Mubadalah.id – Mengapa Disabilitas dan kemiskinan adalah siklus setan? Kata-kata itu selalu terngiang-ngiang di kepala penulis setelah mengikuti Webinar Inklusi Disabilitas dalam Dunia Kerja yang narasumbernya Bahrul Fuad alias Cak Fu (05/05/2025).
Kemiskinan yang melanda penyandang disabilitas lebih berat kehidupannya dibanding kehidupan non-disabilitas. Pengeluaran keuangan mereka pun lebih tinggi.
Difabel fisik, contohnya, mempunyai sepeda motor modifikasi. Biaya mem dan membuat motor tidak murah. Belum lagi jika pemerintah menganggap dia keluarga berada karena memiliki sepeda motor sedangkan kendaraannya sebagai kebutuhan primer. Bagi mereka teknologi asistif tersebut adalah kaki untuk penunjang mobilitas.
Kaum eksternal selalu berpikir negatif dengan bentuk fisik dan kemampuan intelektual difabel. Bahkan pemerintah kurang memenuhi bantuan kebutuhan dasar mereka. Akibatnya, akses-akses untuk meningkatkan pengembangan diri mereka terhambat.
Mengutip dari kemensos bahwa angka kemiskinan penyandang disabilitas mencapai 22,5 juta sementara populasi di seluruh dunia 15 persen dari satu miliar orang. Angka kemiskinan pada disabilitas yang berjibun sebab jumlah pekerja di sektor formal masih sedikit dan jenjang pendidikan rendah.
“Disabilitas yang lulus SD persentasenya lebih tinggi daripada lulusan SMA. SD hanya 65.5 persen sementara SMA 28,4 persen saja. Lantas bagaimana mereka bisa mengisi posisi pekerjaan perusahaan swasta maupun BUMN?” Komentar Cak Fu.
Kerentanan kemiskinan dan disabilitas tidak hanya soal finansial. Faktor-faktor lain yang mempengaruhi antara lain: Eksklusi sosial (marjinalisasi dan diskriminasi), hambatan atas akses fisik dan mobilitas, keterjangkauan dan kualitas latar belakang pendidikan, penilaian status sosial, serta kebutuhan khusus difabel tidak terpenuhi.
Siklus Disabilitas dan Kemiskinan
Dalam webinar inklusi bulan Mei lalu, Cak Fu menjelaskan bagaimana siklus disabilitas dan kemiskinan menjerat kaum disabilitas. Mata rantai disabilitas dengan kemiskinan saling terkait bak lingkaran setan.
Hubungan timbal balik siklus tersebut saling memperkuat satu sama lain. Kondisi disabilitas sangat rentan terhadap kemiskinan, dan kemiskinan meningkatkan resiko disabilitas sehingga mempengaruhi daya kesehatan tubuh yang buruk.
Kerentanan itu terjadi karena sikap masyarakat dan pemerintah menciptakan konstruksi kemiskinan difabel. Seringkali, mereka masih mendapatkan stigma, diskriminasi, dan eksklusi sosial. Perilaku tersebut menghambat disabilitas berpeluang mencapai kehidupan mandiri, sejahtera, dan setara.
Hal ini mempengaruhi hak-hak ekonomi, pendidikan, sipil, politik, sosial, kemanusiaan, serta budaya bagi disabilitas. Pada hak ekonomi, masih banyak difabilitas mengalami diskriminasi pada pekerjaan. Beberapa perusahaan masih menolak lamaran pekerjaan karena hanya melirik kondisi fisik. Kapabilitas tidak dianggap.
Arsitektur lokasi kerja belum memadai yang otomatis difabel mundur sebelum mendaftar pekerjaan. Misalnya tidak ada ramp yang memudahkan difabel kursi roda untuk menjangkau tiap sudut ruangan.
Pada aspek budaya mereka belum mendapatkan ruang inklusi. Saat konser, para Teman Tuli akan sangat kesulitan menikmati indahnya suara musik. Acara itu tidak menyediakan bahasa isyarat. Bukankah mereka berhak menikmati kesenangan dunia?
Keterlibatan mereka di seni peran tergolong sedikit. Non-difabel lah yang justru memerankan sosok disabilitas, seperti film Aku Jati, Aku Asperger. Tokoh utamanya bukan penyandang disabilitas. Kenapa casting director tidak melibatkan asperger memerankan karakternya sendiri?
Di sisi lain, kausalitas disabilitas dan kemiskinan terjadi karena pembuat kebijakan tidak aware terhadap kehidupan difabel. Akibatnya program dan bantuan sosial tidak tersalurkan dengan baik. Sebaiknya pemerintah daerah atau pusat mengajak disabilitas untuk terlibat aktif dalam pembuatan kebijakan.
Di sisi lain, pemerintah dan beberapa masyarakat masih mengabaikan hak-hak disabilitas sebagai manusia. Hak bersosialisasi, hak mengikuti program pemerintah, hak mengenyam pendidikan sampai jenjang lebih tinggi, serta hak memperoleh pekerjaan dengan upah yang layak dan sesuai kemampuan disabilitas.
Penyandang disabilitas hanya ingin dianggap sebagai manusia pada umumnya. Kaum non difabel menghormati, memperlakukan secara adil, dan memberikan hidup bermartabat kepada disabilitas.
Ikhtiar Memutus Mata Rantai Kemiskinan dan Disabilitas.
Dalam buku Hidup dalam Kerentanan: Narasi Kecil keluarga Difabel, Suharto, S.S., M.A., pendiri Sasana Inklusi dan Gerakan Advokasi (SIGAB) di tahun 2003, menuliskan upaya strategis mengentas kerentanan kemiskinan pada disabilitas.
Meningkatkan kualitas diri difabel dari aspek pendidikan. Tingkat pendidikan mempengaruhi mobilitas berkarier, walaupun sisi ini tidak seratus persen membantu difabel mendapat pekerjaan yang layak.
Dengan pendidikan, cara berpikir disabilitas terbentuk. Mereka tidak hanya mendapatkan pengetahuan namun mereka mengetahui cara berinteraksi, melihat sebuah problem kehidupan, memandang kehidupan, bertahan hidup, dan menentukan pilihan hidup.
Pada sektor lapangan pekerjaan, pemerintah dan stakeholder mengadvokasi perusahaan bagaimana berinteraksi dengan difabilitas. Mendesain akses jalan atau ruang yang inklusi. Memodifikasi alat kerja sesuai kebutuhan difabel. Tambahannya, mendampingi pelatihan vokasi sebagai bekal siap kerja di kantor atau membuka usaha secara mandiri.
Mengedukasi mengenai keadaan disabilitas. Pembuat kebijakan dari level makro ke mikro lebih concern terhadap kondisi mereka. Terutama level mikro (kepala desa, RT, dan RW) yang berperan besar dalam menentukan eligible difabel untuk menerima jaminan dan bantuan sosial.
Apakah skema bantuan sosial dan jaminan sosial sudah efektif? Ironisnya regulasi mikro berseberangan dengan yang makro (pemerintah pusat). Dana bantuan pemerintah belum tersampaikan tepat sasaran, misal: keluarga mampu tetap memperoleh PKH sementara keluarga tidak mampu malah tidak menerima bantuan manfaat itu.
Pelibatan Disabilitas dalam Pembangunan Lintas Sektoral
Tidak hanya itu, menurut perangkat desa disabilitas dengan ekonomi sulit yang keluarga besarnya terpandang dan kaya tidak layak mendapat bansos. Justru mereka bagian dari program kesejahteraan pemerintah karena yang tidak mampu adalah disabilitas bukan keluarga besarnya.
Langkah selanjutnya, melibatkan difabel untuk mengutarakan aspirasi-aspirasi terkait pembangunan lintas sektoral, seperti: ekonomi, sosial, politik, budaya, dan kemanusiaan. Tujuannya untuk mewujudkan kesetaraan warga difabel di tengah kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Melibatkan difabilitas di sosio politik di mana mereka dapat membantu dalam pembuatan kebijakan. Harapannya skema bantuan dan jaminan sosial tepat sasaran.
Selain aspek-aspek itu, memutus mata rantai kemiskinan dan disabilitas dengan cara memandang individu. Cak Fu menjelaskan fondasi utama untuk menjunjung inklusi difabel ialah mengubah mindset dari eksternal. Artinya, memperbaiki perspektif, sikap, dan kesadaran non difabel terhadap difabel. Keterbatasan seseorang adalah kehendak Allah.
“Pandanglah disabilitas sebagai entitas individu di mana mereka juga mempunyai hak yang sama-sama menikmati kehidupan di dunia dan orang-orang tidak boleh menghilangkan haknya,” pesan Cak Fu bagaimana seharusnya non-difabel memandang Difabel.
Andaikan ikhtiar-ikhtiar di atas terimplementasikan, disabilitas dan kemiskinan adalah siklus setan hanyalah sebuah pepatah belaka. []