• Login
  • Register
Minggu, 2 April 2023
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom

Berbagi Kesadaran Monogami

Zahra Amin Zahra Amin
09/04/2018
in Kolom
0
kesadaran monogami

kesadaran monogami

12
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Tulisan ini saya buat berdasarkan kisah nyata, pengalaman yang ditemui dalam kehidupan sehari-hari. Tentang keinginan sebagian perempuan yang lebih memilih menjadi perempuan kedua, ketiga, keempat dan seterusnya dari lelaki yang sudah menikah. Atas alasan apapun, satu sisi kita harus menghargai pilihan itu. Namun di sisi lain tetap menimbulkan pertanyaan, mengapa jalan itu diambil jika masih ada alternatif jalan lain yang memungkinkan untuk meraih kebahagiaan dunia akhirat. Sehingga saya mendapatkan pertanyaan dari seorang sahabat, bagaimana mubadalah menyikapi hal yang demikian itu? Berikut ini kisah berbagi kesadaran monogami.

Kisah pertama, tentang seorang perempuan karier yang sukses namun masih lajang. Ketika dia menemukan lelaki yang menurut dia tepat dijadikan imam, begitu tahu sudah berkeluarga, dia mau merelakan dirinya menjadi istri kedua, dan siap menanggung semua kebutuhan keluarga sang lelaki. Namun untungnya pinangan dari perempuan itu ditepis secara halus, dan praktek poligami urung dilakukan.

Baca juga:
Poligami Terbatas Menuju ke Arah Monogami
Perintah Monogami dalam Islam

Sedangkan cerita yang kedua, tentang perempuan yang ingin dinikahi dan hidup bersama seorang lelaki. Bahkan seandainya lelaki itu menikah lagi, dia rela asalkan bisa terus hidup bersama dengannya. Perempuan ini mengaku, karena cinta dia rela melakukan apapun untuk kebahagiaan suaminya. Jadi bukan hanya persoalan status menyandang sebagai seorang istri. Tetapi lebih pada kebutuhan pemenuhan rasa cinta dan agar bisa selamanya hidup berdampingan.

Jika melihat dua kisah tersebut, saya ingin berbagi kesadaran pemahaman monogami sebagai pilihan menikah, bahwa kita harus belajar relasi yang sehat dalam berkeluarga. Meminjam kalimat pengantar dari Buku Sunnah Monogami karya Dr. Faqihudin Abdul Qodir,  salah satu hal yang menyebabkan banyak rumah tangga tak mampu bertahan lama, adalah pemahaman  yang konon katanya berdasarkan ajaran agama khususnya Islam, di mana telah memberikan kekuasaan hampir tak terbatas pada laki-laki (suami) sebagai kepala rumah tangga  dan imam keluarga.

Daftar Isi

  • Baca Juga:
  • Dalam Ralasi Pernikahan Suami Istri Harus Saling Memberikan Kemaslahatan
  • Dalam Relasi Pernikahan, Perempuan Harus Menjadi Subjek Utuh
  • Memaknai Kembali Hadis-hadis Pernikahan
  • Mengasuh Anak Tugas Siapa?

Baca Juga:

Dalam Ralasi Pernikahan Suami Istri Harus Saling Memberikan Kemaslahatan

Dalam Relasi Pernikahan, Perempuan Harus Menjadi Subjek Utuh

Memaknai Kembali Hadis-hadis Pernikahan

Mengasuh Anak Tugas Siapa?

Puisi KH Husein Muhammad ”Satu Saja”

Lalu imam dan kepemimpinan dimaknai sebagai penguasaan dalam kehidupan sehari-hari. Akibatnya tuntutan terhadap kepatuhan pada suami membatasi perempuan untuk mengambil keputusan dan berkembang menjadi dirinya sendiri. Padahal pada praktiknya, menurut Dr. Faqih, banyak suami yang tak mampu memenuhi peran dan tanggung jawabnya pada keluarga. Hal ini membuat perempuan tak terlatih mengambi keputusan secara mandiri dan tidak percaya diri.

Hal ini ditambah dengan maraknya kursus singkat poligami cara kilat mendapatkan isteri empat, yang berbiaya fantastis hingga mencapai jutaan rupiah, yang diselenggarakan oleh Dauroh Poligami Indonesia. Selain itu, ada pula postingan tentang anjuran bagi perempuan agar mau menikah dengan suami orang dengan disertai beberapa alasan, dan lagi-lagi menjadikan sirah nabawiyah sebagai alasan utama.

Namun senyatanya itu hanya kamuflase dari trend poligami yang menjadi ladang bisnis, tak jauh-jauh dari urusan seks dan libido, sehingga perempuan hanya dijadikan sebagai objek pemuasan hasrat seksual, tanpa melihat potensi perempuan yang mampu bergerak, berdaya dan setara dengan lelaki, berkontribusi nyata untuk melakukan perubahan, bermanfaat bagi umat, dan memajukan bangsa serta negara.

Maka benar jika dalam praktik poligami ada pembunuhan karakter perempuan, seperti yang disampaikan Lies Marcoes, masih dalam kata pengantar buku yang sama, bahwa melalui cara pandang budaya poligami itu merupakan bagian dari proses dehumanisasi perempuan. Lies mengambil pandangan ahli pendidikan Freire, dehumanisasi dalam konteks poligami terlihat manakala perempuan yang dipoligami mengalami self-depreciation.

Mereka membenarkan bahkan bersetuju dengan tindakan poligami meskipun mengalami penderitaan lahir batin yang luar biasa. Tak sedikit di antara mereka, para perempuan ini, yang menganggap bahwa penderitaan itu adalah pengorbanan yang sudah sepatutnya dijalani, atau poligami itu terjadi karena kesalahannya sendiri.

Sedangkan menurut saya sederhana saja, ketika ada orang lain yang merasa tersakiti atas keputusan itu, maka prinsip resiprokal secara tidak langsung ikut hilang. Karena ada pola relasi yang tidak sehat, ketimpangan antara lelaki dan perempuan, atau suami serta isteri. Dalam kesalingan, tidak bisa berat sebelah yang satu lebih dominan atas yang lain, harus adil dan setara antar satu sama lain. Seperti pada kisah pertama di mana perempuan itu rela memenuhi kebutuhan ekonomi lelaki, istri pertama dan anak-anaknya selama seumur hidup, tanpa mempertimbangkan bagaimana perasaan isteri pertama. Selain itu nanti akan menimbulkan persoalan baru di kemudian hari, serta peran istri pertama yang tidak punya posisi tawar dalam pola relasi itu.

Kemudian dalam kisah kedua, selain belajar memaknai kembali relasi yang sehat dalam berumah tangga, perempuan juga harus mempunyai pemahaman tentang sunnah monogami, karena membangun ikatan emosional dengan lelaki tidak hanya persoalan rasa dan cinta, tetapi bagaimana bisa saling bekerjasama untuk membina keluarga yang bahagia dan sejahtera. Karena kehidupan yang hebat di masa depan selalu diawali dari pondasi keluarga yang kuat, baik secara fisik maupun psikis seluruh anggotanya.

Jadi, memahami tentang sunnah monogami tidak hanya diperuntukkan bagi lelaki, yang belum atau sudah menikah. Tetapi perempuan wajib mengerti, karena kehidupan pernikahan bukan hanya tentang lelaki saja, tetapi yang lebih penting ada peran perempuan juga, untuk bersama-sama menjaga tali kasih keluarga hingga akhir menutup mata. []

Tags: KesalinganKesetaraanMonogamiMubaadalahMubadalahpernikahansatu istri
Zahra Amin

Zahra Amin

Zahra Amin Perempuan penyuka senja, penikmat kopi, pembaca buku, dan menggemari sastra, isu perempuan serta keluarga. Kini, bekerja di Media Mubadalah dan tinggal di Indramayu.

Terkait Posts

Anak Kehilangan Sosok Ayah

Ketika Anak Kehilangan Sosok Ayah dalam Kehidupannya

2 April 2023
Kasus KDRT

Kasus KDRT: Praktik Mikul Dhuwur Mendem Jero yang Salah Tempat

1 April 2023
Sepak Bola Indonesia

Antara Israel, Gus Dur, dan Sepak Bola Indonesia

1 April 2023
Keberkahan Ramadan, Kemerdekaan Indonesia

Kemerdekaan Indonesia Bukti dari Keberkahan Ramadan

31 Maret 2023
Agama Perempuan Separuh Lelaki

Pantas Saja, Agama Perempuan Separuh Lelaki

31 Maret 2023
Resep Awet Muda Istri

Kerja Sama dengan Suami Bisa Menjadi Resep Awet Muda Istri

31 Maret 2023
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Sarana Menikah

    Menikah Adalah Sarana untuk Melakukan Kebaikan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Momen Ramadan, Mengingat Masa Kecil yang Berkemanusiaan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kasus KDRT: Praktik Mikul Dhuwur Mendem Jero yang Salah Tempat

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Menikah Harus Menjadi Tujuan Bersama, Suami Istri

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ketika Anak Kehilangan Sosok Ayah dalam Kehidupannya

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Mahar Adalah Simbol Cinta dan Komitmen Suami Kepada Istri
  • Ketika Anak Kehilangan Sosok Ayah dalam Kehidupannya
  • Keheningan Laku Spiritualitas Manusia Pilihan Tuhan
  • Menikah Harus Menjadi Tujuan Bersama, Suami Istri
  • Momen Ramadan, Mengingat Masa Kecil yang Berkemanusiaan

Komentar Terbaru

  • Profil Gender: Angka tak Bisa Dibiarkan Begitu Saja pada Pesan untuk Ibu dari Chimamanda
  • Perempuan Boleh Berolahraga, Bukan Cuma Laki-laki Kok! pada Laki-laki dan Perempuan Sama-sama Miliki Potensi Sumber Fitnah
  • Mangkuk Minum Nabi, Tumbler dan Alam pada Perspektif Mubadalah Menjadi Bagian Dari Kerja-kerja Kemaslahatan
  • Petasan, Kebahagiaan Semu yang Sering Membawa Petaka pada Maqashid Syari’ah Jadi Prinsip Ciptakan Kemaslahatan Manusia
  • Berbagi Pengalaman Ustazah Pondok: Pentingnya Komunikasi pada Belajar dari Peran Kiai dan Pondok Pesantren Yang Adil Gender
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist