• Login
  • Register
Rabu, 14 Mei 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Publik

Fatima Mernissi ; Melihat Sisi Lain Istri Nabi

Aprillia Susanti Aprillia Susanti
06/03/2020
in Publik
0
Fatima, Mernissi
336
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Perbincangan tentang perempuan dalam Islam memang tidak ada habisnya. Perempuan Islam/muslimah didikte sebagai mahluk yang harus suci tanpa noda, sehingga laku tindakannya harus dijaga sedemikian rupa misalnya melalui pakaian, aktivitas keseharian bahkan urusan ranjang.

Fenomena hijrah, hijab, dan berdagang dari rumah saling berkelindan untuk mengungkung perempuan dalam ranah domestik semata. Sekaligus makin menguatkan bahwa perempuan adalah sumber kemaksiatan jika dibiarkan keluar dari rumah.

Di sini kita tidak sedang membahas ihwal perempuan lebih baik berada di wilayah domestik atau publik. Tidak juga sedang mendorong perempuan untuk keluar dari wilayah domestik. Akan tetapi kita sedang mempertanyakan apakah benar ketika jaman Rasulullah para perempuan diberi tugas hanya mengurus lingkungan rumah tanpa diberi hak bicara dan bersikap dalam masalah umat yang lebih kompleks?

Pernahkah kita kembali merenungkan apakah Nabi Muhammad memperlakukan perempuan se-jamannya khususnya semua istrinya seperti itu? Andai saya masih mengenyam bangku sekolah dan pengajian di TPQ, saya hanya bisa membayangkan istri Nabi adalah seorang yang tidak bisa membantah perkataan seorang Nabi dan atau para sahabatnya.

Mereka, para istri Nabi menjelma hanya mencari ridho suami dengan melakukan seluruh urusan rumah tangga, tanpa sekalipun memberikan andil dalam perpolitikan dan masalah umat kala itu. Mengapa demikian? karena kita lebih banyak dijejali dengan cerita istri nabi yang berputar dalam bingkai itu saja ; melayani dan mencari ridho suami dalam kerangka rumah tangga.

Baca Juga:

Muhammad Bercerita: Meninjau Ungkapan Laki-laki Tidak Bercerita dan Mitos Superioritas

Kepemimpinan Perempuan dalam Negara: Kajian atas Tiga Ayat Kontroversial

Tonic Immobility: Ketika Korban Kekerasan Seksual Dihakimi Karena Tidak Melawan

Ulama Fiqh yang Membolehkan Perempuan Menjadi Hakim

Jikapun membahas di luar itu, hanya kembali pada sosok pribadi yang nir-kontribusi pada dinamika politik umat Islam. Misalnya, jika membahas Khadijah yang dibahas adalah bagaimana seorang janda kaya raya menikahi seorang pemuda terbaik bernama Muhammad.

Lalu, apabila membahas Aisyah yang dibahas adalah bagaimana seorang perempuan muda, cerdas dan cantik bersedia menikahi Muhammad yang jauh lebih tua darinya. Sangat jarang atau bahkan tak pernah membahas bagaimana sikap kritis Aisyah mendebat para perawi hadist palsu Nabi. Ia hanya disinggung dalam politik kala memimpin perang.

Tentu dengan ditambah cerita Aisyah yang memimpin jalannya Perang Unta (36 Hijriyah/658 M) dilatarbelakangi sakit hati pada kekhalifahan Ali ra, yang melahirkan perpecahan umat Islam hingga hari ini (Sunni-Syiah). Sehingga membuat citra Aisyah dan perempuan muslim sesudahnya tak pantas jika berurusan dengan publik karena hanya menimbulkan kekacauan.

Dari fakta tersebut, pemikir feminis Islam asal Maroko, Fatima Mernissi, mencoba menjelaskan bagaimana kaitan hadist, perempuan dan perpolitikan kala itu. Ia memiliki metode tersendiri untuk membaca makna sebuah hadist dan Qur’an. Metode tersebut bernama penyelidikan ganda, yang artinya penelitian dilakukan secara historis dan metodologis mengenai hadist dan perawinya, bagaimana kondisi masyarakat saat ia diturunkan pertama kali, bagaimana ia diucapkan pertama kali.

Kemudian, siapa yang mengucapkan hadist ini, di mana, kapan, mengapa dan kepada siapa? Sehingga dengan metode ini, menurut Fatimah dapat menarik Al-Quran secara kontekstual. Terbaca secara menyeluruh bukan parsial.

Sikap kritis Ummu Salamah terhadap hukum ghazwa (harta rampasan perang) yang mengakibatkan point tuntutan agar perempuan ikut memanggul senjata dan ikut berperang. Dan membuat para perempuan lain mengkaji surat an-Nisa ayat 32 hingga menimbulkan tuntutan persamaan secara menyeluruh dengan laki-laki.

Yang mana menimbulkan ketakutan akan perubahan struktur ekonomi pada para lelaki Madinah kala itu. Lalu, debat seorang Aisyah dengan Abu Hurairah tentang hadist-hadist yang membuat perempuan adalah sumber najis dan kotor misalnya hadist mandi junub, masuknya perempuan ke dalam neraka karena menyiksa kucing serta mensejajarkan perempuan dengan keledai dan anjing sebagai pembatal shalat.

Mernissi mendedah bahwa hadist yang telah dianggap shahih itu menemukan kekeliruanya (sekalipun diriwayatkan oleh Imam Bukhori). Hadist yang berbicara tentang perempuan sebagai salah satu pembawa bencana merupakan bentuk kekeliruan Bukhori yang tak memasukan bantahan Aisyah pada Abu Hurairah.

Dikatakan bahwa Aisyah membantah Abu Hurairah yang tak mendengar semua perkataan Rasulullah, ia hanya mendengar kalimat akhir ucapan Rasullah “….Dari Aisyah, Rasulullah sebenarnya berkata: semoga Allah membuktikan kesalahan kaum Yahudi; mereka mengatakan ada tiga hal yang membawa bencana: rumah, perempuan dan kuda” ( HR. Imam Zarkasyi).

Bahwa latar belakang munculnya hadist-hadist yang begitu menyakitkan para perempuan tersebut tidak lain karena keinginan para lelaki kala itu untuk mempertahankan status quo yang diperolehnya, keuntungan politis yang didapatkan jika tak melibatkan perempuan didalamya. Membisukan suara perempuan dari nyaringnya percaturan politik.

Mernissi berpendapat bahwa sekalipun hadist tersebut di hampir seluruh kalangan muslim dianggap sahih, namun masih perlu lensa pembesar untuk mengujinya kembali. Menurutnya penggalian terhadap sunnah yang mungkin dilalaikan adalah sebuah keharusan. tapi jangan sampai kita men-genalisir semua perawi hadist sebagai misoginis.

Dari koreksi dan keberanian istri nabi untuk menentang segala hal yang begitu menyudutkan perempuan patut kita ingat bahwa istri nabi tidak hanya perihal mencari ridho suami atau bersembunyi dalam istilah ibu adalah madrasah pertama bagi anak, yang malah menjurumuskan perempuan sebagai orang yang paling bertanggung jawab terhadap ranah ke-domestik-an dengan menisbikan peran lelaki.

Namun, ia juga turut andil dalam dinamika sosial politik umat untuk menjunjung keadilan dan kesetaraan. Istri-istri nabi mengajarkan pada kita bahwa perempuan harus kritis dan turut andil dalam ruang publik, tidak terjebak dalam retorik domestik untuk mencari ridho suami semata. Berkutat hanya sekitar urusan rumah tangga.

Hal itu hanya akan mereduksi makna keberislaman yang sesungguhnya. Seolah demokrasi, egaliter dan emansipasi adalah murni produk barat, seolah Islam begitu asing dengan itu. Padahal jika kita cermati kesetaraan-keluasan berpendapat adalah makanan keseharian muslim kala itu.

Zaman Rasullulah semua perempuan telah diberi hak untuk maju; diberi hak berpendapat, diberi hak berpolitik dan menjadi garda terdepan berlayarnya kemajuan sebuah bangsa. Perempuan tak pernah dikecualikan dalam hal ihwal urusan apapun di dalam masyarakat. []

Aprillia Susanti

Aprillia Susanti

Terkait Posts

Kebebasan Berekspresi

Kebebasan Berekspresi dan Kontroversi Meme Prabowo-Jokowi

13 Mei 2025
Merapi

Dampak Tambang Ilegal di Merapi: Sumber Air Mengering, Lingkungan Rusak

12 Mei 2025

Hari Raya Waisak: Mengenal 7 Tradisi dan Nilai-Nilai Kebaikan Umat Buddha

12 Mei 2025
Paus Leo XIV

Mengenal Paus Leo XIV: Harapan Baru Penerus Paus Fransiskus

12 Mei 2025
Barak Militer

Apakah Barak Militer Bisa Menjadi Ruang Aman bagi Siswi Perempuan?

11 Mei 2025
Hari Raya Waisak

Kontekstualisasi Ajaran Islam terhadap Hari Raya Waisak

10 Mei 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Membolehkan Perempuan Menjadi Hakim

    Ulama Fiqh yang Membolehkan Perempuan Menjadi Hakim

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tonic Immobility: Ketika Korban Kekerasan Seksual Dihakimi Karena Tidak Melawan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kepemimpinan Perempuan dalam Negara: Kajian atas Tiga Ayat Kontroversial

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kemanusiaan sebelum Aksesibilitas: Kita—Difabel

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kebebasan Berekspresi dan Kontroversi Meme Prabowo-Jokowi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Muhammad Bercerita: Meninjau Ungkapan Laki-laki Tidak Bercerita dan Mitos Superioritas
  • Kepemimpinan Perempuan dalam Negara: Kajian atas Tiga Ayat Kontroversial
  • Tonic Immobility: Ketika Korban Kekerasan Seksual Dihakimi Karena Tidak Melawan
  • Ulama Fiqh yang Membolehkan Perempuan Menjadi Hakim
  • Kemanusiaan sebelum Aksesibilitas: Kita—Difabel

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Go to mobile version