Mubadalah.id – Dalama relasi mubadalah yang perlu kita pahami bahwa relasi ini tidak melulu berdimensi gender.
Karena dalam relasi gender bisa kelas sosial antara pekerja dan majikan, atau antar-warga dalam sebuah negara-bangsa, seperti muslim dengan non-muslim. Serta, bisa juga ekologi antara manusia dan alam.
Pasalnya, pinsip utama dalam relasi gender adalah mengenai relasi yang bermartabat, adil, dan maslahah.
Bermartabat artinya kedua pihak memandang penting dan mulia untuk berelasi. Adil artinya menuntut yang memiliki kapasitas untuk memberdayakan yang kurang kapasitas.
Sedangkan maslahah artinya kedua belah pihak menjadi subjek untuk melakukan dan memperoleh kebaikan, yang menjadi dampak dari relasi tersebut.
Dalam berbagai kesempatan, fokus penjelasan saya mengenai relasi mubadalah adalah pada relasi gender, laki-laki dan perempuan.
Lalu, beberapa pertanyaan sering mengemuka: “Bisakah perspektif gender dipakai untuk relasi Muslim non Muslim?” Saya selalu menjawab: “Bisa”.
Selanjutnya, ada pertanyaan lain: “Bisakah metode Qira’ah Mubadalah digunakan untuk membaca teks-teks tentang relasi ini?” Saya sering menjawab: “Seharusnya bisa”.
Lalu, “Sudah adakah metode dan aplikasinya?” Nah, pertanyaan ini yang masih belum bisa saya jawab.
Biasanya, saya akan menantang: “Ya, ini seharusnya menjadi giliran Anda untuk menggunakan Mubadalah dalam membaca teks-teks terkait relasi muslim dan non-muslim.”
114 Teks Hadits
Untuk mengawali jawaban terkait hal ini, saya sudah mengumpulkan sekitar 114 teks hadits tentang perilaku kasih sayang Nabi Saw, termasuk dengan non-muslim, dalam kitab: “Nabiyyurrahmah”.
Kitab ini, menjadi satu kompilasi “Ar-Rasail al-Mufidah fi ar-Rahmah wa al-Adalah wa as-Sa’adah” (2021), yang berisi tiga kitab: “Nabiyyurrahmah”, “as-Sittin al-‘Adliyah”, dan “Manba’ussa’adah”.
Dalam ketiga kitab ini, prinsip rahmah, atau kasih sayang, adalah pondasi utama dari perspektif Mubadalah. Yaitu rahmatan lil alamin, atau menjadi kasih sayang, dan anugerah, bagi segenap kehidupan.
Semua orang, beragama apa pun, adalah manusia dan bagian dari kehidupan yang menjadi target prinsip rahmah Islam tersebut, rahmatan lil ‘alamin.
Dalam Musnad Ahmad, Nabi Saw menyatakan bahwa keimanan seseorang itu tergantung pada kecintaan pada semua orang (Musnad Ahmad, no. 14083).
Kecintaan pada semua manusia, dengan kewajiban memperlakukannya secara baik, adalah bagian dari keimanan (Musnad Ahmad, no. 22558). Serta dipandang sejajar dengan ibadah shalat, haji, dan zakat, yang bisa mengantar seseorang pada surga di akhirat (Musnad Ahmad, no. 16130).
Lebih tegas lagi, Nabi Saw memproklamasikan syahadat ketiga, setelah syahadat ketauhidan dan kerasulan, yaitu syahadat bahwa semua manusia adalah bersaudara (Sunan Ibn Majah, no. 1510 dan Musnad Ahmad, no. 19601).*
*Sumber: tulisan Faqihuddin Abdul Kodir, dalam buku Relasi Mubadalah Muslim Dengan Umat Berbeda Agama