Mubadalah.id – Sepanjang Tahun 2021 lalu, Pemerintah Indonesia banyak menghasilkan kebijakan energi yang kontroversial. Di tengah desakan serius menangani krisis iklim dan mempercepat netral karbon, pemerintah justru menaikkan kuota produksi batubara hingga mencapai angka tertinggi sepanjang sejarah.
Rancangan Undang-Undang tentang Energi Baru dan Terbarukan (RUU EBT) molor dan terminologi energi baru juga menyusupkan solusi yang bias dalam skema transisi energi. Alih-alih fokus untuk mempercepat transformasi energi, pemerintah justru tertarik pada proyek gasifikasi energi batubara yang harganya mahal, tidak ramah lingkungan dan sarat akan kepentingan.
Gasifikasi batubara adalah energi (kotor) baru karena proyek gasifikasi batubara tidak sesuai dengan komitmen global untuk mengatasi laju persoalan krisis iklim. Pada 4 November 2021 lalu, pemerintah melalui Menteri Investasi Bahlil Lahadalia menandatangani MoU investasi gasifikasi batubara dengan Air Products and Chemical sebesar Rp.210 triliun.
Penandatanganan MoU ini terjadi tepat setelah kunjungan presiden pada acara KTT Perubahan Iklim COP26 di Glasgow, Skotlandia. Hal ini justru sangat bertolak belakang dengan komitmen pemerintah dalam COP26 dalam pertemuan terbatas dengan PM Inggris untuk segera bebas dari batubara pada Tahun 2040.
Gasifikasi batubara bertujuan untuk mengubah batubara padat menjadi bahan bakar cair methanol dan dimetil eter (DME) yang diklaim pemerintah akan menggantikan Gas Petroleum Cair (LPG) impor. Infrastruktur gasifikasi batubara akan dibangun di beberapa titik di Indonesia khususnya di Pulau Sumatera dan Kalimantan.
Dalam proyek ini Air Products and Chemical juga telah bekerjasama dengan beberapa perusahaan batubara besar lainnya. Pemerintah kembali membuat keputusan yang mengorbankan alam demi kepentingan industri batubara. Skenario meninggalkan batubara dan berfokus pada transformasi energi terbarukan yang berkelanjutan, tetapi justru menandatangani investasi pembangunan infrastruktur gasifikasi batubara yang diklaim sebagai upaya peningkatan nilai tambah batubara.
Gasifikasi batubara ini, akan mendorong eksploitasi secara masif dan proses pengelohannya pun juga sarat emisi. Proyek ini akan menjadi ancaman baru bagi keberlangsungan masyarakat, lingkungan dan tentu bagi upaya untuk mengatasi persoalan krisis iklim. Melabeli gasifikasi batubara sebagai proyek energi baru yang sejalan dengan komitmen iklim adalah guyonan belaka. Karena sebenarnya batubara adalah industri yang kotor, eksploitatif dan tidak solutif.
Ketika masyarakat semakin mendesak untuk menghentikan pengoperasian Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU), para pemegang kepentingan mencari cara lain untuk memperpanjang umur batubara. Sudah terlalu banyak hutan ditebang, bukit dikeruk dan pemukiman masyarakat digusur demi industri ini.
Banyak peristiwa cuaca ekstrim pada tahun sebelumnya dan hingga kini dikaitkan dengan perubahan serta krisis iklim yang disebabkan oleh manusia. Bencana itu telah datang, manusia yang telah mengundangnya. Salah satu dampak dari krisis iklim adalah cuaca ekstrim. Banjir, longsor, kebakaran hutan, hingga badai adalah beberapa ancaman yang muncul akibat kenaikan suhu bumi dan polusi.
Krisis iklim sudah bukan lagi di depan mata, kita sedang menghadapinya. Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) mengeluarkan laporan terbarunya pada 28 Februari 2022 lalu. Laporan tersebut kembali mengingatkan kita akan pentingnya untuk bergerak cepat dalam menahan laju krisis iklim dan kenaikan suhu bumi.
Meski tren global telah masif meninggalkan lini bisnis energi kotor batubara karena ancaman nyata krisis iklim, salah satu perusahaan raksasa di negara ini justru merambah bisnis batubara dengan mendirikan sebuah korporasi baru. Ini akan berbahaya karena akan memperparah krisis iklim sehingga kita akan sulit untuk transisi pada energi terbarukan.
Bank tempat kita menabung untuk masa depan ternyata masih memiliki andil dalam krisis iklim. Salah satu bank terbesar kepercayaan jutaan rakyat Indonesia, ternyata masih mendanai proyek PLTU dan batubara yang berdampak serius pada laju persoalan krisis iklim. Awal Maret 2022 ini bank tersebut akan mengadakan Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan. Rasanya tidak sudi bila uang masyarakat diputar untuk mendanai proyek-proyek perusakan iklim.
Penghentian pendanaan sektor energi batubara telah menjadi tren global, tetapi hingga saat ini belum ada bank di Indonesia yang menyatakan secara terbuka untuk segera mengikutinya. Pada saat yang sama, mereka bersembunyi di balik dalih bahwa telah memberikan dana untuk industri energi yang berkelanjutan.
Sayangnya jumlah pendanaan sangat kecil dari pembiayaan segmen corporate and commercial banking. Pendanaan untuk industri energi berkelanjutan tidak sebanding dengan porsi pendanaan yang besar bagi industri batubara. Tercatat dalam laporan Urgewald Tahun 2020, 89 triliun rupiah dikeluarkan oleh 6 bank di Indonesia sejak Tahun 2008 lalu untuk mendanai industri batubara.
Masyarakat sipil khususnya peran pemuda dan mahasiswa harus segera mendesak komitmen lembaga perbankan untuk coal phase-out atau keluar dari kepentingan bisnis batubara demi menekan laju krisis iklim. Sektor perbankan harus menghentikan pendanaaan PLTU dan pertambangan batubara.
Selain ruang hidup, kesehatan warganegara juga direnggut oleh industri batubara. Selama pemerintah mengizinkan PLTU beroperasi maka selama itu pula pemerintah mengorbankan kesehatan warga yang hidup di sekitarnya.
Mereka yang tinggal di PLTU harus mengalami kerusakan pada paru-paru, kulit, dan bagian tubuh lainnya. Tidak terkecuali masyarakat di beberapa provinsi Pulau Sumatera yang perjuangannya terekam dalam film documenter “BaraDwipa” karya Watchdoc Documentary yang ditayangkan perdana di kanal YouTube pada 26 November 2021 lalu. Sulit rasanya untuk merayakan hari kesehatan nasional bila negara masih mengabaikan hak warganegaranya akibat energi kotor batubara.
Pada akhir tulisan ini saya ingin menyampaikan bahwa kita tidak bisa lagi bermain-main dengan energi kotor di tengah krisis iklim. Sudah terlalu banyak warganegara yang hak akan kehidupannya telah dirampas oleh asap PLTU dan lubang tambang batubara. Segera melakukan transformasi energi yang berkeadilan menjadi suatu keharusan demi keberlangsungan hidup anak-anak Indonesia.
Keadilan iklim harga mati, bukan kita yang mati. Pengalaman dan suara perempuan bersama kelompok rentan lain harus menjadi poros penting dalam setiap kebijakan energi. Namun di sektor energi, perempuan masih berjuang melawan kekerasan berbasis gender dan kebijakan hulu-hilir yang meminggirkannya. Hingga saat ini, perempuan mengalami beban berganda atas dampak buruk proyek energi kotor batubara yang berdiri di wilayah mereka.
Mereka tidak diam, mereka bersuara dan melawan. Mari kita dorong pemerintah menggunakan energi bersih terbarukan yang berkelanjutan untuk meningkatkan kualitas hidup perempuan. Selamat Hari Perempuan Internasional 2022. []