• Login
  • Register
Jumat, 3 Februari 2023
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Publik

Disabilitas dan Merawat Keberagamaan

Fatikha Yuliana Fatikha Yuliana
23/12/2019
in Publik
0
Ilustrasi: RMOL

Ilustrasi: RMOL

34
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Daftar Isi

  • Baca Juga:
  • Makna Hijab Menurut Para Ahli
  • 5 Penyebab Su’ul Khatimah yang Dilalaikan
  • Kisah Saat Perempuan Berbicara dan Berpendapat di Depan Nabi Saw
  • Gaya Hidup Minimalis Dimulai dari Meminimalisir Pakaian

Baca Juga:

Makna Hijab Menurut Para Ahli

5 Penyebab Su’ul Khatimah yang Dilalaikan

Kisah Saat Perempuan Berbicara dan Berpendapat di Depan Nabi Saw

Gaya Hidup Minimalis Dimulai dari Meminimalisir Pakaian

Penyandang disabilitas adalah kelompok yang kerap mendapat stigma negatif. Keterbatasan yang dimiliki membuat mereka dijauhi oleh masyarakat bahkan keluarganya sendiri. Penyandang disabilitas sering mendapat stigma atau stereotip sebagai manusia kutukan. Cara pandang tersebut yang menempatkan penyandang disabilitas sebagai liyan.

Keterbatasan yang melekat pada diri difabel dianggap sebagai hambatan untuk melakukan aktivitas serupa dengan mereka yang tanpa disabilitas. Dampak lanjut dari pemikiran tersebut berujung pada kebijakan, peraturan hingga fasilitas publik yang tidak aksesibel. Angka pemenuhan hak penyandang disabilitas juga masih minim.

Indonesia diharapkan akan menjadi negara inklusi pada tahun 2030. Hal ini dikarenakan penerapan undang-undang disabilitas telah diterapkan di segala lini kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun, tidaklah mudah jalan menuju ke arah sana bahkan akan sangat terjal melihat hal-hal mendasar seperti pemenuhan kebutuhan dan hak disabilitas belum terlaksana.

Undang-undang nomor 8 tahun 2016 tentang penyandang disabilitas menyatakan bahwa setiap pembangunan dan kebijakan harus memperhatikan aksesibilitas bagi difabel. Tanpa ada fasilitas tersebut, agaknya mewujudkan Indonesia inklusi masih jauh panggang dari api.

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah mengadopsi Konvensi tentang Hak-Hak Penyandang Disabilitas (Convention on The Rights of Persons With Disabilities) pada 2006. Konvensi ini yang kemudian diratifikasi oleh pemerintah kita dalam undang-undang nomor 19 tahun 2011. Meski begitu, komitmen pemerintah pusat maupun daerah untuk menerapkan amanat undang-undang masih rendah.

Sejalan dengan itu, tantangan lain yang harus dihadapi adalah pelibatan penyandang disabilitas dalam pengambilan kebijakan. Berkat keterbatasan yang dimiliki, penyandang disabilitas kerap dianggap tidak memiliki kemampuan untuk merumuskan suatu kebijakan. Dampaknya, sejauh ini mereka hanya sebagai objek kebijakan. Padahal banyak di antara mereka yang memiliki kompetensi mumpuni.

Akan tetapi, inklusi tidak hanya pada tahap pelibatan penyandang disabilitas dalam forum pengambilan kebijakan, tapi juga mempertimbangkan dan mendengarkan suara mereka. Praktik yang sering terjadi adalah penyandang disabilitas dilibatkan hanya untuk memenuhi kuorum, tapi suara dan aspirasi mereka dikesampingkan bahkan tidak didengar. Melalui undang-undang nomor 8 tahun 2016 ini semua pihak harus berlomba-lomba mewujudkan kebijakan yang inklusif.

Jika sebelumnya hak disabilitas kerap terpinggirkan karena belum ada pengikat, kini melalui undang-undang disabilitas tidak ada alasan bagi semua lembaga pemerintah untuk menomorduakan hak yang seharusnya menjadi hak penyandang disabilitas.

Indonesia sebagai negara dengan masyarakat yang beragam, diperlukan pendekatan multikulturalisme. Tidak saja pluralitas yang mengacu pada perbedaan ras, gender, dan etnis. Tetapi multikulturalisme mengacu pada sikap etis yang mengarah penghargaan terhadap pandangan hidup dan kebudayaan yang berbeda sekaligus mendorong kerjasama dan dialog produktif antar elemen yang berbeda dan beragam.

Artinya, pendekatan yang digunakan bukan lagi pluralisme yang menekankan kesetaraan dari pelbagai perbedaan tetapi pada bagaimana mengakui entitas yang berbeda tersebut. Tujuannya adalah multikulturalisme menyajikan sebuah kondisi yang lebih humanis.

Samuel Huntington dalam artikelnya, “The Changing Security Environment and American National Interest” menulis, The war of kings were over; the wars of people had begun. Agaknya tak berlebihan untuk mengakui kebenaran tulisan Huntington jika melihat fenomena belakangan ini terkait konflik dan kekerasan agama yang lahir dan mewujud dari kelompok masyarakat dan bukan dari penguasa.

Masih ingat dengan video yang menampilkan seorang disabilitas tunanetra yang menyerukan kekhalifahan di Kazakhstan?

Ya, video tersebut dirilis setelah presiden Amerika Serikat dan presiden Kazakhstan bertemu untuk membahas kemitraan kedua negara dalam pertahanan dan keamanan. Kabarnya, militan dari kelompok ekstremis tidak senang melihat kedua negara saling bekerjasama.

Dalam video tersebut jelas menegaskan kepada seluruh jihadis bahwa kekurangan fisik bukan alasan untuk tidak berperang.

Kemajuan globalisasi dan modernisasi secara aktif turut berperan menyumbang persoalan intoleransi dan ekstremisme. Demikian itu karena pengaruh dari teknologi seperti media sosial. Tidak jarang media massa baik cetak maupun elektronik misalnya, dalam cara penggunaan bahasa dan tayangan, mengirim berita yang ambigu kepada publik. Sayangnya, berita tersebut diakses secara instan melalui perangkat komunikasi canggih.

Dalam konteks ini, media juga membantu penyebaran ujaran kebencian di dalam ranah publik. Mengatasi hal tersebut, pemerintah terutama Komisi Penyiaran Indonesia, dengan fungsinya sebagai monitoring, hendaknya mengevaluasi materi penyiaran dalam kaitannya dengan isu intoleransi.

Upaya mengatasi isu intoleransi keberagamaan ialah dengan membangun peran lintas sektor antara lain penguatan nasionalisme negara yang melibatkan semua lini masyarakat termasuk penyandang disabilitas, yakni mengelola keharmonisan diantara pemeluk agama, dan bukan perbedaan agama itu sendiri.

Mengedukasi para stakeholder dengan informasi yang mereka butuhkan untuk menjadi seorang warga negara yang sadar dan mendedikasikan dirinya bagi keamanan publik. Memanfaatkan peran istimewa dari semua stakeholder, seperti pemimpin keagamaan, pejabat publik, penegak hukum, pendidik dan tokoh masyarakat, dalam rangka mempromosikan kebenaran, respek, dan interaksi sosial yang positif. 

Dialog akademis antara agama dan negara juga sangat penting. Salah satu jalan keluar yang sudah selalu diupayakan dan harus terus menerus dilakukan adalah melibatkan agama di dalam diskursus ilmiah dengan menggunakan argumen-argumen rasional. 

Serta studi legislasi. Pentingnya studi legislasi bagi para legislator mengingat banyaknya produk undang-undang yang dihasilkan tidak luput dari pelbagai jenis bias dan tidak jarang menimbulkan aksi intoleransi dan ekstremisme di kalangan masyarakat.[] 

Fatikha Yuliana

Fatikha Yuliana

Fatikha Yuliana, terlahir di Indramayu. Alumni Ponpes Putri Al-Istiqomah Buntet Pesantren Cirebon. Berkuliah di Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) Cirebon. Jatuh cinta pada kopi dan pantai.

Terkait Posts

Satu Abad NU

Satu Abad NU:  NU dan Kebangkitan Kaum Perempuan 

3 Februari 2023
Pengelolaan Sampah

Bagaimana Cara Melakukan Pengelolaan Sampah di Pengungsian?

31 Januari 2023
Aborsi Korban Perkosaan

Ulama Bolehkan Aborsi Korban Perkosaan

31 Januari 2023
Pemakaman Muslim Indonesia

5 Konsep Pemakaman Muslim Indonesia dan Kontribusinya dalam Pelestarian Lingkungan Hidup

30 Januari 2023
Ulama Perempuan

Ulama Perempuan dan Gerak Kesetaraan Antar-umat Beragama

30 Januari 2023
Tradisi Tedhak Siten

Menggali Makna Tradisi Tedhak Siten, Benarkah Tidak Islami?

29 Januari 2023
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Satu Abad NU

    Satu Abad NU:  NU dan Kebangkitan Kaum Perempuan 

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Nabi Saw Menyambut Ceria Kehadiran Anak Perempuan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kisah Anak Perempuan yang Nabi Muhammad Saw Hormati

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kisah Saat Nabi Khidr As Menemui Pelayan Perempuan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kritik Ibn Hazm aẓ-Ẓahiri Terhadap Ulama yang Membolehkan Pernikahan Tanpa Wali

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Makna Hijab Menurut Para Ahli
  • 5 Penyebab Su’ul Khatimah yang Dilalaikan
  • Kisah Saat Perempuan Berbicara dan Berpendapat di Depan Nabi Saw
  • Gaya Hidup Minimalis Dimulai dari Meminimalisir Pakaian
  • Kisah Anak Perempuan yang Nabi Muhammad Saw Hormati

Komentar Terbaru

  • Refleksi Menulis: Upaya Pembebasan Diri Menciptakan Keadilan pada Cara Paling Sederhana Meneladani Gus Dur: Menulis dan Menyukai Sepakbola
  • 5 Konsep Pemakaman Muslim Indonesia pada Cerita Singkat Kartini Kendeng dan Pelestarian Lingkungan
  • Ulama Perempuan dan Gerak Kesetaraan Antar-umat Beragama pada Relasi Mubadalah: Muslim dengan Umat Berbeda Agama Part I
  • Urgensi Pencegahan Ekstrimisme Budaya Momshaming - Mubadalah pada RAN PE dan Penanggulangan Ekstrimisme di Masa Pandemi
  • Antara Ungkapan Perancis La Femme Fatale dan Mubadalah - Mubadalah pada Dialog Filsafat: Al-Makmun dan Aristoteles
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist