Mubadala.id – Ketika konten “anak perempuan adalah sainganmu sendiri” ramai dijadikan tren di TikTok, sebetulnya aku merasa risih. Bagaimana tidak, konten yang dianggap sebagai bahan lucu-lucuan ini sesungguhnya tengah melanggengkan persaingan antara perempuan. Dalam hal ini ibu dan anak.
Biasanya dalam konten-konten “anak perempuan adalah sainganmu sendiri” itu memperlihatkan bagaimana seorang ibu merasa cemburu pada kedekatan putrinya dengan ayahnya.
Seolah-olah, ketika anak perempuan dekat dengan ayahnya, posisi seorang ibu akan mulai tergeser dan terancam tidak mendapatkan perhatian seperti sebelum putrinya lahir. Alhasil banyak ibu yang merasa cemas dan takut tidak akan mendapatkan kasih sayang yang utuh dari suaminya.
Meski terlihat hanya sebagai candaan, sebetulnya konten-konten ini sedang memperlihatkan bagaimana patriarki telah berhasil menanamkan persaingan antar perempuan.
Sebab ada banyak ibu-ibu yang mengungkapkan bahwa sejak punya anak perempuan, ia tidak lagi dicintai secara ugal-ugalan oleh suaminya. Perhatiannya beralih ke putrinya. Alhasil ia merasa bahwa tanpa sadar ia memang melahirkan “saingannya” sendiri.
Sebagaimana yang Ester Lianawati sampaikan dalam bukunya yang berjudul “Akhir Pejantanan Dunia” bahwa persaingan antar perempuan paling pertama ternyata dibentuk dari persaingan ibu versus anak. Yang kemudian, hal itu berkembang menjadi persaingan antar perempuan dewasa.
Menurut Ester, anak perempuan memang mulanya akan selalu dekat dan berusaha mendapat cinta ibu. Sebab, baginya ibu adalah objek cinta yang pertama dan juga model feminitas yang ideal. Maka tidak heran jika banyak anak perempuan yang mencontoh perilaku ibunya.
Bahkan apapun yang ibu katakan, akan ia anggap sebagai sebuah kebenaran. Hal ini ia lakukan untuk mengintegrasikan karakteristik perempuan dalam diri anak. Sebab, ibu adalah perempuan, seperti dirinya.
Fase Phallic Anak Perempuan
Akan tetapi fase ini tidak selalu ada, dalam pertumbuhan anak akan ada fase phallic di usia tiga sampai empat tahun. Pada masa ini anak perempuan mulai mengembangkan ketertarikan pada ayah. Ia akan memalingkan objek cinta yang awalnya pada ibunya, jadi pada ayahnya.
Inilah persaingan pertama antara anak dan ibu. Anak akan melihat ibu sebagai saingan dalam mendapatkan perhatian ayah. Ia menginginkan ayah hanya untuknya, dan mendorong pergi ibunya.
Masa ini sebetulnya proses anak membangun identitasnya sebagai perempuan yang berbeda dari ibunya. Ia menginginkan hidupnya tumbuh menjadi diri sendiri, meski dalam perjalannya ia harus bersaing dengan ibunya dan beresiko kehilangan cinta ibu. Tetapi ini terjadi di wilayah ketidaksadaran anak.
Oleh karena itu, sebagai perempuan dewasa ibu harus membiarkan anak untuk mengkespresikan dirinya sendiri. Lalu secara perlahan dijelaskan tentang resiko atas pilihan-pilihannya dan mengizinkan anak untuk melakukan apa yang ia inginkan. Dengan catatan selagi masih dalam batas aman atau tidak membahayakan.
Hal ini bertujuan untuk memberi ruang anak untuk mengekpresikan apa yang ia inginkan. Yang pada akhirnya ia akan tumbuh menjadi perempuan yang jujur dan berani memutuskan pilihannya sendiri.
Dengan demikian ibu membiarkan “persaingan” ini tampil, yang selanjutkan mempermudah proses membentuk identitas anak yang mandiri dan tidak bergantung pada ibunya.
Persaingan antara Ibu dan Anak
Namun sayangnya tidak semua ibu mampu bersifat legowo seperti itu. Sebagian memilih untuk mendisiplinkan anak perempuannya supaya tidak lebih menarik perhatian suaminya. Ia menuntut putrinya untuk tetap mengejar cintanya, bukan cinta ayahnya.
Dalam masa ini, ibu akan menuntut anak perempuannya untuk selalu patuh, tidak menentang, tidak melawan keinginan serta perintah ibu dan juga tidak bersaing dengannya. Jika anak berontak, ibu akan mengeluarkan kata-kata pamungkas seperti:
“Anak tidak tahu diri, tidak tahu diuntung, tidak tahu disayang. Padahal ibu sudah berkorban melahirkan serta membesarkanmu”.
Sikap-sikap di atas sesungguhnya akan mempengaruhi proses tumbuh kembang anak perempuan. Anak perempuan yang takut dan penurut pada ibu cenderung punya harga diri rendah. Akibatnya, kecemburuan akan mewarnai relasinya dengan pasangan dan akan merasa takut ditinggalkan oleh perempuan-perempuan superior lainnya.
Dalam waktu yang sama, bisa juga anak perempuan yang dituntut untuk selalu patuh pada ibunya akan melihat perempuan lain sebagai ancaman. Ia takut di tempatkan pada posisi inferior seperti yang dilakukan oleh ibunya. Ia akan cenderung takut dan cemburu terhadap perempuan yang memiliki kelebihan darinya.
Oleh karena itu, wahai ibu-ibu di seluruh dunia jangan anggap anak perempuanmu sebagai sainganmu, tapi ajak dia untuk tumbuh menjadi perempuan yang mandiri, tidak bergantung pada siapapun dan melihat perempuan lain sebagai bestie.
Di sisi lain, biarkan ia membangun hubungan emosional yang kuat dengan ayahnya. Sebab, dia berhak mendapatkan cinta ayah dan ibunya. Ia harus tumbuh dengan dampingan kasih sayang yang tulus dan utuh dari keduanya. Itu lah bentuk cinta yang otentik antara orang tua dan anak. []