• Login
  • Register
Kamis, 10 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Buku

Buku My Forbidden : Menguak Nasib Perempuan dalam Cengkeraman Taliban

Kaum perempuan berada pada situasi yang kontradiksi. Dipaksa untuk diam di rumah, tapi untuk bertahan hidup mereka harus menyambung hidup dengan keluar rumah

Hilda Fatgehipon Hilda Fatgehipon
23/09/2021
in Buku
0
Buku

Buku

317
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Judul: My Forbidden Face (WajahTerlarang)

Penulis: Latifa (Nama samaran)

Penerbit/Tahun: Fresh Book/2004

229 hlm

Mubadalah.id – Buku ini merupakan memoir seorang perempuan bernama Latifa yang merupakan remaja enam belas tahun, kala Taliban menguasai Afghanistan pada tahun 1996. Namun, sebelum itu, sebelum dikuasai oleh milisi Taliban. Ia dan penduduk kota Kabul telah akrab dengan dentuman-dentuman roket yang memekakkan telinga sepanjang hidup mereka.

Perang perlahan mengubah kehidupan warga Afganistan. Namun, kedatangan Taliban bukan hanya perihal merebut kekuasaan, melainkan era baru ketika pembungkaman kebebasan manusia merajalela—terutama perempuan yang harus berdiam diri di rumah dan wajah mereka yang harus bersembunyi dibalik burqa dengan mengatasnamakan dalil agama.

Pemahaman teks-teks agama yang tak dibarengi dengan daya kritis nalar hanya akan menjadikan pesan agama yang sarat perdamaian menjadi pemecah bahkan alat untuk membunuh sesama adalah sisi lain dari apa yang tertulis dalam buku. Dan itulah cara yang digunakan Taliban untuk menundukkan warga sipil.

Dalam buku ini pula, saya seperti diajak untuk menyelami kehidupan Latifa, masyarakat, dan tradisi negeri Afghanistan yang terbungkam oleh rezim Taliban. Halaman demi halaman buku menyorot peran dan pengalaman perempuan yang dilemahkan dan dipaksa tunduk pada fatwa yang benar-benar ekstrim. Tak ada kebebasan mendengarkan musik, buku, maupun film favorit. Segala gambar maupun video dilarang beredar.

Kaum perempuan harus mengenakan burqa, dilarang bekerja, dilarang keluar rumah tanpa didampingi mahram. Lantas, bagaimana nasib perempuan yang tak memiliki mahram? Bagaimana mereka memenuhi kebutuhan hidupnya? Bagaimana nasib perempuan yang sedang sakit, apabila dokter berjenis kelamin laki-laki dilarang keras untuk melayani pasien perempuan?

Baca Juga:

Sudah Saatnya Menghentikan Stigma Perempuan Sebagai Fitnah

Film Horor, Hantu Perempuan dan Mitos-mitos yang Mengikutinya

Hingga Saat Ini Perempuan Masih Dipandang sebagai Fitnah

Life After Graduated: Perempuan dalam Pilihan Berpendidikan, Berkarir, dan Menikah

Dari kacamata sosok Latifa, Saya menyadari bahwa konflik kekuasaan memiliki dampak buruk dalam segala aspek—termasuk para masyarakat yang menjadi korban dari perang tersebut. Namun, harus diakui bahwa kaum perempuan dan anak-anak yang paling rentan mengalami berbagai kerugian dari konflik tersebut. Hak-hak kemanusiaan dan pengalaman khas perempuannya direnggut.

Saya menyoroti perempuan yang berada di sekitar Latifa yang mengalami berbagai tekanan dari hadirnya Taliban. Hidup dalam cengkeraman perang tanpa memiliki kebebasan untuk mengakses hal-hal yang mereka inginkan menjadi kisah tersendiri. Ibunya yang mengalami depresi, karena tak lagi bisa melakoni pekerjaannya sebagai perawat rumah sakit dan membantu sesama.

Hidup seperti berhenti di sebuah lorong gelap tanpa apa-apa. Aku menghabiskan seluruh hari-hariku di kamar, membaca atau memandangi langit-langit. Tak ada lagi lari-lari atau bersepeda, tak ada lagi kelas Bahasa Inggris atau surat kabar. Badanku tumbuh lambat seperti otakku, yang terus tertolong oleh film India yang dibawakan oleh Daud. Agar Taliban tidak melihat sinar cahaya dari layar, pamanku datang dan mengecat hitam seluruh jendela. Semua dihitamkan. Terutama yang sekiranya menghadap jalan raya. Hanya, jendela dapur yang satu-satunya tidak dicat hitam, karena tidak menghadap jalan. Di sanalah, kami dapat melihat masjid dan sekolah, di mana laki-lakibsaja yang tinggal, duduk mengelilingi mullah yang sedang mengutip Al Quran. (Hlm.49)

Ibu, kakak dan dirinya tak bisa melakukan hal apapun. Sepanjang hari di rumah, sesekali memperhatikan jalanan dibalik jendela yang kacanya telah dilapisi kertas hitam, agar tak menampakkan wajah mereka. Ada kisah pilu dan menggerakkan nurani ibunya, kala rumah mereka didatangi beberapa perempuan yang mengalami korban kekerasan seksual. Para korban mengalami kesakitan, tapi tak tahu ke mana harus berobat, kala dokter laki-laki dilarang keras melayani pasien perempuan, dan petugas kesehatan maupun dokter perempuan dilarang beraktivitas di luar rumah.

Berbagai kebijakan yang diberlakukan Taliban dengan dalih agama menjadi sesuatu yang benar-benar mencederai kemanusiaan, ketika para kaum laki-laki dipaksa untuk menunaikan ibadah shalat lima waktu di masjid, tapi di sisi lain tak segan-segan membunuh warga sipil. Mengumandangkan ceramah-ceramah yang cenderung keras, tapi tanpa ampun mencambuk perempuan yang berjualan sendirian di tepi jalan, hanya karena tak ditemani oleh mahramnya.

Kaum perempuan berada pada situasi yang kontradiksi. Dipaksa untuk diam di rumah, tapi untuk bertahan hidup mereka harus menyambung hidup dengan keluar rumah. Bahkan terkadang, anak-anak yang masih dibawah umur harus berjualan untuk menggantikan Ibu mereka yang dilarang keluar rumah.

Beragam kisah dari masyarakat dibawah rezim Taliban digambarkan dengan apa adanya di dalam buku. Latifa menulis kisah ini bersama Chekeba Hachemi, pendiri Afganistan Libre. Buku memoar yang menjadi saksi akan kekejaman Taliban yang menjadikan agama sebagai tameng. Betapa salah penafsiran teks agama akan sangat berbahaya bagi kemanusiaan. Saya jadi teringat akan nasehat Gus Dur, “Agama mengajarkan pesan pesan-pesan damai dan ekstremis mememutar balikkannya.” []

Tags: AfganistanbukuMemoarperempuanTaliban
Hilda Fatgehipon

Hilda Fatgehipon

Anggota Puan Menulis

Terkait Posts

Perempuan Lebih Religius

Mengapa Perempuan Lebih Religius Daripada Laki-laki?

9 Juli 2025
Ancaman Intoleransi

Menemukan Wajah Sejati Islam di Tengah Ancaman Intoleransi dan Diskriminasi

5 Juli 2025
Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer

Pesan Pram Melalui Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer

4 Juli 2025
Fiqh Al-Usrah

Fiqh Al-Usrah Menjembatani Teks Keislaman Klasik dan Realitas Kehidupan

28 Juni 2025
Novel Cantik itu Luka

Novel Cantik itu Luka; Luka yang Diwariskan dan Doa yang Tak Sempat Dibisikkan

27 Juni 2025
Fiqhul Usrah

Fiqhul Usrah: Menanamkan Akhlak Mulia untuk Membangun Keluarga Samawa

25 Juni 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Life After Graduated

    Life After Graduated: Perempuan dalam Pilihan Berpendidikan, Berkarir, dan Menikah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kuasa Suami atas Tubuh Istri

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Melawan Perundungan dengan Asik dan Menyenangkan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ketika Perempuan Tak Punya Hak atas Seksualitas

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Stop Menormalisasi Pelecehan Seksual: Terkenal Bukan Berarti Milik Semua Orang

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Jalanan Jogja, Kopi yang Terlambat, dan Kisah Perempuan yang Tersisih
  • Sudah Saatnya Menghentikan Stigma Perempuan Sebagai Fitnah
  • Film Horor, Hantu Perempuan dan Mitos-mitos yang Mengikutinya
  • Hingga Saat Ini Perempuan Masih Dipandang sebagai Fitnah
  • Sudahkah Etis Jokes atau Humor Kepada Difabel? Sebuah Pandangan Islam

Komentar Terbaru

  • M. Khoirul Imamil M pada Amalan Muharram: Melampaui “Revenue” Individual
  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID