menikah diperbolehkan. Ketiga, akad untuk saling memberikan manfaat. Inilah mudadalah. Bagaimana dalam pernikahan saling memberikan manfaat satu sama lain antara suami-istri untuk menggapai keluarga yang sakinah mawadah dan rahmah.
Sejalan dengan itu, dalam al-Qur’an surat ar-Ruum ayat 21, wamin aayaatihi an khalaqa lakum min anfusikum azwaajan litaskunuu ilayhaa waja’ala baynakum mawaddatan warahmatan inna fii dzaalika laaayaatin liqawmin yatafakkaruuna. Artinya, dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir.
Menurut Jasser Audah, seringkali kita membahas fiqh secara parsial. Sehingga ada ketimpangan yang terjadi. Karenanya, dalam memaknai teks, kita bisa tersesat. Karena hampir semua bahasa yang ada merujuk pada perempuan sebagai objek. Oleh karena itu, jika tanpa kesadaran mubaadalah, perempuan tidak mendapatkan perintah. Perintah shalat, zakat, puasa, ibadah haji, struktur bahasanya laki-laki semua, perempuan tidak masuk. Tanpa kesadaran mubadalah, semua ajaran hanya untuk laki-laki saja, perempuan tidak ada sama sekali. Perempuan cukup tidur enak-enak saja !
KEMANUSIAAN PEREMPUAN
Jika kita setuju bahwa al-Qur’an dihadirkan untuk manusia, maka perempuan sebagai manusia harus dilibatkan sebagai subjek kehidupan dalam pemaknaan teks. Dengan kesadaran, ketika memaknai semua ayat kita harus berpikir perempuan mendapatkan apa? Laki-laki mendapatkan apa? Karena, dalam surat an-Nahl ayat 97 Allah berfirman, barang siapa yang berbuat kebaikan dari laki-laki atau perempuan dan dia mukmin, niscaya kami menghidupkannya dengan kehidupan yang baik , dan kami memberi balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang mereka kerjakan.
Benar apa kata Kiai Husein Muhammad, jika ada cara pandang yang membeda-bedakan manusia secara gender, ras, suku, budaya, agama, status sosial, ekonomi, maka itu bukanlah cara pandang Tuhan, melainkan cara pandang manusia.
Oleh karena itu, kalau kita memahami islam secara kaffah dan kamal, maka seluruh teks harus dihadirkan secara penuh dari al-Qur’an, hadits, dan seluruh ayat-ayatnya. Sehingga ketika kita sejutu teks-teks agama sejak awal untuk laki-laki dan perempuan, maka tidak bisa lagi memenggal secara parsial bahwa ayat ini hanya untuk laki-laki saja atau untuk perempuan saja. Tentu saja ada ayat yang khusus, tapi secara umum, risalahnya, visinya, kerahmatan, kemashalatan, keadilan, kesuskesan, kebahagiaan, turun untuk laki-laki dan perempuan.
Jika ada kalimat atau bahasa yang hanya untuk laki-laki saja, maka harus dipikirkan permepuan juga. Dipanggil, disapa dan hadir dalam pernyataan. Kesadaran ini muncul tentu saja dari inspirasi para sahabat Nabi tadi dan juga dari ulama-ulama klasik etrdahulu. Mengapa hal ini menjadi penting? Karena dalam realitas kehidupan kita terjadi ketimpangan antara laki-laki dan perempuan. Perempuan dihilangkan perannya dan tidak nampak.
Oleh karena itu, cara memaknai semua ayat dan hadis harus dengan menghadirkan permepuan dan laki-laki sebagai subjek, sehingga tidak ada lagi pemaknaan yang dilakukan untuk diskriminasi, kedzaliman, serta kekerasan. Sebaliknya, justru orang lemah dikuatkan oleh yang kuat, orang yang tidak tidak memiliki ilmu diajarin oleh yang memiliki ilmu, orang yang di dzalimi dibantu supaya terhindar dari kedzaliman, dan orang yang mendzolimi dipegang kuat agar tidak lagi berbuat dzalim.
Unshur akhooka dzooliman au madzluuman, tolonglah saudaramu yang berbuat dzalim dan yang didzalimi. Jika tidak ada kesadaran mubadalah, perintah ini hanya untuk laki-laki saja. Akhooka, berarti saudara laki-lakimu. Jika saduara perempuanmu, maka struktur bahasanya tentu ukhtuka (saudara perempuanmu). Lalu, jika ada perempuan yang didzalimi apakah harus kita biarkan? Tentu hal ini akan mencederai cita-cita universal Islam.
Maka, siapapun tidak boleh menggunakan status sosialnya, kekayaan ekonominya, kemampuan pengetahuannya, kekuasaannya, untuk kedzaliman. Sebaliknya, harus menggunakan semuanya itu untuk kesejahteraan, kerahmatan, dan keadilan.
Mubadalah mengajak kita kepada kaidah-kaidah yang sudah pernah disusun oleh ulama. Jika maknanya adalah makna yang ajaran umum, harusnya tidak ada kata khusus lagi. Sangat banyak masalah-masalah sosial relasi perempuan dan laki-laki, kaidah bahasa pada akhirnya kesepakatan masyarakat pada saat itu. Apakah kesepakatannya akan membuat perempuan inferior dan laki-laki superior? Jika sepakat atas visi Islam yang rahmah, maslahah, serta akhlakul karimah, maka harus didorong ke SETARA.
FRAME WORK ‘HASANAH’ UNTUK MENUJU INTERDEPENDEN
Jika bicara tujuan awal, maka hasanah harus menjadi frame work. Tentu saja hasanah yang maslahah serta hasanah yang mubadalah. Frame work ini harus terus menemani kita ketika kita melakukan pemaknaan dan menghadapi realitas kehidupan.
Mulai dari dependen, ke independen, kemudian menuju interdependen. Dependen dalam konteks relasi adalah orang yang menggantungkan diri pada orang lain. Sifat negatifnya, seringkali menyalahkan orang lain dan cenderung ingin terus menerus dilayani. Adapun independen, semuanya selalu dilakukan sendiri. Orang yang independen, memiliki rasa tanggung jawab yang tinggi, mengetahui hal-hal yang harus diprioritaskan dalam hidupnya, serta memiliki perencanaan kehidupan yang matang. Jika dalam relasi, suami-istri sama-sama independen tentu bagus karena sama-sama kuat, akan tetapi yang terjadi hanya sama-sama kerja saja. Bukan kerja sama. Karena itu, supaya relasinya kerja sama tentu harus didorong ke interdependen.
Dalam relasi yang interdependen, bukan semuanya dikerjakan sendiri. Tapi semua hal dilakukan dengan berbagi bersama, saling meringankan satu sama lain. Karena nilai-nilai yang ada dalam relasi interdependen adalah respect other (memahami orang lain/pasangan sebelum ingin dipahami) sehingga bisa empati, together is better (menjadi team work yang hebat) untuk bekerja sama, serta balance (adanya keseimbangan).
Interdependen ini sangat bisa digunakan untuk semua level relasi. Ketika kita sudah memiliki persepktif ini, kewajiban kita adalah menggunakannya untuk merespon pemaknaan tafsir, fikih, hukum, isu, realitas, organisasi, perkenalan, berumah tangga, dan semua hal dalam kehidupan. Bisa kita praktikan mulai sekarang, misalnya ketika kita mendengar cermamah orang lain yang masih mengandung ketimpangan. Maka, yang terjadi dependen dan independen saja. Padahal, manusia punya pengetahun dan kapasitas untuk kerjasama. Dengan bekerja sama, dunia tentu akan lebih indah bukan?