Mubadalah. id – “Aneh, mengapa perempuan di larang melakukan sai (lari-lari kecil), padahal perempuan adalah simbol dalam ritual itu”. Begitulah gumam Ustad Imam Nakhe’I ketika kami mengunjungi beliau setelah menunaikan umrahnya.
Sembari mengulas aturan-aturan fikih yang membedakan perempuan dan laki-laki saat sai, Pak Nake’I juga mengisahkan sosok perempuan di balik ritual sa’i tersebut; Siti Hajar. Perempuan yang menjadi ikon dalam dunia muslim.
Hajar, namanya. Kala itu ia dan anaknya yang masih bayi, Ismail, tinggal di gurun yang tandus, tiada air dan tumbuhan beserta tetangga. Ibrahim sebagai sosok ayah dan suami meninggalkan keduanya dengan penuh kepercayaan pada Tuhannya. Tak lama dari perpisahan dengan sosok Ibrahim, Ismail merasa haus yang teramat membuat Hajar seolah ikut merasakannya.
Kilas Kegigihan Siti Hajar dan Perantara Tuhan Meruntuhkan Pandangan Dominan
Ibnu Atsir lanjut menuliskan, lantas sosok perempuan itu wara-wiri menuju bukit Shafa dan Marwa berharap seteguk air ia dapatkan yang menghilangkan dahaga Ismail. Sayang, kawasan itu benar-benar tandus. Dan Hajar terpaksa kembali tanpa membawa air yang ia harapkan. Meski demikian, Hajar tetap berkelintaran antara dua gunung itu tanpa putus asa hingga 7 kali banyaknya (al-Kamil fi al-Tarikh, 1/93).
Akhirnya, sumber mata air memancar tepat setelah kaki Ismali menyentuh tanah. Hajarpun bergembira ria dan langsung menutup dengan tangannya guna meminumkan kepada Ismail. Airnya, sekarang masyhur dengan sebutan zam-zam dan umat Islam sedunia berhasrat menikmatinya. Alquran mengabadikan peristiwa perjuangan Hajar itu dalam rangkaian haji yang dikenal dengan ritual Sai.
Makna ritual sai dengan sosok Hajar sebagai tokohnya menggambarkan akan perjuangan perempuan yang masih dipandang rendah di zaman itu, apa lagi Hajar dari kalangan budak, dan secara umum perempuan dianggap tidak mandiri. Bergantung kepada laki-laki dalam memenuhi kebutuhan hidup.
Tapi Tuhan meruntuhkan pandangan dominan itu melalui perantara Hajar – perempuan dari kalangan budak dan mampu survive tanpa campur tangan lelaki secara langsung. Kegigihan Hajar saat bolak-balik menyusuri gunung Shafa dan Marwah. Ini lah perempuan tangguh yang meruntuhkan pandangan diskriminasi terhadap perempuan di zamannya. Untuk potret sejarah ini, Hajar mendapat sanjungan dari cucu-cicitnya Nabi Muhammad yang bersabda.
فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَرْحَمُهَا اللَّهُ لَوْ تَرَكَتْهَا لَكَانَتْ عَيْنًا سَائِحَةً
Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Semoga Allah merahmati keduanya. Seandainya ia (Hajar) membiarkannya, tentulah itu akan menjadi mata air meluas yang akan terus mengalir hingga hari kiamat.”
Kilas Siti Aisyah dan Kecerdasannya Memahami Alquran
Di waktu dan objek yang lain, Siti Aisyah turut serta mendobrak pandangan-pandangan yang menomorduakan perempuan, utamanya dalam soal keilmuan. Berkenaan dengan Sai, pernah suatu ketika Siti Aisyah mengoreksi pemahaman ponakan lelakinya ‘Urwah bin Zubair terkait kewajiban sai dalam haji.
Dalam Sahih Bukhari dan Syarah al-Qashthalani menyebutkan bahwa suatu waktu ‘Urwah memahami ayat Alquran (QS. Al-Baqarah: 158) dengan mengatakan bahwa sai tidak wajib – ritual yang diperankan oleh sosok Hajar. ‘Urwah pun konfirmasi kepada Siti Aisyah. (Syrah al-Qashthalani, 3/186).
Sontak Siti Aisyah kaget mendengarnya. Beliaupun mengajari dan mengajukan argumentasi serta cara-cara memahami ayat Alquran terkait sai yang mana dalam Islam diwajibkan kala menunaikan haji dan umrah. Terakhir, Siti Aisyah juga mengutip praktik Rasulullah yang mengerjakan sai tersebut. Dengan demikian, sai sebagaimana pemahaman siti Aisah adalah wajib, tidak sebagaimana sangkaan ‘Urwah sebelumnya hanya boleh.
Dua Sosok Perempuan dalam Ritual Sai
Inilah dua sosok perempuan tangguh dan hebat di balik ritual sa’i di zaman yang berbeda. Siti Aisyah dan Siti Hajar. Sayang hari ini sebagaimana sikap pak Nakhe’i yang menyesalkan keputusan fikih yang melarang perempuan melakukan ritual sai dalam arti lari-lari kecil.
Imam al-Mawardi menuliskan 3 perbedaan antara laki-laki dan perempuan saat melakukan ritual sa’i. Pertama, perempuan hendaknya melakukan sai dengan berjalan normal sepanjang perjalanan dari Shafa ke Marwah. Artinya, perempuan tersebut tidak boleh melakukan jalan cepat atau lari-lari kecil. Berbeda dengan lelaki yang mana dianjurkan melakukan sai bahkan raml (lari-lari kecil dengan cepat).
Kedua, Perempuan tidak boleh melakukan sai dengan cara berkendara, melainkan jalan kaki. Sementara laki-laki boleh melakukan sai baik jalan kaki maupun berkendara.
Ketiga, perempuan yang melakukan sai dilarang naik gunung Shafa dan Marwah seukuran berdirinya seseorang sebagaimana Rasulullah mencontohkan. Berbeda dengan laki-laki yang bahkan disunahkan naik ke gunung Shafa dan Marwah.
“Padahal justru harusnya perempuan lebih menjiwai dengan ritual tersebut karena sosok perempuanlah yang menjadi ikon di baliknya”, tutup Pak Nakhei. Baik siti Hajar maupun siti Aisyah.
Apakah pembedaan antara laki-laki dan perempuan saat Sai bersifat saklek permanen?
Perbedaan sebagaimana dikemukakan Imam al-Mawardi sifatnya teknis dan ijtihadi yang tidak berlaku saklek dan permanen. Yang prinsip adalah sai berlaku pada laki-laki dan perempuan, dan dilaksanakan dengan antusias aman dan nyaman. Misalnya, dalam persoalan perempuan saat melakukan Sai tidak boleh berlari kecil atau jalan cepat tidak berlaku mutlak.
Menurut suatu pendapat bila perempuan melakukan sai saat malam di mana notabenenya tidak ada orang, maka ia sama dengan laki-laki yaitu boleh lari-lari kecil, bahkan sunah sebagaimana Imam Nawawi menulis dalam kitab Al-Īdāh Fi Manasik al-Hajj wa al-Umrah (260).
Dengan demikian, maka perbedaan tersebut sesungguhnga terkait dengan situasi dan kondisi (kenyamanan dan keselamatan) orang yang haji sehingga boleh saja perempuan sai dengan menggunakan kendaraan bila memungkinkan dan tak mengancam dirinya, pun laki-laki. Allahu A’lam. []