Mubadalah.id – Telah banyak beredar buku dan atau gagasan berkenaan dengan kritik terhadap konstruksi kesejajaran laki-laki dan perempuan dari berbagai sudut pandang. Salah satunya melalui wacana keagamaan. Namun ketika berbincang melibatkan perpektif ini acap kali terpantul dua wajah paradoks; di satu sisi pantulan cermin realita sosio-historik yang kemudian kalau ditarik sering direlasikan dengan ideologi sekular khas warisan Barat. Di sisi lain wacana agama ketika mengemas isu gender kerap memunculkan pantulan supremasi keagamaan yang doktrinal.
Dalam Islam sendiri, metodologi yang kita gunakan untuk mengkaji isu gender sangat bervariasi, mulai dari perspektif ideologis, sejarah, fikih, dan lain-lain. Sementara di Barat untuk kajian gender dalam tradisi Islam acap kali masih memakai pendekatan sejarah, sosiologi dan hermeneutika. Dari sekian piranti tersebut orientasinya sama. Yakni untuk memahami perempuan secara proporsional.
Berangkat dari tujuan yang sama, adalah Etin Anwar-intelektual diaspora Indonesia yang tinggal di Amerika, menggunakan piranti filsafat Islam untuk membaca perempuan. Melalui bukunya “Jati-Diri Perempuan dalam Islam”, sebagai Muslimah ia tergugah untuk mengkaji gender dari kacamata insider.
Rentetan Kegelisahan Terkait Isu Gender
Buku “Jati-Diri Perempuan dalam Islam” berangkat dari kegelisahan Prof. Etin. Mulai dari logika berpikir gender yang masih didominasi laki-laki, di mana produksi dan sirkulasi pengetahuan agama adalah milik laki-laki. Melalui sistem berpikir gender yang male-dominated akan menghasilkan sistem yang partriarki. Kedua, terkait dengan penciptaan manusia. Wacana yang bergulir kemudian menghasilkan konsepsi bahwa perempuan adalah ciptaan sekunder dan laki-lakilah yang sepenuhnya berperan dalam proses reproduksi.
Ketiga, adanya dampak legitimasi otoritatif terhadap reproduksi manusia. Lagi-lagi kontribusi perempuan dianggap sebagai sekunder. Keempat, problematika tentang maskulinitas dan femininitas yang dinarasikan dengan perintah agama. Prof. Etin mengangkat kisah Nabi Yusuf dan Zulaikha. Selain itu juga menyoroti praktik keagamaan terkait dengan diri perempuan di dunia Muslim. Kelima, sistem gender yang dominan dan hierarkis akan menentukan pembentukan jati-diri perempuan.
Pada intinya buku “Jati-Diri Perempuan dalam Islam” ini tersusun dalam rangka membongkar akar-akar teologis, sosial, politik dan budaya dari sistem gender hierarki yang dominan dan dampaknya terhadap konstruksi jati-diri perempuan. Semua problematika gender tersebut dikupas tuntas oleh Prof. Etin dengan pisau analisis filsafat Islam.
Mengapa Filsafat Islam?
Profesor yang kerap kita sapa dengan Teh Etin ini mengemukakan beberapa hal yang memicu ketertarikannya pada filsafat Islam. Salah satunya perjumpaannya dengan pemikiran Ibn Sina yang mendialogkan hasil pemikiran dari wahyu dan akal. Kemudian masih langkanya kajian gender dalam tradisi keilmuan Islam yang jarang menggunakan filsafat Islam. Padahal bagi Prof. Etin, pendekatan filsafat memiliki keunggulan dalam memperlihatkan multidimensi sebuah realitas. Termasuk dimensi universal, aksidental, partikularitas, dan dimensi lainnya (hlm. 7).
Melalui rangkaian dimensi tersebut terjawab bagaimana ajaran Islam turun beserta rentetan panjang perjalanan dakwah Nabi. Dari sinilah Prof. Etin kemudian menarik benang merah bahwa realitas-realitas partikular yang bermuara pada kehidupan Nabi maupun interpretasi Al-Qur’an terkadang sering diterima sebagai tata nilai universal. Padahal di dalamnya banyak berkelindan tata nilai etis.
Yang kedua ini kemudian yang sering terlupakan (hlm. 7). Keuniversalan inilah yang dinormalisasi menjadi semacam framework yang kaitannya dengan konstruksi peran laki-laki dan perempuan, hingga mengarah pada patriarki dan misogini. Selain itu juga terserapnya budaya pra-Islam yang menjadikan perempuan sebagai objek seksual dan barang dagangan.
Lalu pertanyaan lanjutannya, bagaimana filsafat Islam bekerja? Untuk menjawab ini, Prof. Etin mengawali penjelasannya dengan pemaparan bagaimana filsafat secara umum menangani persoalan gender. Jawabannya didasarkan pada argument bahwa filsafat dapat mengurai masalah “peran sosial kaum perempuan, ketertindasan dan kebebasan mereka” secara filosofis (hlm. 36).
Filsafat Kontemporer Belum Memasukkan Isu Gender
Namun beberapa filsafat kontemporer terkadang belum memasukkan isu-isu gender karena masih berkutat seputar sejarah, epistemologi, mistik, etika, ontologi dan politik. Di sini Prof. Etin juga memberikan kritik terhadap terhadap pendekatan filsafat itu sendiri (hlm. 37-38).
Operasionalisasi filsafat Islam sebagai metodologi kurang lebih digunakan untuk membangun argument induktif untuk menghasilkan sebuah abstraksi pembahasan filosofis tentang gender dan jati-diri dalam Islam. “Sebuah karya filsafat”, begitu Prof. Etin menjuluki buku ini, karena memang penjabarannya sangat luas dan kaya akan khazanah keilmuan filsafat, khususnya filsafat Islam. Tidak hanya sekedar metodologi, filsafat Islam juga berkelindan dengan norma dan praktik Islam.
Oleh karena itu, piranti yang memang berangkat dari diri Islam sendiri itu harapannya dapat menghasilkan kajian yang objektif. Meskipun lagi-lagi masih berkembang asumsi bahwa filsafat Islam adalah metode yang tidak netral. Bagaimanapun dalam buku ini Prof. Etin menguatkan keobjektifikannya dengan menghadirkan beragam literatur serta melakukan autokritik terhadap interpretasi Islam sendiri.
Dalam bab satu sendiri, kerangka filsafat Islam ia gunakan untuk membedah secara filosofis akar-akar sistem gender. Mulai yang hierarkis hingga yang egaliter. Untuk mencapai konsep gender yang egaliter Prof. Etin menyajikan konsep “tiga realitas mendasar” dalam filsafat Islam, yakni Tuhan, alam semesta (makrokosmos), dan manusia (mikrokosmos).
Penciptaan Manusia dari Nafs Wahidah
Dalam pengertian ini lahirlah sifat dasar manusia sebagai makhluk menolak hak siapapun untuk mendominasi orang lain (hlm. 59-60). Di samping itu, jati-diri manusia yang terbentuk secara material (material self) yang memiliki fluiditas maskulin dan feminine juga seharusnya menghasilkan hubungan yang egaliter.
Selanjutnya dalam bab dua, filsafat Islam mengulas dalam ranah ontologis, di mana laki-laki dan perempuan berasal dari satu entitas. Penciptaan dari nafs wahidah ini memunculkan kemanusiaan yang inklusif (hlm. 108,139,147-148). Bab tiga sendiri memperlihatkan bahwa filsafat Islam bertanggungjawab terhadap de-esensialisasi peran perempuan dalam reproduksi. Adapun operasionalisasinya menghadirkan beragam tafsir Al-Qur’an dan juga keilmuan sains terkait dengan reproduksi.
Bab ke empat, Prof. Etin menyinggung lagi tentang material self . Dengan sarana filsafat Islam Prof. Etin menguraikan akar-akar budaya lokal yang mempengaruhi pembentukan jati-diri material perempuan. Ia juga menegaskan banyaknya problematika perempuan. Mulai dari stigmatisasi, marginalisasi, subordinasi, beban ganda, dan kekerasan karena material self perempuan terbentuk dari legitimasi otoritatif laki-laki.
Terakhir, filsafat Islam terpantulkan melalui konsep jati-diri yang multisegi, baik ontologis, etis, psikologis atau eksistensional. Prof. Etin menarik kesimpulan multisegi jati-diri perempuan tadi dilemahkan oleh gagasan legitimasi agama dan budaya lokal yang meremehkan nilai perempuan sebagai manusia. Oleh karena itu perempuan harus memupuk rasa bertanggungjawab dalam memperbaiki dan mengubah kehidupan baik dari bidang sosial, ekonomi, politik dan budaya.
Berangkat dari Pandangan Seorang Insider
Sebagai seorang diaspora Indonesia-santri-akademisi yang telah melalangbuana melalui rihlah spiritual dan intelektualnya menjadikan buku ini kaya akan pengalaman, data dan literatur. Meskipun sudah menetap di Amerika membuat Prof. Etin tidak melupakan “jati-diri”nya sebagai orang Indonesia. Malahan genuenitas pemikiran khas Islam Indonesia yang moderat menjadi semacam ilham untuk mendiseminasikan nilai-nilainya kepada masyarakat dunia. Prof. Etin mengungkapkan kehidupan perempuan di Indonesia jauh lebih dinamis di ranah publik dan privat. Oleh karena itu terdapat beberapa wacana yang memang dilandasi oleh pengalaman keislaman di Indonesia.
Menjadi perempuan yang menulis tentang perempuan dalam artian seorang insider membuatnya tidak bias dan subjektif. Gagasannya masih dalam lingkaran metodologi itu sendiri. Justru sebagai insider ia memperlihatkan bahwa pandangan orang dalam tentang teori dan praktik gender memiliki nuansa yang berlapis-lapis. Melalui pengalamannya berjumpa dengan berbagai elemen masyarakat menjadikan pemikirannya autentik. Menariknya, gagasan perempuan memang seharusnya diproduksi oleh perempuan itu sendiri sebagai insider bukan malahan oleh laki-laki (outsider).
Terakhir, gagasannya juga terekternalisasi dari pengejawantahannya sebagai seorang santri. Prof. Etin mendudukkan dirinya sebagai santri entah dalam sebuah kelas maupun identitas agama. Terkait ini ia berupaya untuk akrab dengan bahasa, narasi dan logika yang santri gunakan terhadap isu gender dalam Islam. Dan sekali lagi Prof. Etin menunjukkan bahwa jenis Islam yang di dalamnya ada santri akan menampilkan wajah yang moderat dan sangat inklusif terhadap perempuan. []