Mubadalah.id – Eco-Peace Interreligious Learning on Environment 2024 merupakan kegiatan pembelajaran menggali ajaran-ajaran agama yang dapat mendorong peserta untuk menjaga dan merawat bumi, serta bagaimana nilai-nilai spiritual dapat diterapkan oleh generasi muda terutama dalam menghadapi krisis lingkungan.
Kegiatan Eco-Peace Interreligious Learning on Environment 2024 terbagi menjadi tiga kegiatan utama. Yaitu Eco-Peace Workshop for Youth Leaders, Eco-Peace Writing and Content Creative, dan Eco-Peace Field Trip. Pada akhir kegiatan, peserta akan mendapatkan kesempatan untuk merancang proyek sosial untuk lingkungan.
Tiga rancangan proposal social project terbaik akan mendapatkan dukungan pendanaan. Kegiatan ini terlaksana pada 24-26 September 2024 di American Corner UIN Walisongo Semarang dan Kampoeng Percik Salatiga.
Pada hari pertama, kegiatan Eco-Peace Workshop for Youth Leaders mengajak peserta untuk mendalami hubungan antara agama dan lingkungan hidup melalui perspektif tiga agama besar di Asia: Buddha, Hindu, dan Konghucu.
Peserta juga diajak untuk memahami bagaimana hubungan antara agama dan alam seringkali menjadi landasan moral bagi manusia untuk melestarikan lingkungan. Dalam perspektif agama Buddha, Hindu, dan Konghucu, terdapat ajaran dasar yang mengaitkan manusia dengan alam secara spiritual.
Harmoni antara manusia dan lingkungan yang tercermin dalam ketiga agama ini menjadi sumber inspirasi bagi para youth leaders (pemimpin muda) dalam men-design dan merancang masa depan yang dapat kita pertanggunggjawabkan dan sustainable.
Perspektif Agama Buddha tentang Lingkungan
Ibu Kustiani, Phd menjadi narasumber pertama dalam menjelaskan bagaimana Agama Buddha dalam memandang lingkungan. Beliau merupakan akademisi di Sekolah Tinggi Agama Buddha Syailendra Semarang.
Dalam agama Buddha, terdapat pandangan mendalam mengenail keterkaitan antara semua makhluk hidup. Salah satu konsep penting yang ia sorot adalah Buddhist Practices for Monastic: 227 Sila yaitu tidak boleh membuang air kecil dan besar ke sungai, tidak boleh meludah ke sungai, dan tidak boleh menebang pohon.
Konsep lainnya yang serupa adalah konsep Buddhist Practices for Lay People: 5 sila, yaitu: Pertama, saya berjanji tidak menyakiti dan membunuh makhluk hidup. Kedua, saya berjanji tidak mengambil barang yang tidak diberikan.
Ketiga, saya berjanji tidak melakukan perbuatan asusila. Keempat, saya berjanji tidak melakukan ucapan yang tidak benar. Kelima, saya berjanji tidak mengkonsumsi zat dan minuman yang menyebabkan lemahnya kesadaran.
Selain konsep, dalam praktiknya, banyak komunitas Budhha yang menjalankan hidup dengan memperhatikan keberlanjutan lingkungan. Masyarakat Buddha menerapkan prinsip ahimsa (tanpa kekerasan) dalam setiap aspek kehidupan, termasuk dalam membangun hubungan dengan alam. Misalnya, Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia turut serta mensosialisasikan pembuatan eco-enzyme di masyarakat luas.
Perspektif Agama Hindu tentang Lingkungan
Dalam agama Hindu, penjelasan oleh Bapak Bagus Dwi Sukoco, S.Pd mengenai konsep Tri Hita Karana. Konsep ini menjelaskan mengenai “tiga penyebab kesejahteraan” yang mencerminkan harmoni antara manusia, alam, dan spiritualitas. Konsep ini mendorong terciptanya kehidupan yang seimbang dan selaras dengan prinsip-prinsip alam (Palemahan), hubungan antar sesama (Pawongan), dan hubungan dengan ilahi (Parahyangan).
Selain itu, konsep Parahyangan mengajarkan hubungan manusia dengan Tuhan (Sang Hyang Widhi). Hubungan ini terwujud melalui ibadah, ritual, dan pengabdian. Pawongan berfokus pada hubungan sosial antara manusia. Prinsip ini mengajarkan bahwa kesejahteraan bersama hanya bisa tercapai melalui kerukunan sosial.
Sedangkan, konsep Palemahan menganggap bahwa alam kita anggap sebagai entitas suci yang perlu kita hormati dan kita lestarikan. Praktik-praktik ramah lingkungan seperti penghijauan, perlindungan hutan, dan pelestarian air merupakan wujud nyata dari prinsip ini.
Selain prinsip Tri Hita Karana, dalam perspektif agama Hindu juga terkenal dengan perayaan “Tumpek Wariga” dan “Tumpek Uye”. Tumpek Wariga sendiri merupakan upacara untuk berkomunikasi dengan tanaman agar dapat berbuah melimpah, sehingga hasilnya dapat berguna untuk Hari Raya Galungan terhitung 25 hari setelah upacara Tumpek Wariga..
Sedangkan Tumpek Uye, merupakan upacara keagamaan dengan membuat sesembahan untuk hewan ternak yang kita tujukan kepada Sang Hyang Widhi sebagai penjaga semua binatang. Memohon kepada Sang Hyang WIdhi agar semua binatang ternak dan peliharaan diberikan keselamatan serta kerahayuan sehingga binatang-binatang tersebut tetap dapat memberikan kesejahteraan bagi umat manusia.
Tumpek Wariga dan tumpek Uye merupakan manifestasi dari salah satu prinsip Tri Hita Karana, yaitu Palemahan (Hubungan manusia dengan alam).
Perspektif Agama Konghucu tentang Lingkungan
Pemaparan materi lingkungan dalam perspektif agama Konghucu tersampaikan oleh Ws. Andi Gunawan, S.T. Beliau merupakan wakil ketua MATAKIN Jawa Tengah. Beliau menjelaskan bahwa dalam Agama Konghucu terkenal dengan suatu ajaran relasi/hubungan antara Di (Bumi), Ren (Manusia), dan Tian (Tuhan).
Konsep ini menekankan keseimbangan antara ketiga elemen tersebut dalam menciptakan kehidupan yang harmonis dan berkelanjutan. Pada hakikatnya, agama Konghucu sendiri memiliki tujuan untuk membimbing manusia agar dapar memuliakan hubungan dengan Tuhan, manusia, dan alam semesta. Konsep tersebut diambil dari ajaran San cai (Sam cai) yang terdapat pada Kitab Yi Jing.
Dalam ajaran Konghucu, Tian (Tuhan) merujuk pada Tuhan yang kita anggap sebagai kekuatan tertinggi yang mengatur alam semesta dan memberikan tatanan yang seimbang. Tian dianggap sebagai sumber moralitas dan keseimbangan universal.
Sedangkan Rei (Manusia), menggambarkan sifat manusia yang baik, penuh kasih sayang, dan perhatian terhadap orang lain dan alam sekitarnya. Dan elemen Di (Bumi) dianggap sebagai sumber kehidupan bagi semua makhluk.
Bumi merupakan tempat di mana manusia hidup, berinteraksi, dan mendapatkan segala kebutuhannya. Oleh karena itu, manusia harus memperlakukan bumi dengan hormat dan menjaha keseimbangannya. Bumi, sebagai ciptaan Tian, tidak hanya memiliki nilai material saja tetapi juga nilai spiritual.
Tindak Lanjut Eco-Peace Interreligious Learning on Environment
Kegiatan Workshop Eco-Peace for Youth Leaders memberikan pengetahuan penting bagaimana ajaran Buddha, Hindu, dan Konghucu menawarkan pandangan-pandangan spiritual yang mendalam mengenai hubungan manusia dengan alam.
Meskipun terdapat perbedaan dalam teologi dan ritualnya, namun tetap memiliki kesamaan dalam menekankan pentingnya menjaga keseimbangan alam dan bertindak dengan penuh tanggung jawab terhadap lingkungan.
Bagi Eco-Peace Warriors (Alumi Eco-Peace 2024), nilai-nilai spiritual yang diusung oleh ajaran agama Buddha, Hindu, dan Konghucu tidak hanya relevan untuk komunitas masing-masing, tetapi juga dapat menjadi acuan dan panduan universal dalam merawat bumi yang kita huni bersama.
Harapannya, Eco-Peace Warriors dapat menjadi pemimpim hijau (green leader) yang dapat memimpin gerakan untuk menjaga bumi dan melestarikan alam. Melalui dialog lintas agama (interreligious), semoga dapat membangun pemahaman bersama mengenai pentingnya bekerja sama untuk menciptakan masa depan yang harmonis antara manusia dan alam. []