Mubadalah.id- Di tulisan ini aku ga akan cerita tentang kekacauan, rasisme dan beragam kalimat kasar yang menghiasi setiap dialognya. Film Pengepungan di Bukit Duri ini bukan film keluarga, hanya film tongkrongan yang mengangkat kondisi Jakarta di tahun 2027. Sempat kaget awalnya, memang iya 2027 akan jadi seperti ini? 2027 nampaknya sudah di depan mata. Apakah benar?
Memilih “Pengepungan di Bukit Duri” sebagai tontonan akhir pekan
Podcast Joko Anwar sang sutradara yang membuatku melangkah ke bioskop sore itu. Cerita yang sempat ia museum kan ini akhirnya ia garap oleh aktor dan aktris ternama. Kisah awalnya mengenai rasisme yang tidak bisa di bendung lagi. Tentang pertemuan horizontal antar beragam etnis di Indonesia. Kilas baliknya seperti kondisi 1998, yang mana kerusuhan jadi bumbu kehidupan masyarakat kala itu.
Bukan Joko Anwar namanya jika dalam film garapannya tidak berisi teka teki tertentu. Joko Anwar yang terkenal dengan universe nya, berhasil membawa film ini masuk dalam univers tersebut. Teori konspirasi bergulir bagai bola salju di kalangan netizen Indonesia.
Dan saat membuat tulisan ini, film tersebut sudah menarik perhatian 1.218.196 penonton. Tapi ada satu cerita yang ingin saya bagikan dari film ini. Bukan mengenai masalah rasisme atau kekerasan. Tapi tentang bagaimana pendidikan membentuk sebuah karakter seseorang, dan bahkan karakter dari sebuah bangsa.
Pendidikan itu penting, TITIK!
Walau banyak patah akan sebuah harapan, aku masih percaya bahwa pendidikan adalah tombak dari segala permasalahan. Bukan hanya pendidikan yang tinggi saja, tetapi juga mendalam.
Kembali ke Film Pengepungan di Bukit Duri, mereka hidup ditengah rasisme yang sangat kental. Etnis tionghoa adalah musuh bagi etnis lainnya. Dan bisa dengan mudah menghabisi mereka. Bagai penjagal sapi saja, manusia tak ada artinya jika etnis kita berbeda. Seperti itulah pesan yang aku tangkap dari film ini.
Ada irisan yang sedikit sama dalam dunia nyata. Anggap saja sebuah perbedaan, banyak anak yang menganggap perbedaan adalah hal yang tabu. Ketika di sekolah, sang anak punya kecerdasan berbeda saja sudah punya anggapan tabu. Punya sikap yang berbeda juga tabu. Dan yang lebih mengerikan jika kamu bertanya, dan sedikit mendebat guru tentang pelajaran adalah hal yang tabu sekali.
Setting ini tampaknya bukan hanya terjadi dalam waktu dekat. Ini mengakar, dari kakek-nenek, orang tua, diri kita, anak kita atau bahkan generasi selanjutnya? Joko Anwar, sang penulis sekaligus sutradara dalam film ini juga bercerita bahwa ada beberapa scene dalam film yang pernah dia alami. Salah satunya yaitu ketika dia diajak rombongan temannya masuk ke mobil, dan memukul habis-habisan mereka yang berbeda dengan rombongan itu.
Pendidikan dan sikap kritis
Kalo kisah ku tidak terlalu frontal seperti Joko Anwar. Aku yang sedikit keras kepala ini pernah bertanya cukup cerewet tentang kemerdekaan Indonesia. Aku lupa apa yang aku tanyakan kala itu. Yang aku ingat hanya bab nya, yaitu “Perjalanan Kemerdekaan Indonesia”.
Masih ingat betul kala itu pertanyaanku hanya jadi bahan cemooh guru. Untung aku lupa pertanyaannya, jadi bisa berpikir bahwa mungkin saja kala itu pertanyaanku memang aneh.
Kita yang berbeda dan punya banyak keberagaman, tampaknya akan sulit jika dalam pendidikan terus diajarkan mengenai perbedaan. Walau disisi lain informasi sudah kita dapatkan dengan percuma, tapi ada hal yang perlu diingat. Bahwa semua dapat berpendapat, dan tidak semua pendapat itu berlandas pada informasi yang valid.
Pendidikan dan Toleransi
Toleransi adalah obat yang bisa menjaga kaca itu. ” Negeri kita seperti kaca yang tipis sekali, jika ada sedikit getaran saja. Kaca ini bisa pecah dan hancur kapan saja” kata tersebut aku pinjam dari film ini. Dan menang benar, semua pihak harusnya menjaga kaca ini.
Karakter dalam film ini hanya serombongan anak yang punya rasa ketakutan tinggi. Orang tua, guru dan masyarakat yang mereka lihat adalah kondisi yang kacau. Dan sebenarnya ini bukan hanya dalam film saja, terkadang anak-anak saat ini juga terpapar hal-hal di luar pemikiran mereka.
Membahas sistem pendidikan bukanlah hal yang selesai dalam satu tulisan saja. Bagaimana sistem ini dapat terbentuk dan berkembang jika setiap pemimpinnya berganti, sistem juga musnah sepenuhnya. Mereka ingin sekali dikenang dengan nama. Dengan nama kurikulum yang mereka bentuk ketika itu. Bukan dengan keberhasilan dari sebuah sistem yang dibuat.
Film ini hanya sebatas fiilm. Tugas film ini tampaknya tersampaikan pada para penontonnya. Aku harap cerita ini tak hanya mengambil sisi buruknya saja, tapi bisa untuk pembelajaran. Untuk kamu yang ingin bergabung dengan 1 juta orang lain yang sudah menonton film ini silahkan. Dan kebijakan kalian aku harapkan. Ini bukan film yang menyenangkan dan punya rating 17 tahun. Film ini bisa jadi pembelajaran untuk mereka yang sudah sadar. Bukan jadi contoh untuk sebuah generasi yang akan datang. []