Mubadalah.id – Cuitan ini lahir dari buah tulisan teman-teman yang menyuarakan difabel dalam multidimensi perspektif, khususnya di Mubadalah. Mulai yang membicarakan isu-isu sosial, kebijakan atau hukum, teologi, sastra, kemanusiaan, teknologi, dan lainnya yang tidak luput dari upaya membela hak-hak penyandang disabilitas.
Namun, yang jarang tersorot adalah eksistensi difabel dalam layar kaca dalam pergeseran teknologi. Misalkan, tanpa memandang umur, selagi manusia dan masih hidup sudah pasti sering nonton siaran TV Indosiar, SCTV, RCTI, dan sebagainya yang bergenre sad ending. Kelompok difabel 100% mendapat peran meskipun hanya satu scene.
Apa yang bisa kita perhatikan? sangat betul, peran disabilitas dimainkan oleh non-difabel dan kerap termarginalisasi. Lalu bagaimana representasi difabel dalam layar kaca ? inklusifkah atau ableisme merajalela?
Saat ini, layar kaca sudah beralih ke versi elite (mini), yaitu handphone, laptop, yang menghasilkan konten dan nge-trend dengan istilah media sosial. Pergeseran teknologi itu nihil pengaruhnya terhadap posisi disabilitas. Yang dari televisi merepresentasikan disabilitas sebagai seseorang yang mesti nir-nasib, begitupun ke konten-konten modern ini, posisi difabel menjadi perundingan materialistik.
Maka aku mulai bertanya-tanya: apakah semua itu benar-benar memberi ruang aman untuk penyandang disabilitas? Atau justru kita cuma sedang “menikmati” cerita mereka dari balik layar, tanpa benar-benar memahami kenyataan hidup mereka?
Ruang Aman atau Panggung Eksploitasi?
Dari satu sisi, media sosial memang memberikan platform langsung bagi difabel untuk menceritakan pengalaman mereka sendiri. Mereka nggak perlu lagi bergantung pada representasi yang dibuat orang lain. Kreator difabel bisa ngontrol narasi mereka sendiri.
Tapi di sisi lain, ekonomi perhatian di media sosial sering memaksa mereka untuk “perform” disability mereka. Mereka harus terus-menerus mengedukasi, menginspirasi, atau menghibur audiens. Padahal, difabel juga manusia biasa yang pengen posting foto makanan atau komplain tentang macet tanpa harus selalu jadi “inspirasi”.
Terlebih lagi kondisi disabilitas diperagakan oleh non-difabel, ah rasanya hanya berpikir kapitalis yang mengutamakan adsens dan rupiah. Jika demikian menjamur, maka corak industrinya kapitalis liberal yang hanya berusaha melakukan proses akumulasi modal dengan menggunakan manusia sebagai sumberdaya (human resource), investasi (human investment) atau sebagai modal (human capital).
Akhirnya, pemberian fasilitas kepada orang-orang yang memiliki berbedaan kondisi fisik semacam ini harus diperhitungkan dulu untung dan ruginya. Apalagi bagi yang beranggapan bahwa kehidupan ini adalah medan persaingan.
Jika memang akan memberi ruang aman, hendaknya memikirkan kembali rasa kemanusiaan yang berkeadilan dan memprioritaskan lingkungan inklusif nomor wahid.
Ableisme yang Berevolusi
Ableisme, diskriminasi terhadap difabel nggak hilang dengan adanya teknologi baru. Justru berevolusi jadi bentuk yang lebih halus tapi sama destruktifnya. Sekarang kita punya “digital ableism” , platform media sosial masih kurang aksesibel, algoritma yang bias, dan culture yang masih melihat difabel sebagai objek inspirasi.
Di level culture digital, seringkali konten-konten kekurangan fisik memperlihatkan komentar yang tidak ramah. Apalagi tentang algoritma hari ini. Pelik kita percaya kalo algoritma yang katanya netral itu , nyatanya enggak juga. Konten dari kreator disabilitas sering kalah saing karena publik anggap kurang “menarik” buat massa.
Atau justru, algoritma lebih sering menaikkan video yang eksploitatif: video menolong difabel dengan iringan musik dramatis, konten yang menjual rasa iba, atau yang menampilkan difabel sebagai sosok “inspiratif” yang layak dikasihani atau dipuji berlebihan. Ini adalah bentuk lain dari ableisme: ketika keberadaan difabel hanya dihargai kalau mereka bisa “menginspirasi” orang nondisabilitas.
Yang menyedihkan, ableisme digital sering kita sadari, mainnya halus, bergerak di bawah kesadaran otak. Sering kita anggap niat baik atau motivasi. Padahal jika kita telusuri, akar dari semua itu adalah anggapan bahwa penyandang disabilitas kurang pantas dan bersifat karitatif. Jadi, boleh saja bangga dengan kemajuan teknologi. Tapi juga harus memikirkan siapa yang tertinggal? Siapa yang terbungkam secara halus oleh budaya online yang tidak inklusif.
Jadi, Harus Bagaimana?
Tantangan sekarang adalah menciptakan audience yang lebih kritis dan empatetik. Kita perlu belajar menghargai konten difabel yang authentik, bukan cuma yang “inspirational”. Dukung kreator difabel yang berbagi pengalaman sehari-hari mereka, bukan cuma yang bikin kita nangis atau takjub.
Pergeseran dari layar kaca ke layar sentuh memang membawa perubahan dalam representasi difabel. Tapi perubahan ini belum sepenuhnya positif. Kita masih perlu kerja keras untuk menciptakan ekosistem media yang benar-benar inklusif dan empowering bagi difabel.
Yang paling penting adalah mengubah mindset kita sebagai audiens. Belajar menghargai difabel sebagai individu yang utuh, bukan objek inspirasi atau kasihan. Hanya dengan begitu, teknologi baru ini bisa jadi tool yang benar-benar membebaskan, bukan sekadar platform eksploitasi dengan wajah yang lebih modern.
Intinya, kita semua punya peran penting meskipun hanya secuil. Media sosial seperti panggung besar dan kita bisa pilih jadi penonton pasif, komentator sok tau, atau manusia yang akan menciptakan lingkungan inklusif dan adil. []