• Login
  • Register
Sabtu, 10 Mei 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Monumen

Berbagai Dimensi dalam Relasi Mubadalah

Dalam relasi gender, perspektif mubadalah merupakan keimanan, keyakinan, cara pandang, sikap, perilaku, dan tindakan yang menempatkan laki-laki dan perempuan sebagai subjek kehidupan yang utuh dan setara

Faqih Abdul Kodir Faqih Abdul Kodir
22/01/2024
in Monumen
0
Relasi Mubadalah

Relasi Mubadalah

902
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Prinsip-prinsip relasi mubadalah antara dua pihak adalah bersifat universal. Berlaku untuk semua orang dan dalam semua level relasi, mulai dari relasi persahabatan individual yang sederhana, keluarga kecil dan besar, komunitas, dan masyarakat yang lebih luas. Prinsip kesalingan akan memandang dua pihak dalam berelasi sebagai manusia terhormat, bermartabat dan setara, serta harus adil dan maslahat.

Prinsip relasi mubadalah berlaku antara suami-istri, orang tua-anak, antar individu keluarga, antara majikan-buruh, antara negara-rakyat, dan antara seluruh individu warga negara. Dalam skala keluarga dan komunitas kecil, seseorang yang menginginkan kenyamanan, juga harus memberikan kenyamanan kepada orang lain. Dalam skala lebih luas, setiap orang pasti menginginkan hak-haknya dipenuhi negara dan tidak dilanggar atau diganggu oleh warga yang lain. Hal yang sama juga, ia berkewajiban untuk tidak mengganggu warga negara lain yang ingin menggunakan hak-haknya.

Implementasi dari prinsip mubadalah ini harus selalu melihat yang paling fundamental, bukan pada hal-hal yang bersifat parsial. Misalnya, dalam bertetangga: jika Anda senang dengan minum kopi, bukan berarti setiap orang kamu tawarkan dan berikan minuman kopi, atau harus memastikan dan memberi kesempatan agar semua orang bisa minum kopi, dengan alasan “senangkanlah orang lain dengan sesuatu yang membuatmu senang”. Bukan. Pilihan minuman ini masalah parsial.

Yang fundamental adalah: Jika Anda ingin memperoleh akses dan kesempatan untuk menikmati pilihan Anda, maka Anda juga harus memberi kesempatan kepada orang lain agar memperoleh pilihannya. Setidaknya, Anda tidak melakukan hal-hal yang menghambatnya. Lebih fundamental lagi soal hak-hak dasar setiap orang yang tidak boleh diganggu dan dihambat.

Mubadalah-Pasif

Jika Anda senang memiliki tetangga yang baik dan suka menolong, maka mulailah dengan diri Anda untuk menjadi baik dan suka menolong bagi tetangga Anda. Kenali, sapa, dan bantu mereka ketika memerlukan pertolongan. Ini mubadalah-aktif. Minimal, karena kesibukan individu yang berjibun, Anda tidak melakukan hal-hal yang melukai mereka, sebagaimana Anda juga tidak ingin mereka melukai Anda. Yang minimal ini adalah mubadalah-pasif.

Baca Juga:

Jangan Nekat! Pentingnya Memilih Pasangan Hidup yang Tepat bagi Perempuan

Separuh Mahar untuk Istri? Ini Bukan Soal Diskon, Tapi Fikih

Doa, Mubadalah, dan Spirit Penguatan Perempuan: Catatan Reflektif dari Kuala Lumpur

Semua Adalah Buruh dan Hamba: Refleksi Hari Buruh dalam Perspektif Mubadalah

Jika Tuhan dan Agama Anda senang dihormati dan tidak dilecehkan orang lain, maka jangan sekali-kali menghina Tuhan dan Agama orang lain. Jika kita menginginkan agar ketika kita minoritas dihormati dan dilindungi, maka ketika kita mayoritas jadilah orang yang selalu menghormati dan melindungi minoritas. Sesama elemen Bangsa, perbedaan-perbedaan primordial seperti ras, suku, golongan, dan agama, tidak dijadikan alat memfitnah, dan memecah belah. Sebaliknya, bahu-membahu membudayakan nilai-nilai kebaikan dan membangun kehidupan yang lebih baik, yang dapat dinikmati sebanyak mungkin masyarakat.

Jika kita senang memperoleh pendidikan yang berkualitas, rumah yang layak, pekerjaan yang mencukupi, dan keluarga bahagia, maka kita juga seharusnya merasa senang jika semua warga memperoleh hal yang sama. Karena itu, kita harus ikut menyuarakan agar negara mampu melakukan kewajiban-kewajibannya kepada rakyat. Membayar pajak dan mengontrol penggunaanya agar efektif dan efesien untuk kepentingan rakyat semata.

Saat ini, dengan jari yang kita miliki dan teknologi media sosial yang tersedia, kita perlu menebar kalimat positif, yang meneguhkan, menguatkan, menyatukan, membangkitkan, dan menghidupkan. Atau minimal, melakukan mubadalah-pasif, untuk tidak merangkai ujaran kebohongan, kebencian, dan permusuhan yang akan menghancurkan pondasi kebangsaan. Termasuk, tidak juga mudah men-share kalimat atau gambar, yang bisa jadi kita senang. Tetapi di luar sana akan ada orang yang tersakiti dan terzalimi. Semoga kita semua bisa menerapkan prinsip dan relasi mubadalah dalam kehidupan sehari-hari.

Perspektif Mubadalah dalam Relasi Gender

Dalam relasi gender, perspektif mubadalah merupakan keimanan, keyakinan, cara pandang, sikap, perilaku, dan tindakan yang menempatkan laki-laki dan perempuan sebagai subjek kehidupan yang utuh dan setara. Salah satu tidak lebih penting dari yang lain, melainkan keduanya sama-sama penting. Baik dalam melakukan dan memperoleh seluruh kebaikan hidup, maupuan usaha agar terhindar dari segala keburukannya. Pengalaman perempuan sama pentingnya dengan pengalaman laki-laki. Ia harus dikenali, dipahami, dan dirujuk untuk memahami kehidupan agar lebih utuh dan lebih baik.

Dalam narasi keislaman yang rahmatan lil ‘alamin, perspektif mubadalah mendorong agar: baik laki-laki maupun perempuan diperlakukan dengan cara pandang kasih sayang, dan memperolehnya dalam kehidupan mereka secara nyata. Begitupun, narasi akhlak mulia harus menyapa keduanya, laki-laki dan perempuan, sebagai subyek utuh narasi tersebut. Konsepsi akhlak mulia, dalam perspektif mubadalah, menuntut kedua belah pihak melakukanya dalam kehidupan relasional mereka di satu sisi. Dan di sisi lain, memastikan keduanya diperlakukan secara berakhlak.

Dengan demikian, seruan kita agar perempuan bermoral karena merupakan tiang negara adalah tidak mubadalah, jika tanpa menyerukan hal yang sama kuatnya kepada laki-laki untuk bermoral karena juga penyangga negara. Nasihat kita kepada para perempuan untuk menjadi istri salihah bagi suami mereka adalah belum mubadalah, jika tanpa kehadiran para laki-laki yang salih kepada istri mereka. Begitupun ketakutan kita pada godaan, rayuan, pesona, atau yang disebut sebagai “fitnah” perempuan. Adalah juga tidak mubadalah jika benar-benar melupakan bujuk rayu, pesona, atau “fitnah” para laki-laki dalam kehidupan nyata.

Dalil Relasi Gender

Al-Qur’an menyebut relasi gender yang mubadalah ini dalam ungkapan “ba’dhuhum awliyā’ ba’dhin”, atau saling menolong satu sama lain. Berikut ayat al-Qur’an yang dimaksud:

وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَيُطِيعُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ أُولَئِكَ سَيَرْحَمُهُمُ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ

“Orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, adalah saling menolong, satu kepada yang lain; dalam menyuruh kebaikan, melarang kejahatan, mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, dan mentaati Allah dan rasul-Nya. Mereka akan dirahmati Allah. Sesungguhnya Allah Maha Kuat dan Maha Bijaksana”. (QS. at-Taubah, 9: 71).

Ayat ini secara tegas mengajarkan kesalingan antara laki-laki dan perempuan dalam semua aspek kehidupan. Dimana yang satu adalah penolong, penopang, penyayang, dan pendukung yang lain.

Secara literal, kata “ba’dhuhum awliyā’ ba’dhin” berarti “yang satu adalah wali bagi yang lain”. Wali artinya adalah penolong, penanggung jawab, pengampu, dan penguasa. Berbagai kitab tafsir mengartikan frasa ba’dhuhum awliyā’ ba’dhin dengan saling tolong menolong (tanāshur), saling menyayangi (tarāhum), saling mencintai (tahābub) dan saling menopang (taʻādhud).

Dengan demikian, laki-laki dan perempuan, untuk saling menjadi “wali” kepada yang lain, sesuai dengan kapasitas masing-masing, dalam segala aspek kehidupan. Ayat ini mencontohkan aspek pendidikan seperti dakwah amar ma’ruf nahi munkar, ibadah ritual seperti sholat, ibadah sosial ekonomi seperti zakat, dan aspek tertib sosial melalui ketaatan kepadas Allah Swt dan Rasul-Nya.

Keadilan Hakiki sebagai Prasyarat Mubadalah

Sebagaimana dijelaskan Nur Rofi’ah dalam berbagai kesempatan, keadilan hakiki adalah bagaiman kita menfasirkan teks dan realitas dengan kesadaran penuh pada dua kondisi khas perempuan yang tidak dialami laki-laki. Ketika metode mubadalah menempatkan keduanya sebagai subyek utuh dan penuh. Maka keadilan hakiki mengingatkan pada kondisi khas perempuan agar benar-benar menjadi subyek utuh dan penuh.

Dua kondisi khas yang adalah: pertama, lima bersifat biologis, yaitu bisa mengalami menstruasi, hamil, melahirkan, nifas, dan menyusui. Kedua, lima yang bersifat sosial, yaitu bisa mengalami stigmatisasi, marginalisasi, subordinasi, kekerasan, dan beban ganda semata-mata hanya karena menjadi perempuan. Kondisi khas sosial yang perempuan alami ini biasa kita sebut sebagai lima bentuk ketidak-adilan gender.

Dengan kesadaran keadilan hakiki ini, proses pemaknaan teks dan realitas harus kita pastikan tidak melahirkan pandangan yang justru seseorang terdorong melakukan keburukan pada perempuan yang sudah mengalami dua kondisi khusus tersebut. Melainkan mendorongnya mencari jalan untuk memfasilitasi perempuan melalui lima kondisi biologis secara baik dan prima di satu sisi, dan meniadakan kelima bentuk ketidak-adilan sosial yang perempuan alami di sisi lain. Demikianlah, metode mubadalah harus integral dengan konsep keadilan hakiki. Jika tidak, ia bisa kita gunakan untuk melemahkan perempuan, alih-alih memberdayakan dan menguatkan.

Tiga Nilai dalam Relasi Mubadalah

Melalui filosofi tauhid ini, paradigma mubadalah bekerja pertama kali sebagai cara pandang yang menghormati martabat kemanusiaan setiap orang dan menghargai jati dirinya. Sikap seseorang untuk tidak memandang orang lain lebih rendah dari dirinya. Pada saat yang sama, tidak perlu juga merasa rendah diri di hadapan orang lain. Melalui sikap ini, seorang laki-laki atau suami tidak perlu merasa lebih berharga hanya karena dia laki-laki. Begitupun sebaliknya perempuan atau istri tidak perlu merasa lebih rendah dari laki-laki hanya karena perempuan. Martabat keduanya, sebagai manusia adalah sama, yang mereka perlukan kemudian adalah kerjasama dan tolong-menolong, bukan hegemoni apalagi kekerasan.

Jika salah satunya memiliki kelebihan tertentu, dalam hal ekonomi misalnya, kekuatan fisik, kapasitas ilmu, posisi sosial, atau keahlian tertentu. Maka ia akan mempergunakannya untuk memberdayakan yang lain, menolong dan menguatkannya agar menjadi manusia yang bermartabat. Juga tercukupi kebutuhannya dan terbebas dari segala tindak kekerasan dan kezaliman. Sikap ini, dalam perspektif mubadalah sebut sebagai adil. Semua orang harus berelasi secara adil, laki-laki kepada perempuan, dan sebaliknya perempuan kepada laki-laki.

Di samping relasi bermartabat dan adil, paradima mubadalah juga menuntut relasi yang penuh maslahah. Kata maslahah berarti kebaikan. Artinya masing-masing harus mengembangkan potensi hidupnya untuk kebaikan bersama di satu sisi. Juga, di sisi lain, memberikan kesempatan dan mendukung yang lain agar mampu mengembangkan potensinya untuk kebaikan bersama. Sehingga, baik diri maupun orang dalam relasinya, sama-sama bisa berkontribusi memberikan kebaikan untuk kehidupan.

Berlaku di Ranah Domestik dan Publik

Dengan demikian, paradigma relasi mubadalah mengandung tiga prinsip nilai; cara pandang bermartabat, sikap dan perilaku adil, dan tindakan-tindakan yang maslahah. Ketiga prinsip ini berlaku dalam relasi gender di ranah domestik dan publik, dalam kehidupan rumah tangga, keluarga. Juga termasuk komunitas, warga bangsa, maupun publik dunia.

Dengan tiga prinsip relasi mubadalah yang mengakar pada ajaran tauhid ini, kita jadi paham mengapa kalimat “la ilaha illallah” menjadi penting dan harus diucapkan untuk meneguhkan komitmen kita pada nila-nilai ini. Kita juga menjadi mengerti mengapa ucapan kalimat ini bisa membawa kita pada kehidupan surgawi, baik di dunia maupun akhirat.

عَنْ عُثْمَانَ بن عفان رضي الله عنهم، قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم مَنْ مَاتَ وَهُوَ يَعْلَمُ أَنَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ دَخَلَ الْجَنَّةَ (صحيح مسلم)

Dari Utsman bin Affan ra berkata: Rasulullah Saw bersabda: “Barangsiapa meninggal dunia dan tahu (dan meyakini) bahwa tiada tuhan selain Allah. Maka ia akan masuk surga” (Sahih Muslim, Kitab al-Iman, no. hadits: 145).

Semoga kita semua menjadi orang-orang yang memiliki komitmen tauhid: mengesakan Allah Swt, memanusiakan manusia. Serta membawa keadilan, dan menghadirkan kemaslahatan, agar memperoleh kehidupan surgawi, baik di dunia, maupun kelak setelah wafat di akhirat. Wallahu a’lam. []

 

Tags: BerbagaiDimensiMubadalahRelasi
Faqih Abdul Kodir

Faqih Abdul Kodir

Founder Mubadalah.id dan Ketua LP2M UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon

Terkait Posts

Hari Air Sedunia

Hari Air Sedunia: Perempuan, Air dan Energi Hijau dalam Perspektif Mubadalah

22 Maret 2025
Kepemimpinan Ulama Perempuan

Analisis Konteks Kepemimpinan Ulama Perempuan Bu Nyai Mufliha Shohib

18 Oktober 2024
Resiliensi Perempuan

Peran Media dalam Upaya Resiliensi Perempuan di Tengah Pandemi (2)

25 September 2024
Peran Media

Peran Media dalam Upaya Resiliensi Perempuan di Tengah Pandemi (1)

17 September 2024
Relasi Keluarga

Mubadalah: Solusi Relasi Keluarga dalam Menghadapi Tantangan Pilkada 2024

30 Juli 2024
Ulama Perempuan

Ulama Perempuan dan Strategi Pengembangan Pesantren

27 Juni 2024
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • PRT

    Mengapa PRT Identik dengan Perempuan?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Perempuan di Ruang Domestik: Warisan Budaya dan Tafsir Agama

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mengapa Waktu Berlalu Cepat dan Bagaimana Mengendalikannya?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Aurat dalam Islam

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kisah Luna Maya, Merayakan Perempuan yang Dicintai dan Mencintai

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Islam Memuliakan Perempuan Belajar dari Pemikiran Neng Dara Affiah
  • Perempuan Bukan Fitnah: Membongkar Paradoks Antara Tafsir Keagamaan dan Realitas Sosial
  • Mengirim Anak ke Barak Militer, Efektifkah?
  • Perempuan di Ruang Domestik: Warisan Budaya dan Tafsir Agama
  • Ibu Nyai Hj. Djamilah Hamid Baidlowi: Singa Podium dari Bojonegoro

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Go to mobile version